Opini Pos Kupang

Dari Corona Virus ke Corona Spinae

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Dari Corona Virus ke Corona Spinae

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Dari Corona Virus ke Corona Spinae
Dok
Logo Pos Kupang

Ada satu hal yang lebih penting dalam kaitan dengan watak Tuhan yang transenden sekaligus imanen. Tuhan yang transenden dan berwatak rohani, ketika menjadi imanen membutuhkan sarana material untuk menampilkan dirinya.

Dalam Kekristenan, kehadiran ilahi secara imanen yang paling fenomental disebut inkarnasi -kata ini mengandung akar kata `caro' yang berarti daging. Tuhan membutuhkan daging, darah dan tulang manusia untuk menampakkan dirinya, agar Tuhan secara empirik mengalami seluruh kemanusiaan kita.

Dewasa ini ketika penampilan Tuhan secara jasadiah tidak lagi dialami, maka ada sarana material lain seperti roti yang dalam Kekristenan diyakini sebagai ditransubstansiasi menjadi kehadiran Tuhan secara material. Dialektika antara dunia material dan dunia spiritual kembali kita alami ketika virus corona menyerang manusia.

Roti yang adalah tanda kehadiran Tuhan secara material tidak diizinkan untuk sementara dan esensinya diubah menjadi kehadiran secara spiritual. Teknik `manunggaling Kawula Gusti' melalui makan roti, berubah menjadi kerinduan persatuan secara rohani.

Tegangan antara dunia rohani dan dan jasmani, bisa kita kembangkan menjadi tegangan antara kebersamaan dan kesendirian, antara kemapanan dan spontanitas, antara kemeriahan dan dan kesederhanaan. Pertanyaan kita, Tuhan lebih suka hadir di mana dalam pilihan-pilihan ini? Bila kita membaca Kitab Suci sebagai rujukan maka dua kemungkinan itu selalu bisa terjadi .meskipun Tuhan punya preferensi.

Berdoa bisa dirujuk ke "Bila kamu berdoa masuklah ke dalam kamar, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu di tempat tersembunyi.." (Mat.6:6). Tetapi di tempat lain kebersamaan seakan menjadi semacam conditio sine qua non bagi kehadiran Tuhan, "Di mana dua tiga orang berkumpul dalam namaKu, Aku hadir di tengah mereka" (Mat.18:20).

Dalam rentang peradaban, manusia lebih cenderung memilih yang kedua daripada yang pertama. Mengapa? Karena pilihan pertama tidak menyisahkan ruang bagi extravaganza, pameran kehebohan dan penampilan kegenitan serta kesempatan menikmati cornucopia. Bila kita mencermati cara hidup Tuhan yang berinkarnasi, maka Dia jarang sekali menjatuhkan pilihan pada opsi kedua. Dia selalu berdoa sendirian, di malam hari, di puncak gunung. Linus Suryadi, penyair yang saya sebutkan di atas mengikuti contoh ini dengan tidak pernah ke gereja dan mencari Tuhan di gunung dan hutan sampai ia menghasilkan magnum opus seperti Pengakuan Pariyem.

Ribuan tahun sebelum Masehi, Nabi Elia mencari Tuhan dalam gemuruh angin yang mebelah gunung dan memecah bukit, tetapi Tuhan tidak ada di sana. Dia juga mencari Tuhan dalam gempa yang meluluhlantakkan lempeng bumi tetapi Tuhan juga tidak ada di sana. Kembali dia mencoba peruntungan dengan mencari Tuhan dalam api yang berkobar, Tuhan tetap tidak ada. Tetapi ketika angin berembus sepoi-sepoi basah, Tuhan ada di sana (1Raj.19:9ff).

Tuhan ternyata lebih senang dengan kesederhanaan daripada kehebohan meskipun tidak menafikan yang kedua.

Kesadaran akan berbagai implikasi buruk dari pilihan kedua, membuat Tuhan mengobrakabrik Baitullah sebagai sarang korupsi dan mengadvokasi hati manusia sebagai tempat ibadah sesungguhnya, mejungkirbalikkan legalisme yang merendahkan martabat manusia dan mengecam ritualisme murahan yang meminggirkan kemurnian batin.

Hari-hari ini ketika perhatian kita sedikit beralih dari Corona Virus ke Corona Spinae, maka yang kita lihat adalah pembalikan paradigma secara radikal: salib sebagai tiang gantung penjahat diubah menjadi sarana penebusan dosa, kemewahan jubah diganti dengan ketelanjangan, perlawanan pedang diganti dengan ahimsa, dan penderitaan, alih-alih tipudaya, adalah jalan menuju kemenangan.

Dalam kaitan inilah, Corona Virus yang mengubah seluruh tatanan ekonomi, sosial, pendidikan dan agama, menjadi semacam berkat dengan `mengajak' manusia kembali kembali kepada kesendirian yang hakiki dan tidak perlu selalu bersibuk diri dengan riuh rendah kebersamaan yang palsu. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved