Opini Pos Kupang
ASN (Boleh = Harus) Berpolitik (Analisis dari Segi Ilmu Hukum Legislasi)
Baca Opini Pos Kupang: ASN (boleh = harus) berpolitik (analisis dari segi ilmu hukum legislasi)
Dengan demikian dalam konteks ini kita sudah clear bahwa tidak ada larangan dalam hal berpolitik bagi setiap warga negara termasuk di dalamnya ASN. Berdasarkan asas Lex superior Derogat Legi Inferiori, peraturan perundang-undangan yang di bawah UUD tidak boleh mengatur melebihi dan atau mengurangi apa-apa yang telah diatur dalam UUD.
Jika terjadi mengatur melebihi dan atau mengurangi maka ketentuan tersebut harus dikesampingkan atau dianggap tidak ada atau dalam bahasa hukumnya adalah harus batal demi hukum (Nietig Van Recht Wege).
Kedua; bahwa di bawah UUD terdapat ketentuan-ketentuan hukum lain yang mengatur tentang eksistensi "ASN". Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari 141 pasal tidak ada satu pasalpun yang melarang ASN untuk berpolitik.
Lalu referensi mana yang digunakan penyelenggara pemilu untuk menyatakan bahwa ASN dilarang berpolitik. Dalam frame of thingking dan flow of thingking sekalipun tidak ditemukan alasan orang menyatakan dalam UU ASN diatur bahwa ASN dilarang berpolitik.
Ternyata setelah ditelusuri, bahwa dalam pasal 2 Undang -Undang tentang ASN hanya diatur penyelenggara kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan asas "netralitas" (pasal 2 Huruf F).
Dalam Penjelasan pasal disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Netralitas adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Dimana letak kesalahan ASN jika ia berpolitik? Penjelasan Undang-undang ASN tentang netralitas itu tidak menyatakan bahwa ASN dilarang berpolitik. Jadi referensi peraturan mana yang dipakai Bawaslu atau penyelenggara Pemilu lain bahwa UU melarang ASN untuk berpolitik. Penafsiran demikian adalah sangat menyesatkan dan tidak berdasarkan ilmu tentang "Interpretasi Hukum".
Ketiga; bahwa dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 pun tidak ada satu pasalpun dari 205 pasal yang diatur menentukan larangan bagi ASN untuk berpolitik. Bahwa ada peraturan tentang partisipasi ASN dalam berpolitik sangat rijid dan sudah implisit dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada.
Pasal-pasal yang dijadikan rujukan Bawaslu (seperti Malaka) seperti pasal 70,71 UU Nomor 10 tahun 2016 sangat tidak cocok alias salah penafsiran pasal oleh Bawaslu karena itu berkaitan dengan sudah adanya pasangan calon. Jika belum ada pasangan calon maka pasal tersebut tidak boleh diterapkan.
Inilah yang disebut berpikir sesat (falacy of relevance) karena seenaknya mau menerapkan pasal tanpa membaca makna bahasa hukum yang ada dalam pasal tersebut. Oleh karena itu pendidikan hukum dan legal drafting harus menjadi bagian penting bagi siapapun ketika menafsirkan dan menerapkan pasal-pasal dalam suatu Undang-undang.
Fakta Bawaslu salah menafsirkan hukum dalam ketentuan Pilkada dengan tafsiran yang keliru terhadap PP Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, PP 42 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
Dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak ada satupun pasal yang melarang ASN berpolitik. pasal 4 ayat 15 huruf d PP 53 tahun 2010 yang digunakan Bawaslu untuk menyatakan ASN berpihak dan tidak netral adalah penafsiran yang keliru dan menyesatkan. Karena pasal tersebut hanya bisa diterapkan jika sudah ada pihak-pihak yang telah ditetapkan KPU sebagai pasangan calon.
Sedangkan ini belum ada penetapan pasangan calon. Dengan demikian penerapan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang dilakukan bawaslu dalam konteks menyudutkan dan mengadili ASN adalah keliru dan tidak bernilai yuridis. Oleh karena Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu di daerah harus dibekali advokasi atau kursus tentang pemahaman bahasa hukum dan penafsiran hukum. Dengan demikian tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia ASN dalam berpolitik, berdemokrasi dan kesamaan di depan hukum (equality before the law).
Keempat; bahwa dasar hukum yang sekarang digunakan Bawaslu dalam menyudutkan eksistensi ASN seperti surat edaran dan peraturan Bawaslu harus dilihat sebagai referensi untuk menjelaskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada bukan sebaliknya. Surat edaran adalah himbauan. Peraturan Bawaslu adalah rujukan untuk pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu sifat hukum surat edaran dan peraturan Bawaslu adalah bukan imperatif dan koersif tetapi hanyalah ketentuan-ketentuan yang permisif mengatur secara internal untuk dapat melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.