Yayasan Arnoldus Wea Gelar Diskusi Virtual, Menilik Sejarah Kampung Maghilewa di Ngada

Yayasan Arnoldus Wea gelar diskusi virtual, menilik sejarah Kampung Maghilewa di Ngada

Penulis: Gordi Donofan | Editor: Kanis Jehola
Dok. Arnoldus Wea untuk POS-KUPANG.COM
Suasana di Kampung Maghilewa Kecamatan Inerie Kabupaten Ngada, beberapa waktu lalu. 

POS-KUPANG.COM | BAJAWA -- Pengurus Yayasan Arnoldus Wea gelar diskusi virtual, menilik sejarah Kampung Maghilewa di Ngada Minggu (29/11/2020) sekitar pukul 13.00 Wita. Diskusi virtual tersebut dengan teman, menilik sejarah menata masa depan Kampung Maghilewa.

Apa itu Maghilewa? Reinard L. Meo sebagai pewara kegiatan diskusi yang berlangsung menggunakan media Zoom tersebut, memulainya dengan membeberkan sedikit sejarah singkat Maghilewa.

Reinard L. Meo mengatakan Manghilewa merupakan salah satu kampung adat yang potensial dijadikan objek wisata baru di Bajawa Kabupaten Ngada.

Baca juga: Sejumlah Rumah di TTU Rusak Diterpa Angin Puting Beliung

Meski baru direvitalisasi dan diperkenalkan kepada khalayak, catatan kunjungan wisatawan sudah menunjukkan tanda-tanda positif.

Sebut saja beberapa, tim dari National Geographic dan vokalis Andra and The Back Bone pernah beranjangsana ke sana.

Acara diawali dengan sebuah pengantar singkat dari tokoh milenial dari Maghilewa sekaligus inisiator kegiatan, Arnoldus Wea.

Baca juga: Betrand Peto Pamerkan Perut Six Pack dengan Tubuh Berkeringat Jadi Sorotan Mata Sarwendah Terbelalak

Sebagai penggagas dan pendiri Yayasan Arnoldus Wea, sudah sejak lama Arnoldus mendeklarasikan sebuah gerakan sosial yang bernama: Dhegha Nua, konsepnya sudah digambarkan sangat jelas lewat tulisannya di arnolduswea.com.

Sekadar gambaran singkat, Dhega Nua diperkenalkan sebagai sebuah gerakan rindu kampung halaman. Bagi Arnoldus Wea, kampung tidak sekadar sebagai tempat tinggal.

Tapi lebih jauh dari itu, kampung merupakan titik awal pembentukan karakter manusia.

Sebagai tanda terima kasih dan wujud rasa syukur akan anugerah yang diperoleh dari kampung halaman, Yayasan Arnoldus Wea telah menginisiasi dan menjalankan berbagai kegiatan sosial yang menunjang pengembangan karakter manusianya.

Salah satunya dengan melakukan revitalisasi kampung adat Maghilewa yang terletak di lereng Selatan Gunung Inerie, Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Arnoldus Wea begitu semangat menyampaikan gagasan-gagasannya untuk mengembangkan Maghilewa pada masa mendatang.

Program yang sudah dimulai dan sedang berjalan saat ini di antaranya revitalisasi rumah adat dan pembentukan komunitas yang menunjang usaha kreatif dan pariwisata.

"Mimpi besar yang ingin dituju dari berbagai upaya tersebut adalah membangun ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat," ujarnya.

Tidak hanya pembangunan dan pengembangan fisik, Arnoldus Wea juga tidak mengesampingkan upaya pengembangan sumber daya manusia.

"Aparat desa dan masyarakat lokalnya harus dipersiapkan juga," ujarnya.

Ia berharap, diskusi tentang sejarah Maghilewa ini bisa menjadi landasan dasar atau menjadi cetak biru pengembangan Maghilewa di masa depan.

"Sejarah menjadi penentu arah masa depan," ujarnya.

Sementara itu, wewakili pemerintah Kabupaten Ngada, khususnya Dinas Pariwisata, Ivan, mengakui kalau dari sekian banyak kampung adat yang terdapat di sana, Maghilewa termasuk bagian yang belum banyak "disentuh" oleh pemerintah maupun pihak swasta atau swadaya masyarakat.

"Kalau kampung adat Bena, Gurusina, dan Tololela sudah banyak dikenal,"terangnya,

Ia mengatakan sehingga kalau ingin Maghilewa menjadi magnet pariwisata, perlu diperhatikan kembali dengan melakukan branding yang lebih kencang.

Pemandu diskusi, Nikolaus Loy, SIP, MA, menerangkan sejak awal, diskusi mengenai sejarah Maghilewa ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi sekaligus merekam berbagai tradisi lisan dari masyarakat, khususnya tokoh-tokoh masyarakat yang pernah merasakan hidup dengan tradisi masa lalu atau setidaknya pernah mendengar cerita dari kakek-nenek dan membaca catatan lain.

Cerita-cerita lisan tersebut akan menjadi bahan dasar untuk riset dan pengembangan Maghilewa ke depan.

Sebagai dosen di UPN "Veteran" Yogyakarta, Niko juga mengajak rekan dosen lainnya untuk bergabung dalam diskusi.

Mereka inilah yang nantinya dipersiapkan untuk melakukan riset lanjutan berdasarkan hasil diskusi awal ini, kemudian merancang blueprint atau cetak biru masa depan Maghilewa.

Pemateri dalam diskusi tersebut, Dr. Drs. Yohanes Vianey Watu, M.Hum. Dia adalah dosen di Unika Widya Mandira Kupang.

Bukan hanya status itu yang membuatnya didapuk sebagai narasumber, tapi juga karena dia pernah melewati masa kecilnya di kampung tradisional yang unik dan menyimpan berbagai kekayaan budaya tersebut.

Pada kesempatan tersebut, dia lebih menekankan bagaimana mengembangkan kampung adat atau tradisional semacam Maghilewa ini untuk dijadikan bagian dari industri pariwisata di NTT.

Narasumber lainnya, Agustinus Ghedo Turu, seorang wartawan sekaligus sastrawan senior dan putra asli Maghilewa, berkisah banyak tentang sejarah kampungnya itu.

Agustinus menarasikan banyak hal, mulai dari sejarah dan makna nama Maghilewa, kisah tentang orang mencari emas pada tahun 1800-an, sejarah masuknya penjajah dan pembawa ajaran agama, dan masih banyak lagi.

Agustinus mengatakan sempat mengeluhkan generasi masa kini dari Maghilewa yang memanfaatkan media sosial seperti Facebook hanya sebagai ajang unjuk diri yang kurang bermakna, bahkan lebih banyak makian.

Ia sangat berharap, anak-anak muda Maghilewa bisa memanfaatkan media tersebut untuk menuliskan kisah atau sejarah kampungnya.

'Kenapa tidak menulis tentang sejarah Sa'o (rumah besar yang ada di kampung tradisional)?," ujarnya.

Menurut dia hal itu lebih berguna untuk memperkenalkan kepada khalayak luas, sekaligus sebagai warisan buat anak-cucu kelak.

Bila diklasifikasikan, sejarah Maghilewa secara umum terbagi menjadi dua periode waktu, yaitu sebelum dan sesudah tahun 1920.

Periode sebelum tahun 1920 itu dianggap sebagai masa kehidupan orang Maghilewa yang asli, dalam artian belum ada pengaruh apapun dari budaya luar.

Pasca 1920, setelah penyebar ajaran agama dan pendidikan formal masuk, Maghilewa mengalami perubahan dan membentuk sejarah tersendiri.

Dalam sesi diskusi, antusiasme para peserta sangat terasa. Meski jumlahnya tidak lebih dari 30 orang, tidak mengurangi dinamika sebuah diskusi, justru makin intens dan terjalin hubungan yang akrab.

Apalagi peserta didominasi orang Maghilewa dan Bajawa pada umumnya.

Selain membahas sejarah dan memaknai simbol-simbol adat, mereka juga memanfaatkan momen tersebut untuk saling melepas kangen dan bercanda bebas ala orang Bajawa.

Mereka mendiskusi tentang nama Maghilewa yang bermakna pohon kehidupan; membahas tempat sakral seperti Ture; mempertanyakan alasan adanya rantai emas di rumah adat; dan masih banyak sup-topik lainnya.

Kemudian mereka mengusulkan banyak hal untuk memastikan sejarah dan budaya lokal itu tidak lekas tergerus oleh perkembangan zaman modern.

Salah satunya ada usul untuk melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk mengampanyekan atau memberi pelajaran budaya lokal kepada anak sebagai generasi penerus Maghilewa.

Masih banyak rencana tindak lanjut lain yang dilahirkan dari diskusi ini. Salah satunya yang tidak kalah penting dan menarik, ajakan untuk "pulang kampung halaman" bagi putra-putri Maghilewa.

Saat sesi penutupan, Reinard L. Meo yang mengakui dirinya sebagai perwakilan orang yang tinggal di Bajawa, mengajak semua orang Bajawa di tanah rantauan untuk kembali, sebab pesta adat Reba sebentar lagi sudah tiba.

"Covid-19 hanya menyerang orang-orang yang khawatir, tidak pada orang yang mencintai kampungnya," pungkasnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gordi Donofan)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved