Tak Rela Timor Leste Merdeka, Milisi Pro Jakarta Rela Mati Demi NKRI, Kekhawatirannya Kini Terbukti
Kemakmuran sebagaimana yang dijanjikan masa itu hanya di angan-angan. Sebab selama dua dekade terakhir, perekonomian Timor Leste sangat buruk.
Meskipun pengeluaran pemerintah dapat merangsang konsumsi domestik, permintaan konsumen hampir seluruhnya dipenuhi oleh barang dan jasa impor.
Selain itu, warisan kolonialisme, pendudukan, dan konflik selama berabad-abad terus mempengaruhi dinamika kekuasaan formal dan informal, administrasi publik, pengaturan kelembagaan, dan modal manusia.
Pejuang Timor Timur Minta Senjata Ke Jakarta
Masalah Timor Leste pisah dengan Indonesia masih banyak menjadi pembicaraan hingga saat ini.
Pasalnya, dibalik referendum Timor Leste banyak sekali pro dan kontra di dalam negaranya sendiri.
Salah satunya adalah soal penduduk Timor Leste yang mengaku pro dengan Indonesia.
Bahkan mereka percaya jika kemerdekaan yang diperoleh Timor Leste dari Indonesia hanya akan menciptakan perang saudara.
Oleh sebab itu mereka mencegah kemerdekaan itu terjadi dengan melakukan tindakan tak terduga.
Menurut Irish Times, dilaporkan tahun 1999, loyalis pro Indonesia menuju Jakarta untuk mencari senjata.
Mereka mengatakan, takut jika perang saudara terjadi di wilayah bergejolak tersebut.
Mereka memilih untuk pergi ke ibu kota Indonesia, untuk meminta senjata, ketika ratusan sparatis Timor Leste berunjuk raja di ibu kota Timor Leste, Dili.
Mereka rakyat Timor Leste yang pro Jakarta tidak ingin kemerdekaan terjadi karena akan membahayakan daerah tersebut.
Basilio Dias Araujo, aktivis pro-Indonesia yang bekerja di kantor gubernur di Dili mengatakan, "Kami akan pergi ke Jakarta untuk meminta senjata, dan melindungi diri kami sendiri."
Tetapi beberapa aktivis pro-kemerdekaan menuduh gerombolan pro-Jakarta menimbun senjata dan membunuh pemuda yang menolak bergabung dengan mereka.
"Kelompok pro-integrasi bersenjata dan penduduk setempat, terutama anak muda, diintimidasi dan dipaksa untuk bergabung dengan milisi atau dibunuh jika mereka menolak," kata aktivis kemerdekaan Amandio Araujo.
Para pengunjuk rasa pro-kemerdekaan berkeliling di jalan-jalan Dili kemarin dengan truk dan sepeda motor, meneriakkan "Viva Timor Leste" (Hidup Timor Leste).
Pada saat yang sama Indonesia sudah mempertimbangkan untuk membiarkan bekas jajahan Portugis itu merdeka, membalikkan 23 tahun penentangan gigih terhadap kemerdekaan Timor Leste.
Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa badan legislatif tertinggi, Majelis Permusyawaratan Rakyat, dapat mempertimbangkan kemerdekaan setelah pemilihan nasional 7 Juni 1999.
Jika orang Timor Timur menolak tawaran otonomi yang memberi mereka kendali atas sebagian besar urusan mereka.
Indonesia menginvasi Timor Timur pada tahun 1975 dan mencaploknya pada tahun 1976.
Kelompok pro-Indonesia khawatir kemerdekaan dapat memicu kembalinya perang saudara setelah penarikan Portugal yang tiba-tiba pada tahun 1975.
Beberapa pemimpin pro-kemerdekaan mendesak Jakarta untuk tidak terlalu cepat meninggalkan bagian timur pulau Timor.
Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer, kemarin mengatakan bahwa otonomi masih merupakan pilihan terbaik bagi Timor Leste.
"Di sisi lain, jika pada akhirnya Timor Leste merdeka, kami jelas harus menerima itu," kata Downer kepada BBC di London.
Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu, Ali Alatas, mengatakan Indonesia tidak akan tiba-tiba keluar dari Timor Timur seperti yang dilakukan Portugal.
"Saya dengan tegas menolak pandangan beberapa orang yang telah memberikan komentar mereka seolah-olah kami hanya akan berkemas dan pergi dengan cara yang sama yang dilakukan Portugal pada Agustus 1975 dengan cara yang sangat tidak bertanggung jawab," katanya kepada wartawan setelah rapat kabinet.
Menteri Luar Negeri, Andrews, telah mengumumkan niat Pemerintah untuk membantu pengiriman pengawas PBB ke Timor Leste untuk mengawasi gencatan senjata dan penarikan pasukan Indonesia, Joe Humphreys melaporkan.
Seorang juru bicara Departemen mengatakan akan memberikan bantuan personel atau keuangan tergantung pada apa yang diinginkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
* Eks Pengungsi Timor Timur Betah di NTT, Tak Mau Hidup Susah di Timor Leste, Beras Saja dari Kupang
Ratusan eks pengungsi Timur Timur memilih tetap tiggal di wilayah Nusa Tenggara Timur yang merupakan bagian dari NKRI.
Mereka enggan kembali ke wilayah yang kini bernama Timor Leste lantaran sudah mendapat kabar mengenai kehidupan yang sulit di negara baru itu.
Di Kupang , Nusa Tenggara Timur dan daerah lain di NTT , mereka hidup dengan bertani , berternak bahkan tidak sedikit yang menjadi karyawan
Sementara kabar dari sanak saudara yang kerap berkunjung menyebutkan bahwa kehidupan di Timor Leste serba sulit
Bahkan beras saja dibawa dari Kupang karena berasa ada di negaranya berkualitas sangat buruk
Melalui invasi Timor Leste tahun 1975, Indonesia sempat menduduki Timor Timur hingga tahun 1999.
Referendum 1999, telah menyebabkan Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bumi Lorosae memilih menentukan nasibnya sendiri dengan membentuk negara bernama resmi Republik Demokratik Timor Leste.
Namun referendum juga membuat rakyat Timor Leste terpecah, dan menyebabkan kerusuhan.
Rakyat terbagi menjadi kelompok pro-kemerdekaan dan pro-integrasi, yaitu mereka yang ingin lepas dan yang ingin tetap bergabung dengan RI.
Baca juga: Megawati Ditantang Balik Kaum Milenial, Fahri Hamzah Bela Kaum Muda, Ini Katanya
Baca juga: Anggota Club Moge Aniaya TNI, Polisi Tetapkan 4 Orang, Begini Pembalasan dari Anggota TNI
Milisi pro-integrasi diduga sebagai pihak yang memulai kerusuhan yang kemudian meluas ke seluruh Timor Leste dan berpusat di Dili.
Situasi tersebut melahirkan para pengungsi yang mencari perlindungan ke luar Timor Leste, termasuk Indonesia.
Setelah kerusuhan di Timor Leste berhasil diredam, banyak dari para pengungsi yang enggan kembali ke tanah kelahirannya.
Ketakutan akan ancaman dari kelompok pro-kemerdekaan menghantui mereka yang memiliki pilihan berbeda.
Keleluasaan dan ketenangan hidup yang dirasakan selama mengungsi di Indonesia membuat mereka memilih menetap di wilayah RI meski harus terpisah dari keluarga.
Seperti cerita yang dimiliki oleh seorang pengungsi bernama Muhajir Hornai Bello ini, dilansir dari Pos Kupang (2/9/2019).
Muhajir harus berpisah dengan keluarganya yang memilih lepas dari Indonesia dan menjadi Timor Leste yang berdiri sendiri sebagai negara.
Komunikasi antara dirinya dan keluarga yang memilih tetap di Timor Leste sempat terputus.
Baru beberapa tahun kemudian setelah kemerdekaan Timor Leste, ia dan keluarganya kembali berkomunikasi.
"Banyak yang masih tinggal di Timor Leste, termasuk saudaranya bapak, saudara kakak bapak, saudara adik bapak, banyak yang masih di sana. Sempat putus komunikasi hampir 5 tahun," katanya.
Ia menceritakan bagaimana perbedaan pilihan membuat mereka terpisah, meski tak ada perdebatan yang berarti di antaranya.
"Tidak sempat yang ribut-ribut bagaimana tapi artinya kita sempat beda pendapat," sambung Muhajir.
Muhajir mengaku, kini tak ada yang dirindukan Muhajir dari Timor Leste, selain keluarga besarnya.
Namun, ada yang menjadi ganjalan hatinya, yaitu soal status kepemilikan tanah dan tempat tinggal mereka.
Padahal, ia dan rekan-rekannya sesama pengungsi telah berada di Indonesia selama dua dekade.
