Opini Pos Kupang

Dari Corona Virus ke Corona Spinae

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Dari Corona Virus ke Corona Spinae

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Dari Corona Virus ke Corona Spinae
Dok
Logo Pos Kupang

Simak Opini Pos Kupang berjudul Dari Corona Virus ke Corona Spinae

Oleh Marianus Kleden, Dosen FISIP Unwira

POS-KUPANG.COM - Di hari-hari ini perhatian kita sedikit bergeser dari Corona Virus ke Corona Spinae alias Mahkota Duri. Sebagaimana Corona Virus membongkar dan menjungkirbalikkan segala bentuk kemapanan manusia, demikianlah lebih dari dua millennia lalu Corona Spinae membongkar apa yang oleh publik diyakini sebagai jalan kepada kebenaran dan kebaikan.

Yang kita lihat sekarang adalah kebersamaan diganti kesendirian, mobilitas fisik diganti dengan stabilitas loci, kecenderungan ke mana-mana berhadapan dengan keharusan berdiam di rumah, keinginan untuk berdekat-dekatan diganti dengan kewajiban menjaga jarak fisik dan jarak sosial.

Nakertrans Kabupaten Ende Usulkan 580 Nominasi Kartu Pra Kerja

Immobilitas fisik atau stabilitas loci ini membuat ekonomi ambrol dengan total kerugian global sebesar 2,7 triliun dollar atau 40.500 triliun rupiah pada kurs Rp15.000 per dollar. Bandingkan dengan penerimaan negara Indonesia 2020 sebesar 2.233,5 triliun. Total kerugian global ini kurang lebih sama dengan total produk domestik bruto Inggris atau sama dengan 18 kali penerimaan Indonsia 2020.

Di Kupang macetnya ekonomi bisa dipantau dari indikator seperti sepinya penumpang bemo dan pengguna jasa ojek, baik ojek konvensional maupun ojek online. Sepinya warga yang bepergian dan diharuskannya mereka untuk tinggal di rumah membuat rumah makan dan restoran tidak disinggahi, rumah bordil dan panti pijat sepi pengunjung, dan rumah mode tidak disambangi ibu-ibu atau nona-nona untuk melihat perkembangkan rancangan teranyar.

Pemkab Manggarai Siapkan Dua Tempat Alternatif Untuk Karantina, Selain Wisma Golo Dukal

Berbagai jasa event organizer tidak mendapat orderan untuk acara pernikahan, ulang tahun atau wisuda. Malah kematian dan urusan pemakaman yang sekarang bisa mengandalkan jasa EO, akhirnya harus berlangsung cepat dan ringkas tanpa tetek bengek ritual yang panjang-panjang.

Immobilitas fisik membuat 50 ribuan mahasiswa di Kota Kupang dan puluhan ribu pelajar tidak mengeluarkan paling kurang Rp.4000 per hari untuk ongkos transportasi, dan mereka yang menggunakan motor atau mobil tidak membakar bensin di tangki kendaraanya guna memindahkan dirinya di ke kampus atau sekolah.

Untuk jasa transportasi saja, bidang usaha ini kehilangan paling kurang 200 juta dari mahasiswa saja per hari. Kantin kampus dan kantin sekolah serta rumah makan dekat kampus sudah lebih dari sebulan tutup. Bayangkan, jika dari 50 ribuan mahasiswa, hanya 10.000 orang membelanjakan Rp.10.000 untuk makan siang maka usaha kantin kehilangkan 100 juta per hari

Di bidang pendidikan, dosen masih bisa mengajar secara online dengan program e-learning atau atau melakukan seminar proposal calon sarjana dengan program zoom, atau paling tidak bisa mengirim materi kuliah dan tugas melalui WA group, dan para mahasiswa bisa mengembalikan tugas yang dikerjakan melalui program e-learning atau WA group.

Situasi seperti ini mengingatkan saya akan dua filsuf pendidikan, Ivan Illich dari Austria dan Paulo Freire dari Brazil yang menggugat sekolah sebagai institusi yang memenjarakan peserta didik. Kira-kira lima dekade lalu Ivan Illich menulis buku Deschooling Society dan Paulo Freire menulis Pedagogy of the Oppressed. Inti dari kedua buku ini kurang lebih sama: peserta didik jangan dipenjarakan dalam institusi pendidikan. Kita semua tahu pendidikan diinstitusikan dalam kurikulum dan silabus, kalender akademik, jumlah jam pertemuan, gedung sekolah dan ruang kuliah, pakaian seragam atau jaket alma mater dan akhirnya ijazah yang menjadi tanda formal keterpelajaran seseorang.

Sekarang dengan hadirnya Corona Virus ini semua institusi ini seakan-akan bubar, dan para pelajar dan mahasiswa seakan-akan dibebaskan dari institusi yang selama ini memenjarakan mereka. Di Indonesia kita bisa menyebut tokoh seperti Umbu Landu Paranggi, seorang penyair pendidik asal Sumba yang berpendidikan tidak tinggi tetapi sempat menjadi Presiden Malioboro Yogya tahun 1970an dan dari tangannya lahir sastrawan seperti Linus Suryadi, Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Suwarna Pragolapati, Joko S. Passandaran, dan Arwan Tuti Artha. Kita juga sangat mengenal orang seperti Rocky Gerung yang kuliahnya suka-suka -menurut pengakuannya dia kuliah di Fakultas Teknik, Hukum, Filsafat, Isip, Kedokteran -karena baginya yang terpenting adalah mendapatkan kedalaman dan keluasan ilmu, bukan mendapatkan ijazah. Dari dunia sastra dan jurnalistik kita mengenal tokoh seperti Mochtar Lubis yang merupakan autodidak sejati.

Sekedar contoh militansi autodidaknya, bila Mochtar Lubis hendak mempelajari bahasa Spanyol, maka dia akan mengambil sebuah buku tebal berbahasa Spanyol dan membacanya, semua kata yang tidak dimengertinya dicatat dan dihafal. Ketika membacanya untuk kedua kali beberapa kata sudah dihafalnya, dan beberapa kata yang belum dihafal masih ditulis kembali dan dihafal. Setelah lima kali membacara Mochtar Lubis sudah bisa menggunakan bahasa Spanyol baik untuk membaca maupun untuk berkomunikasi.

Di bidang politik kita mengenal Pak Harto dan Adam Malik yang mencapai puncak karir politiknya, masing-masing sebagai Presiden RI dan Sekjen PBB, meskipun pendidikan mereka hanya setingkat SMP. Tokoh-tokoh ini hanya sekedar ilustrasi bahwa sistem pendidikan yang dilembagakan hanyalah `salah satu cara' pencerdasan manusia, bukan `satu-satunya cara'.

Di bidang agama kita menyaksikan perubahan yang lebih dasyat lagi. Rumah ibadah beralih dari Gereja, Masjid atau Pura ke rumah pribadi, jemaat yang besar menjadi kumpulan dua atau tiga orang saja, perhadapan langsung dengan pemimpin ibadah berubah menjadi perhadapan secara virtual, koor yang meriah hilang dan diganti dengan nyanyian sederhana yang dibawakan satu dua orang yang sengaja disembunyikan dari kamera. Misa atau ibadah yang biasanya berlangsung dua jam bisa mengerut menjadi 40 menit saja.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved