Yayasan Arnoldus Wea Gelar Diskusi Virtual, Menilik Sejarah Kampung Maghilewa di Ngada

Yayasan Arnoldus Wea gelar diskusi virtual, menilik sejarah Kampung Maghilewa di Ngada

Penulis: Gordi Donofan | Editor: Kanis Jehola
Dok. Arnoldus Wea untuk POS-KUPANG.COM
Suasana di Kampung Maghilewa Kecamatan Inerie Kabupaten Ngada, beberapa waktu lalu. 

Agustinus mengatakan sempat mengeluhkan generasi masa kini dari Maghilewa yang memanfaatkan media sosial seperti Facebook hanya sebagai ajang unjuk diri yang kurang bermakna, bahkan lebih banyak makian.

Ia sangat berharap, anak-anak muda Maghilewa bisa memanfaatkan media tersebut untuk menuliskan kisah atau sejarah kampungnya.

'Kenapa tidak menulis tentang sejarah Sa'o (rumah besar yang ada di kampung tradisional)?," ujarnya.

Menurut dia hal itu lebih berguna untuk memperkenalkan kepada khalayak luas, sekaligus sebagai warisan buat anak-cucu kelak.

Bila diklasifikasikan, sejarah Maghilewa secara umum terbagi menjadi dua periode waktu, yaitu sebelum dan sesudah tahun 1920.

Periode sebelum tahun 1920 itu dianggap sebagai masa kehidupan orang Maghilewa yang asli, dalam artian belum ada pengaruh apapun dari budaya luar.

Pasca 1920, setelah penyebar ajaran agama dan pendidikan formal masuk, Maghilewa mengalami perubahan dan membentuk sejarah tersendiri.

Dalam sesi diskusi, antusiasme para peserta sangat terasa. Meski jumlahnya tidak lebih dari 30 orang, tidak mengurangi dinamika sebuah diskusi, justru makin intens dan terjalin hubungan yang akrab.

Apalagi peserta didominasi orang Maghilewa dan Bajawa pada umumnya.

Selain membahas sejarah dan memaknai simbol-simbol adat, mereka juga memanfaatkan momen tersebut untuk saling melepas kangen dan bercanda bebas ala orang Bajawa.

Mereka mendiskusi tentang nama Maghilewa yang bermakna pohon kehidupan; membahas tempat sakral seperti Ture; mempertanyakan alasan adanya rantai emas di rumah adat; dan masih banyak sup-topik lainnya.

Kemudian mereka mengusulkan banyak hal untuk memastikan sejarah dan budaya lokal itu tidak lekas tergerus oleh perkembangan zaman modern.

Salah satunya ada usul untuk melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk mengampanyekan atau memberi pelajaran budaya lokal kepada anak sebagai generasi penerus Maghilewa.

Masih banyak rencana tindak lanjut lain yang dilahirkan dari diskusi ini. Salah satunya yang tidak kalah penting dan menarik, ajakan untuk "pulang kampung halaman" bagi putra-putri Maghilewa.

Saat sesi penutupan, Reinard L. Meo yang mengakui dirinya sebagai perwakilan orang yang tinggal di Bajawa, mengajak semua orang Bajawa di tanah rantauan untuk kembali, sebab pesta adat Reba sebentar lagi sudah tiba.

"Covid-19 hanya menyerang orang-orang yang khawatir, tidak pada orang yang mencintai kampungnya," pungkasnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gordi Donofan)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved