Opini Pos Kupang

Ketika Piter Keraf Menangis Untuk Nasib Rakyat Lembata

Baca Opini Pos Kupang berjudul: Ketika Piter Keraf Menangis Untuk Nasib Rakyat Lembata

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Ketika Piter Keraf Menangis Untuk Nasib Rakyat Lembata
Dok
Logo Pos Kupang

Baca Opini Pos Kupang berjudul: Ketika Piter Keraf Menangis Untuk Nasib Rakyat Lembata

Oleh: Ferdinand Lamak, Mantan Calon Wakil Bupati Pendamping Alm. Piter Keraf pada Pilkada Lembata 2006

POS-KUPANG.COM - SEBAGAI seorang pejabat, kehidupan keluarganya sederhana dan bersahaja. Dalam keterbatasan anggaran semasa menjadi penjabat bupati, ia telah meninggalkan sejumlah legacy yang hingga hari ini menjadi nadi perekonomian sebagian rakyat Lembata.

Lembata pada awal 2000, hanyalah sebuah wilayah yang baru saja dimekarkan menjadi kabupaten baru, berpisah dari induknya, Flores Timur. Dengan 6 kecamatan pada titik terjauh dari ibukota kabupaten induk, bisa dibayangkan bagaimana ketersediaan infrastruktur dan kehidupan masyarakat di sana. Lewoleba pun hanyalah sebuah kota kecil, yang bermetamorfosa dari kota pembantu bupati menjadi ibukota kabupaten yang baru dimekarkan.

Sadar Demam Berdarah

Anda mungkin bisa membayangkan, betapa sulitnya menjadi orang pertama yang ditunjuk untuk memimpin pemerintahan di wilayah baru ini. Belum ada perangkat pemerintahan sebuah kabupaten yang terbentuk. Lembaga legislatifnya, apalagi anggaran, semuanya belum ada. Itu pula yang dialami oleh Drs. Petrus Boliona Keraf, politisi Golkar, mantan anggota DPR RI dari Fraksi Karya Pembangunan yang ditunjuk menjadi penjabat bupati Lembata.

Dengan apa adanya, ia datang ke Lewoleba dan mulai meletakkan dasar untuk mendirikan sebuah kabupaten baru. Pada sebuah kesempatan, kepadanya saya menanyakan, apa yang ada di dalam pikirannya untuk ia lakukan ketika itu?

Jalan Menuju Bandara Haliwen Rusak, Ini Penjelasan Kepala Dinas PUPR Kabupaten Belu

Untuk membentuk struktur pemerintahan, ia tidak mengalami kesulitan berarti karena pedomannya sudah tersedia dan dirinya tinggal mengikuti saja prosedur formal yang berlaku. Yang membuatnya gundah adalah, kondisi Lembata ketika itu sangat menyedihkan. Isolasi moda transportasi menjadi penderitaan masyarakat di sejumlah wilayah.

"No bayangkan, masyarakat kita di pesisir selatan, terutama mulai dari Mingar hingga Lewopenutung. Mereka sulit sekali untuk kemana-mana, apalagi ke Kota Lewoleba. Orang Lewopenutung itu tidak punya akses jalan keluar. Oto tidak bisa masuk kesana karena tidak ada jalan raya yang bisa dilewati," ia memulai kisahnya.

Sembari mulai membentuk pemerintahan baru, sang penjabat bupati ini pun terus berusaha untuk mulai membangun, kendati ia belum memiliki pos anggaran untuk dapat dipergunakan. Mulailah ia melakukan lobi ke Jakarta untuk mendapatkan sedikit anggaran untuk ia gunakan mulai membangun Lembata.

Sedikit anggaran, sekira satu miliar lebih, ia dapatkan dari lobinya di Jakarta dan dia pergunakan untuk membuka isolasi jalan antara Idalolong menuju Lewopenutung.
"No bayangkan, ketika saya mulai membangun ada teman politisi yang bilang, sampe kucing bertanduk pun oto tidak bisa masuk ke wilayah itu. Dan, No tahu, saya buktikan bahwa di Lembata ini kucing bisa bertanduk, karena bukti batu cadas disana kami pahat untuk buka jalan dan akhirnya sampai hari ini masyarakat bisa naik oto ke Lewoleba," ini ia ceritakan sekira awal 2006.

Kendati performanya tampak keras dan tegas, sense of arts dari pria yang sering disapa Piter Keraf ini cukup tinggi. Dilain waktu ia berdiri diatas bukit Lusikawak dan memandang ke laut. Lalu ia membayangkan, jika di kawasan tersebut ia bangunkan gedung untuk perkantoran Pemkab Lembata. Berbekal kedekatan dengan masyarakat, ia hanya perlu menyiapkan uang sirih pinang untuk membebaskan lahan di bukit itu dan lagi-lagi ia lakukan lobi untuk membangun kantor bupati di tempat itu.

Alhasil, gedung menjulang itu pun dibangunnya sekalipun tidak tuntas lantaran anggaran yang terbatas. Sayangnya, mimpinya itu tidak dilanjutkan dan bangunan belum jadi itu pun menjadi mubazir.

***

SAYA beruntung menjadi salah satu dari sedikit murid politik yang belajar langsung dari beliau. Tak hanya itu, beliau pun mau mempercayai saya menjadi partner politiknya ketika kami berdua muncul sebagai pasangan calon bupati dan calon wakil bupati dalam Pilkada Langsung Lembata untuk pertama kalinya pada tahun 2006. Ia berusia 64 tahun sementara saya separuhnya, ketika itu, 32 tahun.

Sebagai calon wakil bupati yang mendampinginya, saya tahu betul dengan siapa saya berpasangan. Seorang tokoh politik NTT, singa podium, legenda orasi dan juga sosok yang kerap dianggap keras, teliti dan tegas. Mungkin berlebihan, tetapi ada juga menganggapnya arogan dan sombong, merasa diri paling pintar dari orang lain.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved