Opini Pos Kupang

Hipnotisme Agama

Belakangan ini ada begitu banyak keresahan dalam kehidupan kita karena hadirnya agama yang dirasa tidak lagi (kurang peduli) pada kedamaian

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Hipnotisme Agama
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh Dony Kleden, Rohaniwan Katolik dan Antropolog, tinggal di Sumba

POS-KUPANG.COM - Belakangan ini ada begitu banyak keresahan dalam kehidupan kita karena hadirnya agama yang dirasa tidak lagi (kurang peduli) pada kedamaian dan kenyamanan bersama.

Ungkapan sarkastis yang sering kita dengar dan kita baca di berbagai media sosial adalah "mabuk agama" atau dalam bahasa psikologinya disebut atau ditafsirkan sebagai hipnotisme agama.

Persoalan ini semakin tajam dan mengusik hidup bersama tatkala pemerintah juga sepertinya kurang berdaya atau terkesan kompromis menghadapi berbagai gerakan intoleran dan bahkan subversif karena hipnotisme agama ini.

Baca juga: Pilkada Manggarai Barat, Paket Misi Akan Tempuh Jalur Hukum

Hipnotis pada umumnya terkait dengan pengenalan sebuah prosedur selama subyek tersebut disugesti untuk mengalami suatu pengalaman imajinatif. Induksi hipnotis merupakan sugesti inisial yang luas menggunakan imajinasi seseorang dan mungkin mengandung perincian lebih lanjut pada introduksinya.

Ketika menggunakan hipnotis, seseorang (subyek) dipimpin oleh orang lain (hypnotist) untuk memberikan respon terhadap sugesti untuk berubah pada pengalaman subyektifnya, perubahan persepsi, sensasi, emosi, pikiran atau tingkah laku.

Baca juga: Disertasi Pariwisata NTT, Gubernur Viktor Laiskodat Raih Gelar Doktor Pembangunan

Hipnotisme Agama

Kimianya agama sesungguhnya adalah menghipnotis orang atau sekelompok subyek supaya para subyek itu bisa meninggalkan dunia realnya dan memberi orientasi pada sesuatu yang eskaton, sesuatu yang eskatologis, akan janji-janji kemuliaan di masa yang akan datang yang secara rasional empirik memang sulit dimintai pertanggungjawaban.

Dalam arti tertentu, hipnotisme agama bisa dibenarkan karena dengan demikian manusia tidak lagi mengorientasikan hidup sepenuhnya pada sesuatu yang sekarang ini, tetapi juga janji-janji kemuliaan yang akan datang yang hanya akan diperoleh melalui suatu perjuangan atau askese sosial (matiraga) yang pada saat yang sama meminta orang untuk mau berbagi dan berempati.

Hipnotisme agama dalam konteks ini memberi andil yang positif, karena menyuburkan gerakan dan karya karitatif dari manusia.

Tetapi persoalannya akan menjadi sangat berbeda dan bahkan menjadi sangat bermasalah, ketika hipnotisme agama itu mengajak orang untuk lari dari dunia (fuga mundi), meninggalkan dunia dan menganggap semua yang berbau duniawi ini adalah sumber dosa.

Orang pada akhirnya meniadakan dunia dan rela menginjak dan mengobrak abrik dunia demi janji-janji surgawi yang sangat menghipnotis. Inilah sumber dari segala sumber masalah sosial dari agama.

Agama pada akhirnya bersifat disintegratif memecah belah dan menyulut konflik. Agama pada akhirnya menjadi ironi dengan dirinya sendiri, kudus tetapi membunuh dunia, padahal kekudusan itu hanya bisa digapai kalau orang mampu menginjak dunia dengan baik dan benar. Agama dalam arti ini mempunyai tanggung jawab sosial yang tidak bisa dielakkan.

Agama yang menafikan atau pun menihilkan tanggung jawab sosial dalam praktik keagamaanya adalah agama yang kehilangan pijakan. Agama dalam praktiknya selalu meniscayakan adanya tanggung jawab sosial sebab kalau tidak ia akan jatuh pada prakti pemujaan (cult) semata.

Kalau agama tanpa tanggung jawab sosial, lalu apa arti dan sumbangan agama bagi peradaban sosial? Kalau agama menafikan tanggungjawab sosial, lalu untuk apa manusia beragama?

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved