Yuk Simak ! Data Rumah Harapan GMIT, Kekerasan Masih Sering Terjadi di Ranah Privat
pemerintah daerah mengalokasikan dana untuk pencegahan dan penanganan KDRT, kekerasan seksual, dan TPPO.
Dalam kekerasan terhadap perempuan, bentuk kekerasan terbanyak yang ditemui oleh Rumah Harapan GMIT ialah Kekerasan dalam Pacaran (KDP) dan Ingkar Janji Menikah (IJM), serta Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) baik secara fisik, psikis, maupun seksual yang masing-masing berjumlah 11 kasus. Sedangkan kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan sebanyak 2 kasus.
Berdasarkan data Catatan Pendampingan Rumah Harapan GMIT, kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di ranah privat atau relasi personal, yakni sebanyak 23 kasus.
Kekerasan terhadap di ranah pribadi atau di lingkup rumah tangga dan berdasarkan relasi personal antara lain meliputi hubungan pacaran, hubungan suami-istri, dan hubungan ayah-anak).
Hal tersebut membuktikan bahwa laki-laki belum tentu menjadi pelindung perempuan, dan ranah pribadi menjadi tempat yang sangat beresiko terjadinya kekerasan.
Catatan hasil pendampingan juga menyebutkan, dari tujuh kasus kekerasan seksual yang terjadi, enam pelaku telah mendapat hukuman penjara 8-12 tahun, satu kasus diselesaikan dengan damai difasilitasi polisi SPKT.
Selain itu, dari dua kasus KDRT yang didampingi, korban atau penyintas memutuskan untuk mengakhiri layanan. Sedangkan dari tiga kasus kekerasan terhadap perempuan, satu pelaku mendapat hukuman penjara 3,5 tahun, satu kasus berakhir dengan korban memilih menikah (kekerasan dalam pacaran), satu kasus korban diambil kembali oleh orang tua kandung (penghamilan oleh orang tua asuh).
Kekerasan terhadap Anak
Bentuk kekerasan terhadap anak terbanyak adalah penelantaran anak sebanyak sembilan kasus, kekerasan seksual terhadap anak perempuan sebanyak delapan kasus, serta kekerasan fisik dan psikis sebanyak tujuh kasus.
Berdasarkan data Catatan Pendampingan Rumah Harapan GMIT, kekerasan terhadap anak juga terbanyak terjadi di ranah privat atau relasi personal yakni sebanyak 18 kasus, dan 6 kasus terjadi di ranah publik. Hal ini juga menunjukkan bahwa relasi personal tidak mampu menjadi ruang aman bagi anak khususnya anak perempuan untuk terhindar dari kekerasan.
Hasil pendampingan mencatat lima kasus kekerasan terhadap anak berupa penelantaran anak. Oleh karena pada umumnya pelaku tidak bersedia memberi nafkah anak biologis, maka nafkah masih ditanggung oleh ibu kandung atau orang tua ibu kandung. Selain itu, masih terdapat satu anak yang membutuhkan perhatian khusus untuk perbaikan gizi.
Isu-isu penting dan Rekomendasi
“Dari pendampingan kami sepanjang tahun 2019, kami mencatat ada beberapa isu penting yang perlu kami sampaikan untuk menjadi keprihatinan kita bersama beserta rekomendasi,” jelas Rika.
Isu pertama, tren data kematian dan pemulangan jenazah Pekerja Migran Indonesia asal NTT dalam dua tahun terakhir tidak berubah yaitu di atas angka seratus. Rekomendasi yang diberikan, yakni agar pemerintah daerah agar mendialogkan situasi ini dengan pemerintah pusat agar dapat melakukan upaya-upaya hukum untuk memastikan PMI mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
Kedua, penegakan hukum kasus perdagangan orang karena terhambat dan lemahnya barang bukti. Rekomendasi yang diberikan yakni agar aparat penegak hukum menggunakan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang secara maksimal dalam pembuktian, agar proses hukum dapat dituntaskan dan memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal ini sangat penting untuk memenuhi hak korban atas keadilan hukum serta meningkatkan kepercayaan korban, keluarga, masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Ketiga, migrasi prosedural yang tidak aman. Maka, Rumah Harapan GMIT merekomendasikan pemerintah daerah agar mendialogkan situasi ini dengan pemerintah pusat agar dapat memperketat pengawasan terhadap semua PPTKIS sejak perekrutan sampai penempatan untuk memastikan PMI terlindungi.