Kisah LGBT Nusa Tenggara Timur: Nyaris Bunuh Diri Hingga Enggan Gereja
Kisah LGBT Nusa Tenggara Timur ( NTT): nyaris bunuh diri hingga enggan gereja
"Bagaimana katong (kita) bisa menerima dan berdamai dengan diri sendiri itu yang paling penting. Karena saat kita berdamai dan menerima diri sendiri maka setelahnya proses bagaimana kita bisa siap menghadapi tantangan ke depan. Lu (kamu) pung hidup tidak tergantung dari omongan orang lain," pesan Rido.
Cerita juga datang dari Tia (27), lesbian yang pernah hidup bersama seorang pria (tidak menikah) dan memiliki dua orang anak. Tia selalu beribadah ke gereja tapi tak mengikuti perjamuan karena belum Sidi-pengakuan iman.
Tia merasa tak pantas Sidi karena baginya dengan melakukan Sidi artinya ia tak boleh menjadi Lesbian.
"Pengen seperti yang lain, Sidi, tapi beta rasanya belum siap, belum pantas. Tapi beta percaya apapun yang terjadi ini Tuhan pung jalan," katanya.
Ketua Komunitas Lesbian, Biseksual dan Transgender fimale to male (LBT) dan Ketua Pelangi Kota Kupang, Charli (31) ini pernah ingin menjadi biarawati tapi tak direstui keluarganya. Akhirnya setelah masuk biara selama 1,5 tahun, cita-cita dan keinginan hilang begitu saja.
Charli mengaku tak percaya diri dengan penampilan fisiknya hingga dia tak mudah menjalani kehidupannya. Charli yang pernah lari dari rumah selama setahun itu pernah coba berpacaran dengan seorang pria tapi tak bisa melanjutkan hubungan itu karena tak nyaman.
"Agar tak minder lagi dan diterima di gereja dan masyarakat, beta sekolah hingga S2," ungkapnya yang kini sudah terbuka terhadap indentitasnya, baik di lingkungan masyarakat dan pekerjaannya.
Charli kini aktif sebagai pengajar bahkan menjadi ketua jurusan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Kupang. Menurutnya, selain coming in (mengakui identitas diri sendiri), LGBT juga mesti meningkatkan kualitas diri agar bisa diterima dalam kehidupan bermasyarakat dab, bergereja.
"Beta mau tunjukan dan buktikan ke semua orang walau beta begini, tapi beta punya prestasi. Jika berprestasi maka tidak ada orang yang omong jelek tentang beta," katanya yang aktif sebagai ketua OMK.
Natacya Goncalves Nahak alias Nata (40), seorang transpuan lebih beruntung karena sejak kecil sudah jujur akan dirinya dan diterima oleh ayahnya. Dulu saat dicemooh masyarakat dia sakit hati, tapi kini Nata merasa terbiasa menerima ejekan itu.
"Beta bercermin bahwa beta punya kehidupan seperti ini, berjenis kelamin laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, otomatis akan dihadapkan dengan berbagai macam bahasa di luar sana. Biar saja, itu hak mereka," sahutnya.
Mengenakan daster batik coklat yang sepadan dengan warna kuku tangannya, tato rosario di punggung tangan kirinya, tato salib di belakang leher dan tato kawat duri di kedua dadanya, malam itu Nata duduk di sebelah ayahnya.
Saat berumur 30-an tahun, Nata sangat rindu menerima Sakramen Krisma. Namun ragu apakah dia bisa diterima oleh Gereja karena kondisi fisiknya sebagai trasnpuan yang sudah memiliki payudara.
Tiga tahun bergumul akhirnya Nata melaksanakan Sakramen Krisma setelah difasilitasi oleh Oce, transpuan lain. Ia bertemu pastor paroki di gereja pinggiran Kota Kupang.
"Saya tanya, Bapa Romo beta bisa ikut Krisma atau tidak? Keadaan beta seperti ini, beta punya payudara, beta tidak bisa pakai baju laki-laki. Bapa Romo bilang bisa, ia minta waktu untuk berkonsultasi dengan keuskupan terlebih dahulu," kenangnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/nata-dan-rido-2.jpg)