Opini Pos Kupang
55 Tahun KOMPAS Kolaborasi Intelektual
Harian KOMPAS lahir dari visi besar PK Ojong dan Jacob Oetama pada tanggal 28 Juni 1965
Penulis: Adiana Ahmad | Editor: Kanis Jehola
Oleh : Linus Lusi, Kepala Badan Pengelola Perbatasan Provinsi NTT
POS-KUPANG.COM - Harian KOMPAS lahir dari visi besar PK Ojong dan Jacob Oetama pada tanggal 28 Juni 1965. Minggu 28 Juni 2020 genap 55 Tahun. Ibarat dia seorang ASN eselon dua, lima tahun lagi akan pensiun.
Tapi KOMPAS dan pers pada umumnya sangat tergantung visi besar dan managemen pengelolahaan ditengah kemajuan teknologi. KOMPAS tidak sama dengan surat kabar tua lainnya dibelahan negara barat. Seperti The New York Times atau Washington Post. KOMPAS tampil dengan ciri industry dan tanggung jawab sosialnya.
Membangun Indonesia masa depan lewat Amanat Hati Nurani Rakyat. Selaras dengan moto KOMPAS yang disepakati. Dua sahabat berlatar belakang pedagogi memilih diski merancang Indonesia baru.
• Pemkot Gencar Benahi Sektor Pariwisata Pastikan Pelaku Usaha Siap di Tengah Pandemi Covid-19
Duet karakter yang penuh ketelitian, kecermatan serta insting bisnis dan kenegaraan yang tajam menempatkan Surat Kabar Kompas sebagai warta optimisme dan keberpihakan. PK Ojong mantan aktivis partai Katolik dan keluar sangat bertalenta dalam mengelola berbagai perusahan. Jacob Oetoma seorang sosialis berciri budaya Jawa pada umumnya selalu setia terhadap profesinya. Tetap berdiri teguh sebagai seorang jurnalis senior. Ia mampu memilah dan menyatukan kekuatan intelektual demi kemajuan industri pers Kompas.
Dalam kesaksian Frans Seda, Jacob Oetama dinilai seorang pemalu. Nasib, ketekunan dan kesempatan menjadikan seorang pengusaha sukses, tulis Frans Parera (2007). Dengan sentuhan kemahiran ilmu jurnalistik selalu memberi cakrawala baru setiap terbitan.
• 159 Desa & Kelurahan Sudah Usulkan Jumlah Mahasiswa Dapat Bansos Tunai Dari Pemda Matim
Dalam ragam aspek sidang pembaca dapat meneropong. Ke arah mana negara ini dikendalikan. Kemunculan Kompas di tengah gegap gempitanya pertarungan ideologi dan kelompok kepentingan tahun 1965 memaksa semua elemen masyarakat berpartisipasi dalam memberi dukungan penerbitan.
Di Flores digalang berbagai dukungan dalam bentuk tanda tangan untuk penerbitan Kompas yang dinamai oleh Presiden Soekarno. Penamaan ini tidak terlepas dari pengalaman keintelektual Bung Karno ketika dibuang ke Ende tahun 1934 sebagai tahanan politik Belanda. Di sana setiap saat berdiskusi, berdebat soal berbagai aliran filsafat dan kenegaraan dengan para misionaris Katolik berkebangsaan Belanda. Di samping itu juga berbagai nilai-nilai lokal lainnya yang memberi insipirasi lahirnya Pancasila di kemudian hari sebagai ideologi negara.
Dimasa pancaroba orde lama dan orde baru Kompas tetap berpihak pada nurani rakyat di tengah persaingan. Kualitas berita dan ketajaman editorialnya tetap mengigit hingga kini. Selalu sejalan dengan pandangan bangsa. Kendatipun nama Kompas diberikan oleh Presiden Soekarno, diawal berdirinya setiap kebijakan Presiden Soekarno yang berjalan di "dua kaki" selalu dikritisi dengan caranya.
Kompas dan Kolaborasi Intelektual
Dalam buku Kompas Menulis dari Dalam (2007) yang ditulis oleh 13 jurnalis senior kompas terungkap sejumah sikap dan pandangan seorang P.K.Ojong dan Jacob Oetama . Juga falsafah yang dianut dalam memajukan dunia industri pers yang penuh kompetitif. Maupun tulisan Frans Seda di Kompas 25 Tahun sepanjang Jalan Kenangan (Kompas,28 Juni 1990) Garapan buku Kompas dan kisah awal Frans Seda pada simpulnya memberi beberapa penegasan arti pentingnya sebuah kolaborasi intelektual dalam managemen pengelolahan surat Kabar. Pencermatan kolaborasi intelektual dapat diamati dari aspek histori.
Pertama, sosok P.K. Ojong dan Jacob Oetama seorang sosialis demokrat yang mengendepankan intelektual dalam mencermati berbagai fenomena dengan melakukan berbagai kajian, diskusi dan menuangkan ide serta gagasannya. Maka direkutlah watawan generasi pertama lintas ilmu, pendidikan, agama, suku, ras dan golongan.
Dalam satu panduan spirit maka garis demarkasi pemberitaan yang professional tetap terjaga. Indikator keintelektualan seorang jurnalis dapat terbaca dalam berbagai jenis berita dan Tajuk Rencana. Kompas dalam usianya 25 Tahun 1990 menerbitkan Tajuk rencana pilihan diberi nama membuka cakrawala 25 tahun Indonesia dan dunia (Penerbit PT Gramedia). Kecerdasan dan kecermatan dan ketekunan seperti sang pendirinya dapat kita baca bagaimana Kompas menempatkan diri dan memberlakukan ABRI, Rakyat serta Soekarno dalam Tajuk Rencana, Sabtu, 30 Oktober 1965 diberi Judul: "Duduk Perkara" dikatakan duduk perkara tentang reaksi rakyat terhadap teror dan gerakan kontra revolusi G 30 S agar tetap kita berdiri dan menilai segala sesuatu pada proporsi yang sebenarnya diantara adalah, keamananan dan ketertiban masyarakat sebenarnya sudah lama digonjangkan oleh G 30 S dalam persiapannya sehingga kehidupan politik kita di masa lampau hanya berciri kasak-kusuk perluasan kekuasaan individu dan golongan, merongrong dan menjegal kewibawaan Presiden Soekarno dengan kabar bohong, fitnah, tunduhan palsu.
Kedua. Tajuk rencana tersebut sengaja dimunculkan sebagai penanda bagaimana pergulatan antara idealisme, kesatuan negara benar -benar diutarakan dan didudukkan pada perkara soal G.30 S PKI. Saya berkeyakinan, kecermatan, kenegaran, kematantagan intelektual duet P.K.Ojong dan Jacob Oetama melahirkan karya tersebut.
Belajar dari Kompas