Lebih Ganas Dari Virus Corona Inilah Penyakit Menular yang Habisi 100 Juta Manusia di Seluruh Dunia
Lebih Ganas Dari Virus Corona Inilah Penyakit Menular yang Habisi 100 Juta Manusia di Seluruh Dunia
Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD/Dinas Kesehatan Sipil) Hindia Belanda bahkan sempat salah kaprah dengan menganggap serangan Flu Spanyol sebagai kolera.
Akibatnya, setelah muncul beragam gejala, pemerintah menginstruksikan BGD untuk mengadakan vaksinasi kolera di tiap daerah.
Kesalahan penanganan itu menyebabkan jumlah korban semakin banyak, mayoritas berasal dari golongan Tionghoa dan Bumiputera.
Diberitakan oleh Sinar Hindia, penyakit itu disebabkan oleh perang yang berkecamuk di Eropa yang membuat kondisi udara menjadi buruk.
Faktor tersebut berkaitan dengan musim kemarau panjang yang tengah terjadi di Hindia.
Namun, De Sumatra Post membantah pendapat tersebut dengan menyebut influenza sebagai “Penjakit Rakjat”, berasal dari dalam Hindia, dan tidak menular.
De Sumatra Post terpaksa menelan ludahnya sendiri ketika dalam salah satu artikelnya mendorong agar seluruh suratkabar di Hindia Belanda berkenan menyediakan rubrik singkat guna memberikan informasi mengenai bahaya penyakit ini.
Penyebaran Flu Spanyol di Hindia terjadi dalam dua gelombang.
Pertama, Juli 1918-September 1918, sekalipun di beberapa tempat, seperti Pangkatan (Sumatera Utara), virus ini sudah menyebar pada Juni 1918.
Diduga kuat penyakit itu ditularkan oleh penumpang dari Singapura. Kak!
Sementara, kawasan timur, seperti Sulawesi dan Maluku, masih terbebas dari Flu Spanyol selama gelombang pertama.
Dalam hitungan minggu, virus menyebar secara masif ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, dan Jatiroto).
Dari Jawa, virus menjangkiti Kalimantan (Banjarmasin dan Pulau Laut), sebelum mencapai Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Memasuki Oktober 1918, virus tersebut telah mencapai pulau-pulau kecil di sekitar Kepulauan Sunda.
Sebulan berselang, virus telah mencapai Papua dan Maluku, 10 dari 1000 orang meninggal akibat flu ini.
Menurut Oetoesan Hindia, lebih dari 10 persen populasi di Pulau Seram meninggal akibat keganasan virus ini.
Sementara, 60 persen penduduk Makassar yang berjumlah sekitar 26.000 jiwa dilaporkan terjangkit virus ini dan 6 persen dari mereka tewas.
Pewarta Soerabaia mencatat, hingga pertengahan Juli 1918, Flu Spanyol telah menyerang 70 polisi di Jawa dan membunuh 10 orang Tionghoa di Medan.
Beberapa perusahaan di Surabaya bahkan harus mengurangi produksi karena lebih dari setengah karyawannya tidak dapat masuk kerja akibat terkena Flu Spanyol.
Sin Po bahkan mengabarkan kemungkinan keterlambatan tiba korannya agar masyarakat dapat memaklumi hal tersebut.
Sementara itu, sebuah perusahaan di Ambon harus menerima kenyataan apabila hanya sembilan pekerjanya (dari total 800 pekerja) yang bisa masuk kerja.
Seluruh rumah sakit mendadak kebanjiran pasien sampai harus menolak banyak pasien karena keterbatasan kamar.
Para dokter tidak mampu berbuat banyak lantaran mayoritas dari mereka belum pernah melihat gejala penyakit seperti itu.
Mereka hanya bisa merekomendasikan kina dan aspirin untuk menurunkan panas sang pasien.
Menurut Koloniaal Weekblad (1919), masing-masing dokter di Makassar harus bertanggungjawab terhadap nasib 800 pasien.
Saking frustasinya, dalam sebuah rapat regional di Rembang, Dr. Deggeler sampai menyatakan bahwa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu, selain amal baik seseorang.
• Warga Hambapraing, Sumba Timur Mengeluh Ternak Mereka Sering Mati Terkena Penyakit
• Gempa Bumi Magnitudo 4.5 SR Guncang Tambolaka, Sumba Barat Daya, NTT
• Tekan Angka Kasus DBD, Dinkes TTU Koordinasi Dengan Dinkes Belu
• Intip Ramalan Zodiak Besok Senin 10 Februari 2020 Gemini Usaha Dong Jangan Menyerah Pisces Cemburu
• Kronologi Tewasnya Putri Karen Pooroe Terjatuh dari Balkon Apartemen Lantai 6
• Puluhan Ekor Ternak Milik Warga Hambapraing, Sumba Timur Mati Karena Ketiadaan Pakan
Gelombang kedua Flu Spanyol terjadi pada Oktober-Desember 1918 meski di beberapa tempat, terutama di kawasan timur, berlangsung hingga akhir Januari 1919.
Pewarta Soerabaia melaporkan, virus masih mengganas di Buton pada awal Januari 1919.
Kasus kematian juga terjadi di beberapa perkebunan di Sumatera, yang dilaporkan Harian Andalas.
Sin Po menyebutkan Flu Spanyol membuat beberapa perkebunan di Jawa Barat menderita.
Sebanyak 200 pekerja di Wanasukan terinfeksi pandemi sehingga tidak dapat bekerja.
Kondisi serupa terjadi di Talun yang mengakibatkan produksi kopi terhambat.
Di Padang, kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Adabiah dihentikan karena mayoritas murid dan gurunya terinfeksi oleh Flu Spanyol.
Begitu juga dengan Kartinischool Goenoeng Sari dan Kweekschool Goenoeng Sari di Batavia dan HIS Gorontalo.
Laporan BGD di tahun 1920 menyebutkan, “Seloeroeh desa di Hindia Olanda hampir tidak ada jang tidak terinfeksi oleh penjakit flu."
Akibatnya, menurut laporan itu, "Pintu rumah tertutup. Jalan-jalan begitu lengang. Anak-anak menangis di dalam rumah karena merasa lapar dan haus. Banyak binatang bahkan meninggal kelaparan. Hari-hari tersebut sangat penuh dengan kesengsaraan."
Menurut data mortalitas dalam Handelingen van den Volksraad tahun 1918, pada November 1918 sebanyak 9.956 orang meninggal karena kolera, 909 karena cacar, 733 karena pes.
Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding jumlah korban Flu Spanyol di bulan yang sama, 402.163 jiwa.
(Intisari/Warta Kota)