Opini Pos Kupang
Puisi Perdamaian Rumah Sastra Kita
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Puisi Perdamaian Rumah Sastra Kita
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Puisi Perdamaian Rumah Sastra Kita
Oleh : JB Kleden (Penikmat sastra, tinggal di Kota Kupang)
POS-KUPANG.COM - TAMNOS sepenggal adzan magrib. Matahari belum benar-benar lenyap. Lembayungnya membentuk siluet menerobos celah awan menyepuh gelombang teluk Kupang. Berkilau. Anak-anak muda bercinta sesuai hati mereka yang remaja. Di pelataran Gong Perdamaian, sekelompok anak muda SANTARANG menggelar tikar, membaca puisi, mempromosikan buku-buku sastra. It was really a beautiful afternon.
Sungguh mengharukan, masih ada orang muda yang mau baca puisi. Anganpun membawa ke masa silam. Tahun 1970 di TKK Nelly Waibalun, Sr. Marta CIJ mengajarkan kami berdeklamasi. Tidak ada buku sastra. Suster membagikan secarik kertas sak semen berisi puisi. Kami diminta menghafal. Lalu mendeklamasikan di depan. Deklamasi menjadi kegembiraan bersama. Saling mengolok, juga memuji karena puisinya sama dibawakan bervariasi seturut penghayatan pribadi.
• Romo Blasius Kleden: Pemuda Katolik Jangan Jadi Kelompok Eksklusif
Di jaman dulu, sastra memang milik publik. Ia dideklamasikan dan dituturkan. Sastra buku milik kaum intelektual. Ia menjadi sebuah aristokrasi juga borjuis. Tidak mengherankan kalau menerbitkan karya sastra susah sekali. Taufiq Ismail menceritakan hampir tiga tahun lamanya karya-karya besarnya ditolak HB Yassin. Karena itu ia masuk Fakultas Kedokteran Hewan UI untuk membuktikan bahwa sastra tidak hanya ada di fakultas sastra.
Waktu berlalu dan melahirkan perubahan. When automobiles became popular, the use of horse and buggy, passed away. Kini, adopsi internet, media sosial, smartphone dan berbagai perangkat digital lainnya, telah menghadirkan sebuah keleluasan tanpa batas.
Media sosial adalah kanvas kebebasan berekspresi tanpa batas. Platform open source ini memungkinkan setiap orang bebas berinteraksi dan berkolaborasi mempublikasikan tulisan, termasuk sastra. Kalau dulu Descartes, katakan I think, therefore I am, kini ungkapan itu bermakna I share therefore I am.
***
SASTRA yang baik perlu dipublikasikan, karena sastra adalah tanah air dari gambaran tentang manusia dan dunia yang intinya masih dipertanyakan. Orientasi sastra adalah `being and nothingness'. Kehidupan manusia terlampau luas hanya untuk dijadikan obyek ilmu pengetahuan, filsafat, politik dan agama. Sastra yang baik akan selalu dicari ketika orang tidak lagi menemukan kegembiraan dan harapan dalam ilmu, filsafat, politik dan agama.
Di antara berbagai jenis sastra, puisilah barangkali yang paling tua dan paling banyak dimiliki kebudayaan. Kita bisa menyebut pantun sebagai bentuk puisi paling merakyat, milik penduduk satu kampung saat purnama. Dalam tradisi literer yang lebih tua, Homerus, Aeschylus, Hecataeus dan Heroddotus dari jaman Yunani Kuno telah menulis dan menggunakan puisi sebagai bentuk sastra yang efektif untuk menciptakan perubahan.
"Murid-murid mengobel kelentit ibu gurunya/ Bagaimana itu mungkin?/ Itu mungkin/ Karena tak ada patokan apa saja/ semua boleh. Semua tidak boleh/Tergantung pada cuaca/ Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja/Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata" (Sajak Rendra, S.L.A)
Rendra tidak menggerakkan revolusi, tetapi ia seperti berniat meledakkan bom di kepala kita dengan sajaknya ini, agar kita menyadari keadaan sebenarnya dalam dunia pendidikan kita.
