Opini Pos Kupang

Valentine's Day sebagai Momen Refleksi dan Pemulihan Makna Cinta

Baca Opini Pos Kupang: Valentine Day sebagai Momen Refleksi dan Pemulihan Makna Cinta

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Valentine's Day sebagai Momen Refleksi dan Pemulihan Makna Cinta
Dok
Logo Pos Kupang

Terlepas dari unsur kekerasan, problem meroketnya praktik seks bebas pun dikisahkan Moammar Emka (2015: 1) sebagai aksi banal, bahwasanya bisnis seks di Jakarta sejak tahun 2008 hingga sekarang ibaratkan layanan pada Supermarket seks atau sebuah "wisata berahi". Ia menilai bahwa seks tak lepas dari petualangan, "sex is not just sex but it's a game," beragam permainan sengaja dihadirkan secara up to date untuk memuaskan para pelanggan.

Beragam fantasi para pelanggan akan dipuaskan oleh pemilik bisnis. Penutupan sebuah lahan bisnis seks malah melahirkan lahan-lahan baru yang rapi beroperasi. Aksi binal seperti ini menunjukkan dominasi kebinatangan manusia melampaui kesadaran moralnya.

Kedua, media sosial dan dominasi budaya baru. Modernisasi menjamin globalisasi dan penetrasi paham atau budaya asing berupa estetika ketelanjangan, seks bebas, dan feminisme radikal. Masyarakat mudah mengenal, menerima, bahkan mewarisinya tanpa nalar kritis dan pedoman etika moral budaya sendiri.

Warisan paham asing ini mengangkat insan milenial sebagai penguasa akhir atas tubuh dan membentuk keyakinan baru, "this is my body, this is my style, and this is my hoby." Lantas, kaum hawa yang tampil modis dengan pakaian paling mini pun tidak dianggap tabu, tetapi dihargai sebagai bentuk kebebasan berekspresi atau dalam satire Jean Couteau (2017:45) yaitu otaknya "religius," tetapi pinggangnya ditafsir sekuler kebarat-baratan.

Dia menegaskan bahwa tubuh dan busana yang dulunya hanyalah "kenyataan kultural" yang banal telah bertransformasi menjadi "pernyataan identitas" bahkan politik. Hemat saya, paham asing memperkuat otonomi diri dan warna pilihan tindakan setiap orang, serta merawat egosentrisme.

Media merawat efek negatif budaya baru ini dengan beragam cara, sekurangnya dengan menjamin kejahatan transaksi laku zinah atau jaringan prostitusi online, bahkan menjalar pada remaja. Contohnya, siswa SMP kelas IX di Bekasi yang saling berbagi konten porno dan sering mengajak rekan sekolahnya berhubungan seks melalui grup aplikasi pesan daring bertajuk `All Star' (Kompas, Kamis, 11/10/2018).

Kejahatan ini dapat digolongkan sebagai kejahatan diam (silent crime) yaitu kejahatan yang tersembunyi dari pandangan dan pengetahuan umum. Bahayanya, kehadiran media sosial malah membentengi para remaja dari binaan orang tua. Gawai mini membentuk kepribadian mereka tanpa filter yang memadai.

Sesuatu yang dianggap tabu dalam interaksi fisik keseharian malah menjadi realitas yang banal dalam dunia maya.

Ketiga, praktik pembuktian cinta. Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Polres Timor Tengah Selatan (TTS), Bripka Adelina Ma'akh menegaskan bahwa modus yang sering digunakan pelaku kekerasan seksual kepada anak adalah meminta pembuktian cinta dengan melakukan hubungan badan (Pos Kupang, Rabu, 25/07/2018).

Praktik pembuktian cinta dapat diartikan sebagai praktik hubungan badan oleh sepasang insan sekalipun belum berstatus menikah. Praktik ini melelangkan jaminan dan paksaan secara terselubung.

Sekalipun berstatus pacaran, seseorang meminta atau memaksa pacarnya melakukan hubungan badan demi menunjukkan ketulusan cinta dan jaminan menuju jenjang pernikahan. Ironisnya, praktik ini kerap menelorkan kasus beruntun serupa hamil di luar nikah, aborsi, hingga bunuh diri, namun semakin banal dipraktikkan insan muda.

Agape dalam Valentine's day

Rangkaian kasus di atas hendak menegaskan kekeliruan praktik cinta estetis. Kebebasan tafsir dan otonomi diri yang keliru menghantar orang pada kebinalan kebinatangannya.

Dominasi cinta estetis menutup kemungkinan bagi sikap pertanggungjawaban dan penghargaan terhadap sesama. Orang menjadikan sesama sebagai objek pemuasan hasrat dari segi potensi, keuntungan, status, harta kekayaan, penyambung nafkah, kecantikan, dan keindahan ragawi. Penghayatan cinta yang seharusnya otentik melekat pada individu adalah agape atau kasih sayang, yang berjalan dari tingkatan estetis (tubuh), lalu etis (relasi khusus), dan berpuncak pada religius (agape).

Manusia sebagai makhluk sosial menjamin dua unsur penting yaitu keberadaan dan cinta. Keberadaan sebagai bukti bahwa pria dan wanita tampak dalam wujud tubuhnya sekaligus sebagai pemilik atas tubuhnya itu. Tidak mungkin ada relasi tanpa wujud fisik (tubuh) manusia itu sendiri. Bahwasanya, baik anatomi, fisiologi, dan psikologinya manusia sebagai makhluk seksual selalu terarah kepada relasi timbal balik dengan yang lain.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved