Opini Pos Kupang
Hoegeng dan Seladi Bisa Mengapa yang Lain Tidak
Menjelang hari ulang tahun Kepolisian Republik Indonesia, masyarakat tersentak oleh berita yang agak mencoreng citra kepolisian
Oleh: Frans X. Skera, Warga Kota Kupang
POS-KUPANG.COM - Menjelang hari ulang tahun Kepolisian Republik Indonesia, masyarakat tersentak oleh berita yang agak mencoreng citra kepolisian. Pertama, dugaan keterlibatan enam (6) Orang penyidik Polda NTT dalam pemerasan BT, tersangka korupsi pengadaan bawang merah di Kabupaten Malaka, sebesar Rp. 700.000.000,-(ref: Pos Kupang, Kamis 18 Juni 2020)
Kedua, penjemputan dan interogasi terhadap Ismail Ahmad oleh Polres Kabupaten Sula, Maluku Utara, kemudian diminta membacakan permintaan maaf karena mengunggah guyonan Presiden ke empat (4) RI , Abdul Rachman Wahid, tentang hanya ada tiga (3) polisi jujur yaitu mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, polisi tidur, dan patung polisi, pada Jumat, 12 Juni 2020.
• Mengapa Perbaikan Jembatan BGR Belum Dilakukan, Ini Tanggapan Kepala Dinas PRKPP TTU
Kedua berita di atas berkaitan dengan integritas/kejujuran dan korupsi, walaupun untuk berita Polres Sula ada aspek lain yaitu, upaya membungkam kebebasan berpendapat warga Negara, yang berarti tidak ikut bertanggung jawab merawat demokrasi.
Dalam rangka memperingati hari ulang tahun Kepolisian 1 Juli 2020 judul tulisan di atas sengaja dipilih karena tiga (3) alas an yaitu, pertama, publik saat ini dan kedepan mendambakan figur polisi jujur, cepat tanggap dalam pelayanan, dan tegas dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan, apalagi korupsi kolusi nepotisme dan suap masih mewabah, yang pada gilirannya meresahkan dan menyengsarakan masyarakat.
• Bagaimana SMPK Frateran Ndao Ende Sambut Tahun Ajaran Baru di Tengah Pandemi Covid-19
Kedua, setelah tindakan Polres Sula terungkap, nama Hoegeng Imam Santoso bergema lagi. Masyarakat rindu sosok seperti mantan Kapolri itu. Ketiga, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Prabowo telah menanda tangani usulan ke Menteri Sosial pada tanggal 16 Juni 2020 agar Pak Hoegeng dijadikan Pahlawan Nasional.
Memang berbicara tentang kejujuran /integritas hari ini, ibarat orang berteriak di padang gurun, suaranya akan hilang ditelan badai pasir yang datang bergelombang.
Banyak orang yang hidup dan usahanya besar dan mekar karena kecurangan, pasti tidak suka semua yang berkaitan dengan kejujuran. Kujujuran bak barang langka dewasa ini. Presiden Jokowi yang sederhana dan tulus bekerja keras untuk rakyat, masih saja terus diserang dengan berbagai berita bohong dan nyinyiran, karena kejujurannya dalam bertindak rupanya merugikan usaha sementara orang yang selama ini sukses berkat kecurangan (baca:KKN).
Bangsa dan dunia menyaksikan betapa Ahok menjadi korban, dan di penjara karena ketulusan dan kejujurannya mengabdi untuk rakyat DKI. Singkatnya, pejabat yang jujur pasti dimusuhi oleh meraka yang biasa bermain curang dan ditempuh segala cara supaya menjatuhkan penguasa jujur tersebut.
Kerinduan publik untuk mendapatkan sebanyak mungkin pejabat dan abdi negara/masyarakat yang jujur, mendapatkan angin segar dengan kasus Polres Sula yang memunculkan lagi nama Hoegeng Imam Santoso, sang Kapolri yang jujur.
Kisah sepak terjang Pak Hoegeng dan Bripka Seladi yang fenomenal selama bertugas, kiranya jangan hanya menjadi kebanggaan hampa korps Kepolisian, tetapi hendaknya terus menginspirasi, bahkan merasuki jiwa dan hati setiap insan Kepolisian agar berjuang untuk meneladani kedua tokoh yang membanggakan itu. Tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin.
Lalu apa ciri -ciri khas Hoegeng Imam Santoso? Dia adalah contohnya pejabat yang "satunya kata dan perbuatan". Dia sungguh abdi negara/masyarakat yang bersih, berwibawa, bertangggung jawab dan sederhana. Sejarahwan Asvi Warman Adam mengenang Hoegeng Imam Santoso sebagai polisi teladan. Tahun 1956 ketika ditugaskan sebagai Kepala Reserse Kriminal di Medan Sumatera Utara, yang terkenal sebagai daerah penyelundupan, Hoegeng disambut dengan cara unik. Rumah dan mobil pribadi telah disediakan oleh beberapa cukong judi, namun Hoegeng menolak dan memilih tinggal di hotel, sebelum mendapatkan rumah dinas.
Para cukong tak menyerah dan memenuhi rumah dinas Hoegeng dengan beragam perabot rumah tangga mewah. Hoegeng marah dan mengultimatum agar barang -barang itu diambil , tetapi para cukong bergeming, tidak perduli. Karena kesal, Hoegeng mengeluarkan perabot -perabot tersebut dan ditaruh dipinggir jalan. Gemparlah Kota Medan karena ada seorang Polisi yang tak mempan disogok (Kompas, 1 Juli 2004).
Hoegeng peka dan peduli terhadap sesama. Dia juga sederhana dan hemat, serta tak mau merugikan negara dengan pengeluaran yang tak perlu. Ciri khas ini, dikisahkan oleh Chris Sinner Keytimu, Putera Sikka, sesama anggota petisi 50. Tahun 1960 Presiden Soekarno menunjuk Hoegeng sebagai Dirjen Imigrasi. Sebelum dilantik, dia meminta istrinya menutup toko kembangnya, karena khawatir semua yang berurusan dengan Imigrasi akan membeli bunga di toko istrinya dan itu tidak adil buat pengusaha bunga lainnya. Selain itu Hoegeng juga menolak mobil dinas baru dari Setneg, karena dia sudah membawa mobil jeep Kepolisian. Bagi dia satu mobil sudah cukup untuk melaksanakan tugasnya (Kompas,15 Juli 2004).
Kesederhanaannya dan hidup hemat ditunjukan lagi tatkala menjabat Menteri Yuran Negara. Dia diminta untuk pindah dan rumahnya di Jalan Prof. Moh. Yamin ke rumah yang terletak di jalan protokol, lagi-lagi dia menolak dan mengatakan bahwa rumahnya sudah representatif.