"Status kami tidak jelas, status tanah tidak jelas. Itu yang menjadi persoalan bagi kami yang masih tinggal di pengungsian."
Koordinator Kompas TV Biro Kupang, Eddy Olin saat menyerahkan bantuan kepada warga terdampak Covid-10 di Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang (POS KUPANG/ALFRED DAMA)
"Nasib kami sudah 20 tahun kok masih tinggal di pengungsian? Status tanahnya juga enggak jelas, ini yang selalu kami pikirin," ungkapnya.
Muhajir sendiri selama ini tinggal di Desa Noelbaki, Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) atau wilayah Timor Barat, bersama sebagian keluarganya.
Selama 20 tahun, Muhajir tak pernah beranjak dari pengungsian. Ia dan keluarganya tinggal di rumah darurat beratapkan seng di Noelbaki.
Di desa itu, ia tinggal bersama 3000 orang lainnya yang sama-sama mengungsi dari Timor Leste pasca referendum 1999.
"Saya dulu di Timor Leste di Kabupaten Viqueque," katanya.
"Saya pindah sama keluarga, mengungsi ke negara Indonesia. Termasuk bapak, mama, istri, anak semuanya ikut," ungkap mantan petani ini kepada ABC.
Bapak empat anak ini masih ingat betul bagaimana dirinya tiba pertama kali di Noelbaki.
"(Saya) sedih karena kita pisah dengan keluarga, artinya kurang lebih ya 3-4 bulan itu kami masih sedih," katanya.
"Setahun pertama kami datang ke sini itu kegiatan tidak ada, karena dipikirnya itu akan kembali ke Timor-Timur (Timor Leste) lagi, makanya tidak ada aktivitas hanya tunggu saja bantuan kemanusiaan."
Muhajir benar-benar tak mencari mata pencaharian atau melakukan aktivitas selayaknya orang yang memulai hidup baru.
Tempat Pembuangan Sampah di Timor Leste (via intisari.grid.id)
"Tidak ada aktivitas seperti buat kebun, tanam sayur atau apa karena tadinya pengen mau pulang," kisahnya.
Muhajir juga menceritakan bagaimana ia sampai di Kupang.
Ia mengatakan, bahwa mereka menumpang kapal TNI, bergabung bersama para pengungsi lain dari sejumlah kabupaten.
"Kira-kira seribu lebih orang ada di kapal itu. Itu semua orang dari beberapa kabupaten yang pro-integrasi mereka mengungsi bersama, ada 3 kapal perang TNI (yang digunakan mengungsi) seingat saya," tuturnya.
Muhajir memang sedikit beruntung karena mendapatkan rumah sederhana yang hanya ditinggalinya dengan keluarganya.
Sementara, pengungsi lain terpaksa berbagi rumah dengan satu atau bahkan 6 keluarga lain, padahal ukuran rumah darurat itu tak luas.
"Satu rumah ada yang ukuran 4x4, 4x6, tapi semuanya kami usaha sendiri," katanya.
Namun di pengungsian, mereka tetap harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidup.
"Pemerintah hanya bantu awal 99 saja, habis bantuan kemanusiaan tidak ada, sekarang ini (rumah) kita bangun sendiri," aku pria yang sekarang bekerja di peternakan ini pada ABC.
Apalagi, di awal-awal kedatangannya ke Noelbaki, kondisi pengungsian jauh lebih ramai, kenang Muhajir.
"Dulu cukup banyak, ada 7000 kepala keluarga yang tinggal di Noelbaki , sekarang tinggal 412 kepala keluarga (atau hampir 3000an orang lebih),"
"Itu karena dulu sudah ada yang ikut repatriasi kembali ke Timor Leste, ada yang ikut transmigrasi di Sulawesi, ada yang pindah ke wilayah NTT lain," tuturnya.
Dibanding di tanah kelahirannya, ia merasa hidupnya jauh lebih baik di tanah pengungsian.
"Ya kalau pribadi saya, saya lebih suka di NTT. Sekarang memang lebih baik dari di Timor Leste."
"Malahan saudara saya yang di Timor Leste ambil berasnya dari Kupang terus dibawa ke sana. Di sana mereka punya beras kurang bagus makanya ambil di sini."
Baca Juga: Melarat akibat Pandemi, Timor Leste 'Main Kotor' dengan Kelabui Petani, Rakyat yang Kelaparan Diberi Makan Beras Impor Rusak dari Vietnam
"Saya punya adik beberapa kali ke sini, tiap pulang selalu bawa kembali kurang lebih 100-200 kg beras ke Timor Leste," ceritanya.
Muhajir enggan kembali ke kampung halaman. Ia enggan mengenang mimpi buruk semasa pra-referendum.
Menurutnya, di sana ia tidak bisa bergerak bebas, termasuk untuk sekedar bekerja atau bertani.
"Kalau di sini kita petani mau bekerja di pertanian bisa, karena aman untuk kita bekerja."
"Kalau dulu, kita mau bertani jauh dari kampung itu kan kita takut, trauma, diteror, diancam sama kelompok-kelompok yang ingin merdeka," ungkapnya.
Namun, ia dan para pengungsi tetap berharap status kepemilikan tanah mereka jelas, sehingga mereka dapat tinggal dengan tenang.
Ia berharap Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan nasib pengungsi Timor Leste.
Terutama generasi muda, agar mereka terbebas dari pengangguran, tak seperti kebanyakan pengungsi tua yang bertahan di Noelbaki.
Jasa Presiden Soeharto Tak Akan Bisa Dilupakan
Penyerbuan dan pendudukan Timor Leste dilakukan tahun 1975 saat Indonesia masih dipimpin Presiden Soeharto
Tidak saja menginvasi, pemerintahan era Seoharto juga membangun negara itu agar tidak tertinggal dari provinsi lain di Indoneisa setelah wilayah itu menjadi provinsi termuda dengan nama Timor Timur
Indonesia bukan satu-satunya negara yang pernah menduduki Timor Leste.
Sebelum Indonesia menginvasi Timor Leste di tahun 1975, Portugal lebih dulu menjajah wilayah tersebut bahkan selama ratusan tahun.
Meski begitu, kenangan kelam rakyat Timor Leste terkait invasi Indonesia dan tahun-tahun setelahnya mungkin tidak pernah akan hilang.
Di mata Timor Leste , Indonesia tetap merupakan negara yang memberikan kesengsaraan pada mereka.
Selama 24 tahun pendudukan Timor Leste oleh Indonesia diyakini ribuan orang menjadi korbannya.
Konflik, kelaparan, hingga penyakit merupakan hal yang disebut melatarbelakangi keinginan Timor Leste untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Invasi Timor Leste oleh Indonesia sendiri terjadi di masa pemerintahan Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Tindakan Soeharto itu disebut mendapat dukungan dari Amerika Serikat, terungkap melalui dokumen rahasia yang dirilis usai Timor Leste merdeka.
Kekhawatiran bahwa ideologi komunis dapat masuk ke Indonesia melalui Timor Leste setelah terjadi di Vietnam , dirasakan oleh AS maupun pemerintah Indonesia saat itu.
Mendapat dukungan tersebut, tanpa ragu lagi Soeharto melancarkan invasi Timor Leste pada 7 Desember 1975.
Kemudian awal tahun berikutnya, 1976, Timor Leste jatuh ke tangan Indonesia, menjadi provinsi termuda RI.
Timor Leste diinvasi Indonesia di era Soeharto dan menjadi wilayah Indonesia selama 24 tahun selanjutnya, ternyata rakyat Timor Leste tetap memandang Presiden ke-2 RI tersebut berjasa bagi Bumi Lorosae.
Melansir Kompas.com (28/1/2008), seluruh rakyat Timor Timur, yang kini dikenal Timor Leste, kapan saja dan dimana pun berada tidak akan pernah melupakan jasa besar mantan Presiden Soeharto dalam membangun rakyat dan tanah Timor Lorosae selama masa integrasi Timor Timur dengan Indonesia tahun 1976-1999.
Pengakuan itu disampaikan peraih Nobel Perdamaian 1996 dan mantan Administrator Apostolik Dioses Dili, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo SDB di Mogofores , Portugal, Senin (28/1) kepada ANTARA melalui email. "Orang Timor Lorosae tidak akan pernah melupakan jasa besar Pak Harto dalam membangun Timtim di segala bidang kehidupan.
"Kita berharap, walaupun Pak Harto telah meninggal dunia namun para pemimpin bangsa Indonesia yang menggantikannya memiliki semangat membangun seperti Pak Harto dan terus menjalin kerja sama Indonesia dengan Timor Leste demi tercapai perdamaian dan kesejahteraan bersama," kata Belo.
Hal tersebut disampaikan Belo selepas meninggalnya Mantan Presiden Soeharto . Saat itu, Belo juga menyampaikan rasa belasungkawa yang mendalam kepada keluarga Pak Harto dan Bangsa Indonesia atas wafatnya mantan Presiden Soeharto.
Uskup Belo mengatakan, ketika mendapat berita bahwa Pak Harto meninggal dunia pada Minggu (27/1) Pkl.13.10 WIB, dirinya seakan-akan pulang ke tanah Timor Lorosae memutar kembali film perjalanan Pak Harto di "bumi matahari terbit" itu antara tahun 1976 hingga 1999.

"Kesan saya tentang pribadi Pak Harto, walupun banyak masalah di Timor Timur, tetapi Pak Harto memandang semua itu dengan penuh arif-bijaksana. Beliau adalah Bapa Pembangunan, dan itu benar adanya. Saya bertemu dengan beliau sebanyak tiga kali," kata Uskup Belo.
Saat itu, Uskup Belo juga mengenang pertemuan-pertemuannya dengan Presiden Soeharto.
Pertemuan pertama kali ketika Pak Harto bersama Ibu Tien Soeharto datang ke Dili untuk meresmikan Gereja Katedral Dili.
Pertemuan kedua, ketika Presiden Soeharto meresmikan Patung Kristus Raja di Fatucama, Dili Timur dan perjumpaan ketiga di kediaman Pak Harto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat.
"Saya sudah lupa tanggal dan hari pertemuan kami dengan Pak Harto itu tetapi seingat saya, ketika itu saya bersama Uskup Basilio do Nascimento datang ke Jakarta untuk silaturahmi dengannya. Kami bertemu pada malam hari, dari jam sembilan malam sampai dengan jam 10 malam waktu Jakarta," kata Uskup Belo.
Ia pun masih mengingat bagaimana Presiden Soeharto menerangkan ideologi Pancasila pada mereka.
"Ketika bertemu, beliau menerima kami dengan senyum seorang bapak yang arif-bijaksana. Ketika itulah Pak Harto secara panjang lebar menerangkan ideologi Pancasila kepada kami berdua selaku Uskup Gereja Katolik di Timor Timur," katanya.
Pak Harto sangat berharap agar dua Uskup dari Timtim ini dapat kembali ke tanah Timor Lorosae dan menjelaskan isi Pancasila itu kepada umat Katolik di sana.
"Sebagai manusia, Pak Harto adalah sosok yang simpatik. Sebagai negarawan, beliau telah memimpin Republik Indonesia secara disiplin," kata Uskup Belo.*
Sebagian artikel ini sudah tayang di intisari.grid.id dengan judul: Indonesia Menginvasi Timor Timur di Era Soeharto, Tapi Sosok Ini Pernah Katakan Jasa Presiden ke-2 RI Tidak akan Terlupakan oleh Rakyat Timor Leste https://intisari.grid.id/amp/032387473/indonesia-menginvasi-timor-timur-di-era-soeharto-tapi-sosok-ini-pernah-katakan-jasa-presiden-ke-2-ri-tidak-akan-terlupakan-oleh-rakyat-timor-leste?page=all
(*)
Sebagian artikel ini sudah tayang di sosok.grid.id: Pengungsi Timor Leste Ogah Balik ke Tanah Kelahirannya, Betah di Indonesia Meski 2 Dekade Pisah dari Keluarga: Saya Lebih Suka di Sini https://sosok.grid.id/read/412407936/pengungsi-timor-leste-ogah-balik-ke-tanah-kelahirannya-betah-di-indonesia-meski-2-dekade-pisah-dari-keluarga-saya-lebih-suka-di-sini?page=all
Artikel ini telah tayang di Intisari-Online.com dengan judul "Padahal Indonesia Sudah Pasrah Saat Timor Leste Memilih Untuk Merdeka, Tak Disangka Rakyat Timor Leste yang Pro-Indonesia Justu Lakukan Aksi Tak Terduga Ini" https://hot.grid.id/read/182410704/takut-bakal-berlarut-ke-perang-saudara-berikut-sikap-rakyat-timor-leste-yang-pro-indonesia-saat-dili-memanas-pergi-ke-jakarta-minta-senjata-untuk-bela-nkri?page=all
Artikel ini telah tayang di Grid.ID: https://sosok.grid.id/read/412400322/jejak-bumi-hangus-milisi-pro-jakarta-jegal-kemajuan-ekonomi-timor-leste-bekas-timor-timur-masih-terseok-2-dekade-pasca-referendum?page=all