TRIBUN WIKI : Fenomena Kemunculan Katak Emas, Ikan, Belut dan Kisah Mistis Danau Tiwu Sora Ende

Ada yang unik di obyek wisata Danau Tiwu Sora di Desa Tiwu Sora Kecamatan Kota Baru Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur ( NTT)

Penulis: Laus Markus Goti | Editor: Kanis Jehola
FOTO Gregorius M. Ade, SP.MP Camat Kota Baru Kabupaten Ende untuk POS-KUPANG.COM
Danau Tiwu Sora 

POS-KUPANG.COM | ENDE - Ada yang unik di obyek wisata Danau Tiwu Sora di Desa Tiwu Sora Kecamatan Kota Baru Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur ( NTT).

Danau yang kental dengan cerita mistis mulai itu sudah sangat dikenal oleh warga Kabupaten Ende dan diakui sebagai tempat keramat.

Pada musim tertentu yakni pada bulan Januari dan Februari di pinggir Danau Tiwu Sora sering muncul ikan, belut dan katak emas. Ikan.

Danau Tiwu Sora Ende Obyek Wisata Keramat Batu-batu Berbentuk Manusia, Bikin Penasaran!

Gregorius M. Ade, SP.MP Camat Kota Baru, kepada POS-KUPANG.COM, Kamis (10/9/2020) menuturkan ikan, belut dan katak emas memang muncul pada musim tertentu saja.

"Kalau memang bukan musimnya, kita pakai mancing saja, tidak akan dapat. Jadi ada Januari dan Februari itu dia ke pinggir danau dan warga tinggal tangkap," ungkapnya.

Gregorius mengatakan katak emas dalam bahasa setempat disebut Leko Wea. Disebut katak emas karena katak tersebut, kata Gregorius berbeda dengan katak pada umumnya.

Bawaslu Sumba Barat Minta Kepolisian Bertindak Tegas Bila Paslon Langgar Ketentuan

Menurutnya, katak di Danau Tiwu Sora berwarna emas dan mengeluarkan cahaya keemasan. "kami menyebutnya Leko Wea," kata Gregorius.

Sementara belut, lanjutnya, memang punya kaitannya dengan cerita tentang danau Tiwu Sora.

Cerita tentang terbentuknya Danau Tiwu Sora berawal dari kejadiaan seorang bernama Woda Sora menemukan belut dalam jerat yang dipasang Woda Sora dekat mata air kecil. Mata air kecil tersebut lantas menjadi danau Tiwu Sora.

Batu-batu Berbentuk Manusia

Danau Tiwu Sora cukup jauh dari permukiman warga, Desa Tiwu Sora. Danau ini indah, didukung dengan kekayaan flora dan fauna.

Selain itu jalan menuju Tiwu Sora pengunjung akan menemukan batu-batu berbentuk manusia yang masih ada kaitannya dengan Danau Tiwu Sora. Batu-batu itu diberi nama.

Ada Watu (Batu) Tege; batu berbentuk seperti kakek, lokasinya di Deturia sebelum masuk desa Tiwu Sora.

Watu Mondo; berbentuk kumpulan orang lokasi di Lokalande desa Tou. Watu tura ; berbentuk kakek yang lagi mengendong anak kecil lokasi desa Hangalande.

Watu Susu; berbentuk seorang wanita yang sedang menyusui anak bayi lokasi desa Tiwu Sora.

Para pengunjung yang hendak ke Danau Tiwu Sora, biasanya ditemani oleh warga setempat agar tidak terjadi hal buruk terhadap pengunjung.

Menariknya para pengunjung yang datang akan disambut secara adat, berupa tarian adat dan ritual khusus supaya pengunjung terhindar dari bahaya.

Gregorius mengatakan cerita mengenai Danau Tiwu Sora turun-menurun secara lisan. Konon, nama Danau tersebut diambil dari nama seorang bernama Woda Sora.

Awalnya Danau Tiwu Sora merupakan mata air kecil di lembah. Di dekat mata air tersebut Woda menanam berbagai jenis ubi-ubian. Sayangnya, setiap kali mau panen Woda selalu mendapati ubi-ubinya hilang. Woda pun penasaran.

Suatu ketika Woda Sora memasang jerat dekat mata air tersebut. Keesokan harinya Woda Sora mendapati jeratnya terlepas. Namun ia menemukan ada lendir-lendir menempel di jeratnya.

Tak putus asa, Woda kembali memasang jerat. Kali ini ia menyiram abu dapur di sekitar jerat. Keesokan harinya, Woda kaget, dalam jeratnya ada seekor belut besar.

"Nah belut itu dia bawa sekalian dengan jerat ke rumah. Kampung si Woda ini di atas bukit, di atas mata air keci itu," ungkap Gregorius.

Woda lalu menunjukan belut itu kepada saudarinya Ndero Sora, Sovi Sora dan kakanya Ndingga Sora. Ndingga pun kaget. Menurut Ndingga jeratan Woda bukan jeratan bisa sehingga harus dilangsungkan upacara adat.

Bersama warga kampung mereka lalu melakukan upacara adat di mata air, dekat tempat dimana Woda memasang jerat.

"Belutnya ditaruh dalam sebuah wadah, dibuat semacam tungku lalu kepala belut itu ditaruh semacam gelang," jelas Gregorius.

Setelah itu dilanjutkan dengan upacara pemotongan hewan dan gawi (gawi: tarian adat).

Namun sebelum gawi mereka sumpah adat bahwa ketika terjadi sesuatu selama gawi, setiap orang tidak boleh lari, kalaupun lari, tidak boleh menoleh ke belakang.

Selama gawi berlangsung hujan turun. Ndingga enam kali bertanya kepada saudara-saudarinya, 'air sudah sampai mana'. Nampaknya ketika mulai gawi air pelan-pelan mengenangi mereka.

Sampai air menjangkau leher mereka, ada warga lari, ada yang bertahan, dan tiba-tiba kampung mereka di atas bukit roboh ke bawah mata air air dan terbentuklah Danau Tiwu Sora.

Warga yang lari banyak yang sempat menoleh ke belakang dan mereka langsung menjadi batu.

"Bahkan ada yang lari sudah jauh tetapi karena toleh ke belakang maka jadi batu. Nah yang lari ini ada yang sedang gendong dengan anak kecil sehingga kalau kita lihat batu-batu itu, persis seperti seorang ibu yang sedang gendong anak," ungkapnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oris Goti)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved