Opini Pos Kupang

ASN (Boleh = Harus) Berpolitik (Analisis dari Segi Ilmu Hukum Legislasi)

Baca Opini Pos Kupang: ASN (boleh = harus) berpolitik (analisis dari segi ilmu hukum legislasi)

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto ASN (Boleh = Harus) Berpolitik (Analisis dari Segi Ilmu Hukum Legislasi)
Dok
Logo Pos Kupang

Baca Opini Pos Kupang: ASN (boleh = harus) berpolitik (analisis dari segi ilmu hukum legislasi)

Oleh : Dr. Yohanes Bernando Seran, SH, M.Hum

POS-KUPANG.COM - Aparatur sipil Negara ( ASN) setidaknya dalam bulan ini mendapat sorotan tajam dari segelintir masyarakat umumnya dan Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu) secara khusus. Sorotan tersebut disebabkan karena adanya diskursus dan paradoks pemikiran tentang makna ide dari frasa "Netralitas" untuk ASN.

Diskursus tersebut bertambah "liar" ketika adanya implementasi yang menyesatkan atau penafsiran yang di luar konteks terhadap arti sesungguhnya dari netralitas itu sendiri.

Banyak Pengendara di Mbay tak Pakai Helm, Ini Tanggapan KBO Lantas Polres Nagekeo

Tambah kabur lagi ketika Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kabupaten tertentu telah menafsirkan secara sendiri-sendiri berbagai ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan proses pilkada serentak pada September tahun 2020.

Padahal kita tahu dan paham penafsiran hukum yang benar hanya boleh dilakukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Badan lain haram hukumnya untuk melakukan penafsiran hukum atau penemuan hukum (Reachsvinding).

Menyatukan Terminologi Pariwisata

Untuk mengantisipasi penafsiran yang tidak kontekstual dan tidak kontent terhadap suatu ketentuan perundang undangan yang berlaku, berikut ini akan diuraikan suatu analisis yang "sophisticated" dan berdasarkan pada teori-teori ilmu pengetahuan perundang-undangan (gesetzgebung wissenschaft) yang berlaku di Indonesia.

Analisis ini setidaknya dapat menjadi acuan pemikiran (Term Of Reference) untuk semua stakeholder yang berkepentingan pada perhelatan Pilkada serentak di Indonesia pada September 2020.

Dengan demikian tahapan-tahapan proses Pilkada dapat dilalui dengan benar, konstruktif dan memiliki manfaat yang banyak bagi masyarakat, sebab membaca dan memahami ketentuan perundang-undangan yang berlaku haruslah memperhatikan aspek kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan secara komulatif.

Bahwa semua pelaksana tugas pokok dan fungsi penyelenggara negara apapun namanya di Indonesia harus mendasarkan orientasinya pada hirarki norma hukum yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan mendasarkan pemahaman akan teori jenjang norma hukumnya Hans Kelsen yang dikenal dengan sebutan "Stufen Theori" dan teorinya Hans Nawiasky dengan sebutan Die Theorie Vom Stufen Ordinnary Der Rechts Normen, para pembentuk undang-undang telah menetapkan hirarki peraturan perundang-undangan RI dengan tingkat paling atas sampai tingkat paling bawah yaitu UUD, TAP MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam ilmu hukum legislasi penetapan hirarki tersebut disebut limitative, yang artinya tidak ada lagi jenis peraturan perundang-undangan lain selain yang sudah ditetapkan.

Oleh Karena itu mari kita menganalisis peraturan perundang-undangan dalam proses pilkada melalui peraturan dalam berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang sudah ditetapkan.

Dengan kata lain adanya surat edaran, peraturan KPU, peraturan Bawaslu dan lainya yang tidak disebutkan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 dianggap hanya sebagai ketentuan pelaksanaan dan bukan sebagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian daya mengikat dan daya berlakunya limitatif kendati memiliki kekuatan hukum.

Dalam konteks ini berlaku asas hukum Lex Superior Derogat Legi Inferiori (Hukum yang tertinggi meniadakan Hukum atau ketentuan yang berada di bawahnya).
Pertama; bahwa jika dianalisis dari UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (grundnorm) tidak ada satupun pasal yang mengatur membatasi hak warga negara dalam hal berorganisasi, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Apalagi yang mengatur melarang setiap warga negara termasuk ASN untuk ikut berpolitik atau mengambil bagian dalam hal politik. Bahkan dijamin secara tegas dalam Pasal 28 I ayat 2 dan 3 bahwa setiap orang berhak aktif menyatakan pikiran, sikap dan atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved