Stok Pangan Menipis Warga Woedoa di Nagekeo NTT Makan Ubi Beracun
Warga Desa Woedoa Kecamatan Nangaroro di Kabupaten Nagekeo mulai menjerit karena stop pangan mulai menipis
Penulis: Gordi Donofan | Editor: Kanis Jehola
Stok Pangan Menipis dan Sembako Mahal
Warga lainnya, Maksimus Sela (48) mengatakan akibat pandemi Covid-19 stop pangan masyarakat mulai menipis dan warga terpaksa menggali Odo untuk dijadikan bahan makanan.
Hasil bumi sulit dipasarkan dan harga Sembako mahal sehingga warga sangat kesulitan membeli. Apalagi uang tunai sangat sulit diperoleh karena hasil kebun tidak bisa dijual seperti sebelumnya.
"Kami gali dan olah Odo ini karena stok pangan menipis. Pasar tutup, mau jual hasil tidak bisa. Harga Sembako naik. Memang kemiri komoditi disini ada, pisang, kelapa dan masih banyak hasil bumi lainnya tapi mau dikemanakan," ujar
Maksimus.
Maksimus menyebutkan hampir 75 % warga Woedoa mengkonsumsi Odo sebagai pengganti nasi. Jika tidak ada pangan alternatif masyarakat akan kelaparan.
Maksimus mengatakan memang gali dan olah Odo sudah menjadi tradisi namun tahun ini dampak Covid-19 sangat dirasakan oleh masyarakat sehingga warga Waedoa beramai-ramai pergi ke hutan mencari Odo.
"Kalau sebelumnya kami memang sering gali Odo. Tapi tahun ini sangat ramai untuk cari Odo. Karena memang stok pangan kami menipis. Ini bukan rekayasa. Ini bencana luar biasa. Ini tahun galinya cepat sekali. Ini sejak April sudah digali. Biasanya bulan Juni baru mulai digali karena stok pangan masih ada, tapi dengan adanya pandemo Covid sembilan belas orang semua pergi cari Odo ke hutan," ungkap Maksimus.
Maksimus menuturkan Odo harus mulai digali dan diolah karena bisa simpan serta tahan lama. Biasanya sampai dua bulan disimpan dan olah menjadi makanan seperti nasi.
Odo saat ini sudah menjadi pengganti nasi untuk sarapan pagi, siang malam. Jika ada beras atau nasi, Odo diolah sebagai makanan selingan.
"Kalau saat ini kita Odo untuk makan pagi, siang dan malam. Kalau ada beras selang-seling.
Stop pangan kita sampai satu dua bulan habis kalau tidak ada Odo. Maka harus ada makanan selingan. Maka kami cari Odo atau Ondo ini," ungkapnya.
Ia mengatakan kerja untuk gali dan olah harus bersama supaya prosesnya cepat. Ada yang tukang gali, ada yang ambil dan hantar ke rumah. Sampai dirumah diolah secara bersama sehingga kerjanya tidak berat. Satu kelompok bisa cepat menyelesaikan pekerjaan untuk mengolah Odo.
Warga bergotong-royong untuk mengolah Odo dan hasilnya dibagi secara merata kepada anggota kelompok yang sudah kerjasama tersebut.
"Ada anggota keluarga yang baru ikut gali dan olah Odo. Mereka ikut bergabung dengan kita supaya bisa kerjasama untuk olahnya. Karena ada yang tidak tau olah Odo," ungkapnya.
Baru Ikut Gali Odo
Warga lainnya Leo Rengga (40) mengatakan dirinya baru pertama kali ikut menggali Odo di hutan. Sebelumnya hanya bisa makan Odo yang sudah diolah oleh orangtua.