Head Line News Hari Ini
Pemkot Kupang Tata Tiga Kawasan Jadi Icon Baru, Butuh Anggaran Rp 104 Miliar, Begini Tanggapan PKL
Ketua Asosiasi Pedagang Ikan dan Kuliner, Angki La Ane mendukung penataan ulang asalkan tidak merugikan PKL
Penulis: Laus Markus Goti | Editor: Alfons Nedabang
Pengamat perkotaan, Ir Robertus M Rayawulan, MT mengatakan, apapun yang dilakukan oleh Pemkot Kupang terkait penataan tersebut harus memperhatikan sebanyak empat hal.
Pertama, persoalan sektor informal dimanapun tidak terletak pada keinformalannya, tetapi keinformalan yang tumbuh sebagai upaya kaum papah mempertahankan hidup.

Kedua, sektor informal jangan semata-mata dilihat sebagai masalah. Tapi harus dilihat sebagai bagian dari pemecahan masalah perekonomian kota. Bahkan dalam situasi krisis sektor informal justru hadir sebaga katup pengaman.
Ketiga, yang harus diingat adalah di dalam perekonomian kota yang dualistis saat ini, kehadiran sektor informal merupakan kebutuhan nyata yang tidak dapat dihindari.
"Hal keempat adalah perilaku sektor informal kota seringkali sulit diramalkan. Karena itu, penataan kegiatan sektor informal dimanapun harus dimulai dengan pengakuan sosial tentang eksistensinya," kata Robert di Kupang.
• Bobby Lianto: The Giant Cross seperti Patung Tidur
Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Provinsi NTT ini menjelaskan, terminologi 'penataan' dalam konteks ini tidak boleh diterjemahkan sebagai upaya penertiban dalam arti menggusur atau memformalkan.
"Tidak mudah memang, tidak saja karena pertumbuhan sektor informal seringkali sulit diramalkan, tetapi juga karena tuntutan keruangan sektor informal, seringkali di luar kemampuan pemerintah kota," ujarnya.
Sebagai komponen kegiatan bersifat parasit, alias hanya dapat hidup dalam ketergantungan terhadap kekuatan sektor formal, sektor informal menuntut alokasi ruang sedekat mungkin dengan pusat kegaiatan kota.
• Apa yang Terjadi Ketika Kita Terlalu Tua untuk Menjadi Berguna? Dibunuh, Diusir atau Dirawat?
Pada sisi lain, lanjut Robert, kemampuan membayar yang rendah, melahirkan tuntutan harga sewa serendah mungkin. Karena itu dibutuhkan kemauan politik dari pemerintah kota untuk mewadahi kembali pedagang informal yang ada di depan Hotel Aston maupun di depan Terminal Kupang harga sewa terjangkau.
"Pertanyaannya adalah, mungkinkah pemerintah kota mau menyediakan ruang dengan harga sewa murah pada lahan strategis di pusat kegiatan kota? Andaikata pertanyaan tersebut dibingkai dengan pendekatan konfrontatif, dimana absolutisme menjadi faktor penentu maka jawabannya sudah jelas, tidak mungkin," katanya.
• Viral Anggota Dewan Gerindra Tak Terima Diberi Sarapan Ubi Goreng, Piring Dibuang ke Lantai
"Namun dapat menjadi mungkin, jika dikerangkakan pada pendekatan kooperetif. Dalam pendekatan kooperatif ditawarkan solusi finansial berupa subsidi silang.
Sektor ekonomi kuat (formal), diharapkan bersedia memberikan subsidi ruang; di atas mana sektor informal diharapkan hadir sebagai kekuatan simbiotis," sambung Robert.
Dosen Fakultas Teknik Unwira Kupang ini mengatakan, pemerintah kota akan dapat berperan menyediakan infrastruktur teknis dan berbagai kemudahan sebagai bonus atau insentif bagi sektor formal pemberi subsidi ruang.
Kalau tidak demikian maka yang akan terjadi adalah fasilitas yang dibangun oleh pemerintah kota untuk sektor informal akan berpindah tangan (dijual atau disewakan) kepada pengusaha sektor formal dan selanjutnya sektor informal akan tergusur/berpindah ke tempat lainnya.
• Komisi I DPRD NTT Bahas Masalah Tanah Manulai 2, Jonas Tanya Pemerintah Tertibkan Atau Eksekusi
"Jika hal ini mau diterapkan maka yang perlu segera disiapkan oleh pemerintah kota adalah aspek kepranatannya, kelembagaan dan mekanisme serta prosedur pengawasan yang ketat. Harus ada regulasi yang mengatur tentang ini," katanya.
Ia mengingatkan harus ada kelembagaan yang diberi kewenangan tertentu untuk mengendalikan pelaksanaan program tersebut dengan mekanisme dan prosedur yang baku.
• Zodiak Asmara 22 Januari 2020: Cancer Bersikaplah Manis, Tahan Diri Leo, Scorpio dapat Kejutan
Konsep ini memang bukan hal baru di Indonesia, walaupun juga tidak mudah diterapkan. Namun pelajaran universal yang dapat diadopsi adalah pengakuan sosial dan kemauan politik pemerintah kota, serta kesediaan sektor ekonomi kuat untuk hidup berdampingan dalam suatu iklim simbiose mutualistis.
"Di atas semua itu ternyata jauh lebih mudah mewadahi kegiatan sektor informal daripada menghindari pertumbuhannya yang liar dan cenderung merepotkan pemerintah kota," ujarnya mengingatkan. (kk/cr3/ii)