Opini Pos Kupang
Seruan Perdamaian Penyair NTT
Kedua buku puisi itu berisi pesan atau seruling Perdamaian para penyair NTT untuk bangsa Indonesia
Nyala api adalah simbol malapetaka, puncak kerusuhan besar yang memakan korban jiwa dan harta benda. Seruan perdamaian para penyair NTT ditujukan kepada para pemegang pedang dan penyulut nyala api, yakni para perusuh dan aparat keamanan.
Berikut ditampilkan bait kedua puisi "Kepada Pedang dan Nyala Api" (halaman 39) karya Astryanti Korebyma yang oleh para kurator dijadikan sebagai judul buku. Kutipannya: //Untuk semua salah dan dosa/ Kepada Tuhan kuminta ampun/ Merendah sejenak pada altar kudus-Nya/ Merunduk menatap lama salib-Nya/ Melalui jalan-Nyalah kita kembali/ Kembali pada Dia/ Sang Empunya hidup//.
Puisi tawaran perdamaian dari NTT untuk Nusantara juga ditulis dengan baik oleh penyair muda NTT, yalni Elvira Hamapati, dengan judul "Nusaku Bercerita" (halaman 80).
Tawaran perdamaian dari Elvira Hamapati untuk Nusantara (Indonesia) ini tentu ada syaratnya. Syaratnya adalah: /Jika hatimu/ Tak tawar oleh kebencian/. Berikut petikan lengkap puisi tersebut: //Tanah ini adalah hadiah/ Maha kuasa/ Aneka raga dan rasa merangkai/ Kisah dan kasih/ Nusaku bercerita/ Kedamaian akan/ Kutawarkan/ Jika hatimu/ Tak tawar oleh kebencian//.
Puisi "Nusaku Bercerita" menggambarkan tentang Provinsi NTT yang merupakan provinsi kepulauan, yang disebut penyair sebagai nusaku. Nusa ini adalah "hadiah" dari Tuhan yang Maha kuasa.
Hadiah ini tidak hanya menyangkut "aneka raga" yang tampak, seperti warga masyarakat NTT yang plural, keunikan kepulauan dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetap ijuga "aneka rasa" yang dimiliki masyarakat NTT, seperti rasa persatuan, kesatuan, kerjasama, dan toleransi.
Aneka raga dan rasa itu tercermin dalam kebiasaan dan adat-istiadat yang tersebar luas di wilayah kepulauan Flobamora ini. Aneka raga dan rasa inilah yang menyatu dan membentuk kisah dan kasih yang terangkai dalam kehidupan yang rukun, damai, sejahtera, tidak ada kekacauan dan kerusuhan seperti yang terjadi di daerah lain: /Aneka raga dan rasa merangkai/ Kisah dan kasih/ Nusaku bercerita/.
Dengan modal besar sebagai tempat bersemayamnya kisah tentang kasih, tentang persatuan, kedamaian, dan toleransidi NTT inilah yang hendak ditawarkan dan dipersembahkan para penyair NTT kepada bangsa Indonesia lewat buku puisi ini.
Tawaran tentang kasih, persatuan, kerukunan, toleransi, dan kedamaian ini, tentu bukan tanpa dasar dan syarat: /Kedamaian akan/ Kutawarkan/ Jika hatimu/ Tak tawar oleh kebencian/.
Puisi perdamaian lain dipersembahkan penyair muda Shaula Astried Emmylow yang berjudul "Flobamora Damai" (halaman 223) ikut memperkuat gambaran damai dan rukunnya kehidupan warga masyarakat NTT yang dihuni puluhan etnis/suku sejak berdirinya provinsi ini tahun 1958 dengan adat-istiadat, agama,suku, dan bahasa daerah yang beragam. Bait kedua puisi Shaula Astried Emmylow berbunyi: //Damai bukan lagi mimpi/ Damai tak terbatas pada kata terucap/ Damai jadi aksi nyata/ Damai hadir di negeriku/ Flobamora tercinta//. *