***
KOMUNITAS Rumah Sastra Kita (RSK) yang beranggotakan manusia-manusia NTT peduli sastra, kembali menerbitkan antologi puisi perdamaian dengan judul "Kepada Kelewang dan Nyala Api".
Seperti antologi pertama, "Bulan Peredam Prahara" tema masih seputar perdamaian dan kerukunan. Pilihan tema ini tentu punya target penting menghitung betapa rentannya kondisi kesatuan bangsa dari ancaman desintegrasi -terutama di tahun politik 2018, 2019 -di mana muncul banyak sekali narasi trivalis penuh cemooh, kebencian dan caci maki, yang berujung pada aksi brutalitas dan kekerasan fisik yang membuat buram wajah ibu pertiwi.
"Telah hilang di kelam sunyi/ Madah jiwa yang disanjung-sanjung/ Akhirnya kita sama-sama berkhianat/ Pada perjanjian suci/ Yang kita tulis bersama /Pada wajah bulan percintaan/ Kita akhirnya cuma bisa mengenang/ Bahasa damai yang kita pahatkan/ Pada tiang-tiang batu di kampung leluhur/ Walau mungkin akan tetap diwariskan/ Tetapi generasinya akan membaca/ Bercak darah perseteruan/ Mereka akan berteriak:Bajingan!/ Sebab yang kita wariskan/ Adalah luka-luka kemanusiaan. (Puisi Agus G Thuru, Yang Hilang)
Puisi yang bagus, bukan karena ia mampu mengajari kita tentang moral, tentang ketidak-adilan, tentang bahaya kekuasaan atau tentang jalan-jalan martyria menuju kekudusan. Sebuah puisi yang bagus justeru ketika ia tak mengajari, ketika ia tak memberi petunjukan seperti dogma agama tetapi mampu menghidupkan potensi baik dalam diri setiap orang saat membacanya.
Judul yang dipilih RSK untuk Antologi Puisi Perdamaian II ini "Kepada Pedang dan Nyala Api". Pedang dan nyala api adalah hasrat-hasrat purba yang terus berkecamuk dalam diri manusia semenjak Kain menyiapkan pedang mephistoples untuk leher Abel adiknya demi kebahagiaan hidup tanpa cemburu. Pedang dan nyala api adalah hasrat, maka ia harus diarahkan untuk harmoni. Dan itu harus dimulai dari dalam diri sendiri.
Perang/ Tak ada di luar sana/../Rindukan damai?/ Berdamailah dengan diri kita sendiri./ Mau jadi pahlawan?/ Tundukkan dirimu sendiri. (Puisi Brono Dasion, Perang)
Cara pandang puisi khas dan adaptif dengan paradigma the insight out dari visi new age sebagaimana hasil penelitian profesor sudi agama di State University of New York, Sachiko Murata. Maka kita sebaiknya berdoa agar diri pribadi kita bisa membuat negeri ini tersenyum.
Bapa yang di langit/Ibu yang di bumi/ Seraya bersila di pangkuanmu ibu/Sembari mengengadah memohon harapmu, Bapa/ Meminta dekap setia tuntunanmu, ibu/ Memohon rindu rahmat bijakmu,Bapa/ Inilah aku anakmu/Yang meminta dan berharap untuk tersenyum. (Puisi Kocha Bani, Doa Damai).
Pada akhirnya damai sejati bukan hanya soal tidak adanya konflik dalam waktu yang panjang. Damai sejati adalah suasana di mana orang saling memahami dan sanggup menyelesaikan perbedaan di antara mereka tanpa saling menegasikan. Kerukunan hidup yang langgeng dan bermutu menuntut pengakuan dan jaminan akan kebebasan termasuk kebebasan beragama.
Hanya dalam suasana kebebasan beragama orang akan bersikap terbuka untuk saling mendengarkan dan bersedia membagi kekayaan iman kepada orang lain untuk meningkatkan solidaritas. Eksistensi manusia sejatinya adalah ko-exixtensi dan pro-exixtensi.
Dia biarkan bulan/ melirik jendela rumah; pada jemari lentik/ bulir-bulir mawar rosario dan tasbih/ bergulir mengikuti permainan waktu. Anaknya lelaki semata wayang kian jauh/ ke puncak melangkah,/ mengejar cahaya./ "Bolehkan, bu?" tukasnya suatu waktu./ Kedalaman hati ibu teruji di antara dua kutub;/ketokohannya tampak tegar/ pada senyum ketulusan. "Ya"!Jubah putih, seputih hati ibu,/ memanggil bersama pendekar-pendekar lain/ terjerembab mereka di depan altar;/ pada detik inilah dua manusia:/ muslim dan kristiani, berpelukan/ di atas perahu layar. Ah.....pucuk-pucuk Ledalero,/ kau buka jendela di timur dan/ biarkan sepoi membuai alam. Asiyah...permata hati./ Jangan menangis!/ Hapus air matamu dengan sapu tanganNya;/ punya kita, telah dibakar kemarin pada tungku dapur;/aku, bukan lagi anak muda seperti kisah kitab suci atau/ pengkianat cinta seorang pemilik rahim. Kisah hidup kita tersimpul/ di ujung jalan ini;/ aku jadi pastur dan/Asiyah.. kau tetap Asiyah (Puisi Wilhelmus Beribe, Di Ujung Jalan)
Betapa plastisnya puisi ini. Asiyah. Di ujung jalan kita berbeda. Tapi dalam solidaritas iman, tidak ada lagi kami dan kamu, kita dan mereka yang saling menegasikan, hanya ada saling ketergantungan dalam otonomi. Kita belajar dari Asiyah. Jangan lagi bebani diri dengan egosisme memperebutkan Tuhan yang dipeluk masing-masing agama seperti kera berebut kerupuk di gua monyet sekadar untuk survival of the fitest.
Jangan tunggu nanti..saatnya telah tiba/ Hentikan tangis yang memecah/ hapuslah air mata yang menetes/ jangan biarkan darah tertumpah di tanah anugrah Ilahi/ kita semua bersaudara/ dekaplah erat dalam kasih/ peluklah saudaramu dengan cinta/ jadilah pembawa damai/ biarkan damai mengalir seperti sungai yang terus mengalir/ karena damai itu indah/ damai di hati, damai di jiwa, damai di bumi. (Puisi Shaula Astried Emmylow, Kita Semua Bersaudara)
***
DI TENGAH kegagalan negara membangun budaya dialog dan solidaritas, ketika politik gagal membangun bonum komune, kelahiran seorang sastrawan adalah pemulihan fungsi hati nurani manusia untuk membangun keadaban damai. Penyair adalah guru damai yang menggetarkan setiap orang untuk mengembangkan potensi damai dalam hatinya.
Kita menyambuat gembira penerbitan Antologi Puisi Perdamaian ini sebagai sumbangsih Penyair NTT dalam Komunitas Rumah Sastra Kita, untuk mewujudkan Indonesia Maju. Persoalannya adalah, apakah para penyair dalam antologi ini adalah juga sungguh-sungguh membaca puisi? Jika seorang penyair hanya gemar memproduksi puisi demi kebanggaaan diri, maka sesungguhnya ia hanya membuat puisi tetapi tidak memilikinya.
Ah ya, kita butuh the courage to be. Dan biarkan puisi-puisi perdamaian terus dideklamasikan, agar dalam hati setiap pribadi yang mendengarnya, tetap membaralah kehendak baik untuk mengubah hatinya menjadi polis, rumah tinggal bersama yang aman dan nyaman bagi setiap orang seperti Asiyah, agar orang boleh merasakan indahnya hidup beragama dalam kebhinekaan. (*)