Opini Pos Kupang

Ekonomi Ekstraktif dan Bias Pendapatan

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang: Ekonomi Ekstraktif dan Bias Pendapatan

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Ekonomi Ekstraktif dan Bias Pendapatan
Dok
Logo Pos Kupang

Di satu pihak, kerusakan lingkungan bersifat merugikan, namun di pihak lain justru bisa meningkatkan gairah perekonomian yang dapat mendorong angka PDB atau PDRB.

Padahal, secara konvensional konsep perhitungan PDB maupun PDRB dikenal sebagai indikator yang paling mendasar untuk mengukur tingkat kemajuan ekonomi. Namun demikian, kelemahan yang melekat pada sistem perhitungan PDB maupun PDRB selama ini adalah, ketidakmampuannya mengakomodasikan indikator-indikator non ekonomi (eksternalitas termasuk kerusakan lingkungan), sebagai determinan penting bagi tingkat kesejahteraan.

Fakta di atas mengindikasikan keterbatasan yang inheren dalam pendekatan perhitungan pendapatan. Karena itu, dibutuhkan langkah yang lebih substansial dan komprehensif. Atau dengan kata lain, agar tidak terjadi bias perhitungan pendapatan, diperlukan sebuah formulasi baru, dengan memasukkan faktor eksternalitas (yakni kerusakan sumber daya alam) ke dalam perhitungan pendapatan. Singkatnya, adalah bagaimana menginternalisasi eksternalitas negatif, maka ia disebut "PDB hijau atau PDRB hijau".

"The Tragedy of The Commons"

Eksternalitas dikatakan terjadi jika aktivitas produksi sebuah institusi (swasta atau pemerintah) atau seseorang mempengaruhi fungsi produksi institusi lain, atau fungsi konsumsi seseorang tanpa dapat dikoreksi melalui tingkat harga.

Karena itu, cara kita mengelola SDA dan lingkungan ada pengaruhnya bagi pertumbuhan ekonomi. Pada titik ini, Garrett Hardin, dalam Snalzea (2020), menerbitkan esai yang sangat kontroversial "Tragedy of the commons" .

Dia berpendapat bahwa degradasi lingkungan merupakan hasil dari individu-individu yang memiliki akses tak terbatas dan terbuka terhadap sumber daya alam. Sehingga, perlu membatasi (atau mengontrol) individu-individu untuk memanfaatkan dan mendapatkan akses terhadap hak milik bersama .

Dilain pihak, kebijakan di sektor perekonomian selama ini lebih ditekankan untuk menghadirkan mekanisme pasar dan menghindari distorsi karena campur tangan ekonomi yang salah dari pemerintah dan perilaku menyimpang dari pelaku ekonomi. Tetapi masalah eksternalitas tidak menjadi faktor yang dipertimbangkan.

Sebagaimana, rencana pemerintah untuk meniadakan instrumen AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), sebagai insentif untuk menarik investasi. Padahal, AMDAL merupakan kajian identifikasi, prediksi dan evaluasi dampak kegiatan terhadap lingkungan bio-geo-fisik-kimia, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Sehingga, implemantasi kebijakan investasi "tanpa" AMDAL, paling tidak terdapat tiga catatan yang harus didalami dan dikalkulasi. Pertama, menyangkut substansi indeks kemudahan berinvestasi itu sendiri. Kedua, berkaitan implikasi dari indeks kemudahan berinvestasi terhadap pembangunan berkelanjutan. Ketiga, hilangnya perangkat pemantauan, pengawasan maupun partisipasi publik dan pemerintah.

Meski begitu, tidak ada yang salah dari semangat dan kebijakan investasi tadi. Tetapi, harus dipahami bahwa komoditi publik, masalah eksternalitas dan kepentingan publik sangat perlu diidentifikasi secara lebih rinci.

Karena, dilapangan tidak semua kegiatan produksi dan distribusi harus diselesaikan dengan mekanisme pasar, mengingat banyak komoditi publik mengandung dampak eksternalitas jika semata-mata diserahkan kepada pasar. Pesan teoritis seperti ini nampaknya sangat penting diperhatikan.

"Turning Point"

Cakupan perekonomian nasional dan daerah lebih luas dan kompleks dibandingkan PDB dan PDRB, tetapi visi ekonomi lingkungan pemerintah dalam PDB dan PDRB akan menentukan arah perekonomian nasional dan daerah.

Apalagi, didalam mazhab pertumbuhan, seluruh kekuatan birokrasi dan bisnis diarahkan untuk menggerakkan ekonomisasi SDA dan lingkungan. Padahal, sudah lama disimpulkan bahwa kelimpahan SDA suatu negara malah menjerumuskan negara tersebut dalam jurang kemiskinan yang dalam sehingga muncul istilah resource curse hypothesis.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved