Opini Pos Kupang
Uang Milliar Beredar Musim Pilkada
Sekarang musim Pilkada. Uang milliar beredar. Wajar. Masyarakat di sembilan kabupaten senang. Ini di NTT
Oleh : Anton Bele, Pengkaji Filsafat Pembangunan
POS-KUPANG.COM - Sekarang musim Pilkada. Uang milliar beredar. Wajar. Masyarakat di sembilan kabupaten senang. Ini di NTT. Pada hari-hari sosialisasi calon, orang berkumpul biar terbatas, makan-minum gratis. Transportasi juga dibiayai. Akomodasi dijamin. Sah. Boleh saja ada yang bertanya, dana milliaran rupiah beredar. Dari siapa untuk siapa, dari mana ke mana? Pertanyaan-petanyaan ini bisa dijawab sejauh boleh dijawab, tergantung siapa si penanya dan apa tujuan pertanyaan.
Orang menghambur untuk menuai. Bodohlah orang yang hanya hambur-hambur tanpa harap menuai. Nafsu memperoleh sesuatu itu sah. Dalam pilkada, nafsu atau dorongan, keinginan itu jelas, kursi bupati dan wakil bupati. Ini kursi, jadi hanya dua. Bukan bangku yang bisa diduduki oleh beberapa orang sesuai ukuran panjang-pendeknya bangku. Kursi itu istilah di dunia demokrasi. Kalau di dunia feodal, takhta.
• Jangan Bawa Isu SARA dalam Pilkada
Dana pilkada yang miliaran itu perlu nalar yang jernih, masuk akal. Ada pasak, ada tiang. Jangan besar pasak dari tiang. Lihat baik-baik, berapa jumlah pasak dan berapa besar tiang. Nalar dibutuhkan untuk timbang semua ini.
Pilkada butuh uang. Naluri harus tajam, dari siapa dana diperoleh. Naluri mendorong sang calon dan para pengusung runding baik-baik dengan sesama, rekan-rekan, tentang asal-usul dana yang masuk dan ke luar. Jangan sampai masuk menetes, ke luar merembes.
Mengalir ke sana-sini sampai basah kuyup tanpa hasil. Sering dana merukunkan, tapi jaga supaya dana tidak meretakkan hubungan yang tadinya akrab jadi berantakan.
• Atonik 6.0 L Diperkenalkan di Nagekeo, Bisa Meningkatkan Produksi Jagung Hingga 59 Persen
Seluruh hiruk-pikuk kampanye yang dibiayai dengan dana miliaran rupiah, harus direnungkan secara tenang dan teduh dalam nurani. Dalam nurani ada peresapan setiap saat hasil gerak-gerik setiap saat, ada renungan tentang setiap derap langkah kegiatan, ada saringan untuk setiap tutur kata, siap dipertanggung-jawabkan kepada sesama dan terlebih kepada TUHAN, apakah sesuai dengan aturan alam, hukum negara dan perintah Pencipta.
Dalam NAFSU ada keinginan, dalam NALAR ada pertimbangan, dalam NALURI ada rekanan, dalam NURANI ada renungan. Inilah empat unsur dalam diri setiap pribadi manusia, termasuk para calon, empat unsur yang harus utuh terpadu, seimbang-sejalan membuat diri kita manusia tenang dan damai (4N, Kwadran Bele 2011).
Pilkada yang prosesnya hanya beberapa bulan jangan sampai membuat `4N' dalam diri manusia ini runtuh beranatakan dan butuh waktu lama untuk kembali pulih.
Pilkada dengan dana miliaran rupiah ini adalah pemilihan kepala daerah. `Pilkada', bukan `Perkada'. Kalau `Perkada', itu perlombaan kepala daerah.
Kalau perlombaan, pertandingan, pasti ada kalah-menang. Dalam Pilkada, tidak ada kalah-menang. Yang ada, `terpilih-tersisih'. Dua orang yang terpilih, bupati dan wakil bupati. Yang lain, tersisih. Jadi yang terpilih nanti, harap tidak terbuai arus hura-hura dan sorak-sorai `menang' lalu pawai keliling kota dan desa dengan masker di wajah.
Yang tersisih harap tidak berurai air mata sambil berkata, `kalah' dan duduk hisap rokok tak berasap dan hirup kopi pahit sungguhan sambil tutup telinga enggan mendengar pekikan orang yang nyatakan diri `menang'. Jangan dengar lagu `By the Rivers of Babylon' dari Boney M, `Di tepi sungai-sungai Babylon, di sana kami duduk dan meratap'.
Tidak ada kalah tidak ada menang dalam pilkada. Sekali lagi ini pendapat saya pribadi sebagai penulis artikel ini, yang ada itu, `terpilih' dan `tersisih'. Dana miliaran jangan disoraki dan jangan pula diratapi. Semua ini pasti akan berlalu dan siap terima posisi terpilih atau tersisih.
Wajar, yang terpilih mulai hitung-hitung, berapa milliar rupiah sudah ke luar dan bagaimana, kapan, di mana, dari mana cari untuk ganti atau isi kembali. Pertanyaan krusial, ada tiga: cari, cubit atau curi? Cari, baik dan harus.
Cubit? Hati-hati. Curi, jangan. Lima tahun duduk di kursi bupati dan wakil bupati jangan menjadi kursi panas. Dua kursi itu empuk, tempat berembuk tentang gagasan perubahan, tempat memupuk sumber daya pembangunan bukan tempat menumpuk kuasa dan mengumpul harta.
Sumber dana harap jadi sumber bahagia dan tidak menjadi sumber bahaya. Bahagia akan terjadi kalau Nafsu dalam bentuk keinginan terpenuhi secara wajar, Nalar dalam bentuk segala perhitungan tidak meleset, Naluri dalam bentuk segala jejaring rekanan terjalin utuh sehingga Nurani menjadi tenang dan damai dalam ungkapan puja dan puji kepada Pencipta.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/ketimpangan-pendapatan-patologi-inheren-perekonomian.jpg)