Kisah LGBT Nusa Tenggara Timur: Nyaris Bunuh Diri Hingga Enggan Gereja
Kisah LGBT Nusa Tenggara Timur ( NTT): nyaris bunuh diri hingga enggan gereja
Kisah LGBT Nusa Tenggara Timur ( NTT): nyaris bunuh diri hingga enggan gereja
POS-KUPANG.COM - COCO (32) pernah berniat bunuh diri di kamar rumahnya. Pria dengan rambut ikal seleher ini mengalami pergolakan batin antara identitas iman dan identitas seksual yang dimilikinya.
Coco adalah gay yang tidak dapat mengekspresikan dirinya sesuka hati. Alasannya beragam, karena tekanan masyarakat, keberadaannya sebagai gay, status sosial.
"Beta (saya) sudah tertekan dengan latar belakang keluarga dan ajaran agama bahwa kita ( LGBT) diluar dari ajaran agama. Dari situ sempat punya pemikiran mau bunuh diri, untung Tuhan sayang beta," cerita Coco, awal September 2020.
Sejak kecil Coco sudah tertarik kepada laki-laki, tapi tak pernah bisa mengungkapkan karena bingung akan identitasnya. Setelah dewasa Coco memilih masuk ke sekolah imam agar bisa belajar agama secara mendalam sehingga bisa menemukan jawaban akan statusnya .
"Apakah LGBT itu dosa? Bisakah LGBT diterima di Masyarakat? Itu adalah hal-hal yang kerap jadi pertanyaan Coco sedari kecil. Usai ayahnya meninggal dunia, Coco akhirnya coming out kepada ibu, kakak dan adik-adiknya. Saat itu sang ibu tidak secara lugas mengatakan menerima keberadaan Coco sebagai LGBT. "Tapi mama bilang tak akan membuangku karena aku anaknya," ucapnya lirih.
• Akmal Taher Mundur dari Satgas Covid-19: Saya Kerjakan Apa yang Saya Yakini
Coco lalu coming out ke teman-teman sebelum menjadi imam. Usai pengakuannya teman-teman berbondong-bondong menemui Coco dan memberikan dukungan. Kini, Coco sudah ditahbis menjadi imam dan merasa tak perlu bersembunyi lagi.
"Pertanyaannya tentang apakah dia berdosa karena menyukai laki-laki itupun kini sudah mulai ditemukan jawabannya. Selama hidup, beta tanya pada Tuhan, apakah beta salah? Apakah beta berdosa? Bukankah Tuhan sendiri bilang, kasih cinta itu anugerah. Jadi, buat beta itu anugerah atau kutuk?" ujarnya menggugat.
Coco yakin tantangan akan semakin besar dalam menjalankan profesinya sebagai imam. "Beta siap hadapi apapun karena ini adalah sepatu yang beta pakai," sahutnya Coco.
Cerita Jhow (28) dan Rido (39), gay lainnya pun nyaris sama. Tekanan keluarga, masyarakat dan penolakan gereja adalah hal yang sangat diakrabin mereka. Jhow dan Rido sangat aktif di kegiatan kepemudaan gereja dan tampil setiap Minggu sebagai song leader di gereja.
Kondisi itu membuat mereka pernah dipanggil oleh seorang pendeta yang memintanya untuk mengubah perilakunya dan jemaat pun memandang sebelah mata. Jhow memilih berhenti mengunjungi gereja sejak 2018.
"Sekalipun beta tak ke gereja, hubungan beta dengan Tuhan sangat baik, beta selalu berdoa padaNya. Kini beta tak peduli lagi apa kata orang tentang kehidupan beta. Beta sudah menerima diri beta, tak butuh pengakuan orang lain," ujar Jhow dengan dialek Kupang.
Bagi Jhow, menjadi gay bukan keinginannya karena hal itu itu sudah dirasakannya sejak kecil. "Ini adalah given dari Tuhan. Saat Tuhan kasih beta pung hidup seperti apa, beta akan lakukan seperti yang Dia mau," ujarnya.
Rido pernah lari dari rumah dan menghadapi `persidangan' dari keluarga besar saat keluarganya tahu keberadaannya sebagai gay. Namun, Ketua Koordinator Independen of Flobamora (IMOF) NTT ini tetap bersikeras menjadi dirinya sendiri.
Rido yang pernah menjadi waria mengatakan, LGBT tak perlu memaksakan diri coming out (pengakuan kepada orang lain) karena yang penting adalah bagaimana LGBT bisa menerima diri sendiri terlebih dahulu.
