Opini Pos Kupang
Puisi Perdamaian Rumah Sastra Kita
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Puisi Perdamaian Rumah Sastra Kita
Bapa yang di langit/Ibu yang di bumi/ Seraya bersila di pangkuanmu ibu/Sembari mengengadah memohon harapmu, Bapa/ Meminta dekap setia tuntunanmu, ibu/ Memohon rindu rahmat bijakmu,Bapa/ Inilah aku anakmu/Yang meminta dan berharap untuk tersenyum. (Puisi Kocha Bani, Doa Damai).
Pada akhirnya damai sejati bukan hanya soal tidak adanya konflik dalam waktu yang panjang. Damai sejati adalah suasana di mana orang saling memahami dan sanggup menyelesaikan perbedaan di antara mereka tanpa saling menegasikan. Kerukunan hidup yang langgeng dan bermutu menuntut pengakuan dan jaminan akan kebebasan termasuk kebebasan beragama.
Hanya dalam suasana kebebasan beragama orang akan bersikap terbuka untuk saling mendengarkan dan bersedia membagi kekayaan iman kepada orang lain untuk meningkatkan solidaritas. Eksistensi manusia sejatinya adalah ko-exixtensi dan pro-exixtensi.
Dia biarkan bulan/ melirik jendela rumah; pada jemari lentik/ bulir-bulir mawar rosario dan tasbih/ bergulir mengikuti permainan waktu. Anaknya lelaki semata wayang kian jauh/ ke puncak melangkah,/ mengejar cahaya./ "Bolehkan, bu?" tukasnya suatu waktu./ Kedalaman hati ibu teruji di antara dua kutub;/ketokohannya tampak tegar/ pada senyum ketulusan. "Ya"!Jubah putih, seputih hati ibu,/ memanggil bersama pendekar-pendekar lain/ terjerembab mereka di depan altar;/ pada detik inilah dua manusia:/ muslim dan kristiani, berpelukan/ di atas perahu layar. Ah.....pucuk-pucuk Ledalero,/ kau buka jendela di timur dan/ biarkan sepoi membuai alam. Asiyah...permata hati./ Jangan menangis!/ Hapus air matamu dengan sapu tanganNya;/ punya kita, telah dibakar kemarin pada tungku dapur;/aku, bukan lagi anak muda seperti kisah kitab suci atau/ pengkianat cinta seorang pemilik rahim. Kisah hidup kita tersimpul/ di ujung jalan ini;/ aku jadi pastur dan/Asiyah.. kau tetap Asiyah (Puisi Wilhelmus Beribe, Di Ujung Jalan)
Betapa plastisnya puisi ini. Asiyah. Di ujung jalan kita berbeda. Tapi dalam solidaritas iman, tidak ada lagi kami dan kamu, kita dan mereka yang saling menegasikan, hanya ada saling ketergantungan dalam otonomi. Kita belajar dari Asiyah. Jangan lagi bebani diri dengan egosisme memperebutkan Tuhan yang dipeluk masing-masing agama seperti kera berebut kerupuk di gua monyet sekadar untuk survival of the fitest.
Jangan tunggu nanti..saatnya telah tiba/ Hentikan tangis yang memecah/ hapuslah air mata yang menetes/ jangan biarkan darah tertumpah di tanah anugrah Ilahi/ kita semua bersaudara/ dekaplah erat dalam kasih/ peluklah saudaramu dengan cinta/ jadilah pembawa damai/ biarkan damai mengalir seperti sungai yang terus mengalir/ karena damai itu indah/ damai di hati, damai di jiwa, damai di bumi. (Puisi Shaula Astried Emmylow, Kita Semua Bersaudara)
***
DI TENGAH kegagalan negara membangun budaya dialog dan solidaritas, ketika politik gagal membangun bonum komune, kelahiran seorang sastrawan adalah pemulihan fungsi hati nurani manusia untuk membangun keadaban damai. Penyair adalah guru damai yang menggetarkan setiap orang untuk mengembangkan potensi damai dalam hatinya.
Kita menyambuat gembira penerbitan Antologi Puisi Perdamaian ini sebagai sumbangsih Penyair NTT dalam Komunitas Rumah Sastra Kita, untuk mewujudkan Indonesia Maju. Persoalannya adalah, apakah para penyair dalam antologi ini adalah juga sungguh-sungguh membaca puisi? Jika seorang penyair hanya gemar memproduksi puisi demi kebanggaaan diri, maka sesungguhnya ia hanya membuat puisi tetapi tidak memilikinya.
Ah ya, kita butuh the courage to be. Dan biarkan puisi-puisi perdamaian terus dideklamasikan, agar dalam hati setiap pribadi yang mendengarnya, tetap membaralah kehendak baik untuk mengubah hatinya menjadi polis, rumah tinggal bersama yang aman dan nyaman bagi setiap orang seperti Asiyah, agar orang boleh merasakan indahnya hidup beragama dalam kebhinekaan. (*)