Berita Cerpen

Cerpen Thadeus Edison Putra: Garis Takdir

Cerpen Thadeus Edison Putra: Garis Takdir. Dino terlihat sedih siang itu. Sesekali ia melihat kaki kanannya yang sudah diamputasi.

ilustrasi pos kupang
Garis Takdir 

Tangannya kaku memegang pulpen semenjak tamat beberapa bulan lalu. Hidup di kampung dengan beraktivitas di sawah dan ladang membuat dia tak terbiasa lagi untuk menulis sebagaimana yang dilakukan sewaktu menjadi mahasiswa.

Mulai dari menulis opini, puisi, esai dan dia kirim ke beberapa media cetak atau online yang tersebar menjamur di provinsinya meskipun yang dilakukan hanya sekedar menyalurkan hobi.

Selebihnya, macam honor tulisan begitu tak pernah diterimanya. Justru yang ada hanya situasi tidak enak. Etika mengharga tulisan karya orang lain rupanya kurang begitu peka di daerahnya.

Berlangsung Live Streaming BeIn Sports 2 Bologna vs Fiorentina Liga Italia, Skor Sementara 0-1

Sudah setengah mati peras ide namun ganjarannya setengah mau mati biar sekedar beli susu sachet satu bungkus sudah bisa pulihkan pikiran.

Namun hasilnya nihil. Terima tulisan, dicetak lalu pergi tanpa permisi. Ah sudah lagu lama itu.

Malam semakin larut, Dino masih terjaga walaupun dengan mata yang sedikit berat, semakin lama mulai beberapa kali menguap dengan mata yang sudah sedikit sepat. Beberapa kali dirinya melihat kertas yang dipegangnya itu.

"Sudah pas. Tak ada salah lagi," batinnya. Menjelang pagi. Ayam berkokok bersahutan. Dino terjaga dari tidurnya. Diawali dengan doa syukur pagi. Ia langsung menuju dapur tuk mencicipi kopi. Dingin yang mencekam tubuh akhirnya hilang juga. Aroma kopi khas tumbukan mamamya itu membuat kepercayaan dirinya bertambah untuk melangkah pada urusan melamar pekerjaannya di instansi di kabupatennya.

Kekesalan merundunginya kala itu ketika kantor yang dia datangi tak mampu menerima lamaran baru. Alasannya karyawan sudah pas, sudah sesuai dengan kebutuhan. Hatinya hancur ditambah rasa lapar terus mengganjal sementara uang di dompetnya sudah pas membayar ongkos pulang.

Ketika dia hendak melangkah pergi dari kantor tersebut datanglah seseorang mendekatinya.

Pioner Juara Persib Hiasi Lini Tengah Bali United Musim 2020, 5 Pemain Utama Dirumorkan Hengkang

"Dino ya?" Tanya orang itu.
"Ia bro," jawab Dino. Rupanya orang itu adalah Pantor. Temannya waktu masa berseragam abu-abu.

"Kerja di sini ko, bro?" Tanya Dino sambil menerima sebatang MarIboro yang ditawarkan Pantor.

"Itu sudah bro. Daripada duduk-duduk kosong e," jawab Pantor. "Tamat dimana baru-baru kuliahnya teman," tanya Dino.
"Aduh teman. Saya hanya tamat SMA saja," jawab Pantor.

"Untuk kerja di sini tak usah pontang panting kejar ijazah sarjana. Cukup ijazah SMA atau SD atau ijazah paket sekalipun, kau akan selamat intinya ada orang dalam. Saya dulu selesai tamat langsung datang langsung ke saya punya om dengan membawa bir dan ayam.

Satu minggu kemudian saya langsung kerja tanpa ada wawancara atau seleksi atau persyaratan lain yang bikin pusing kepala itu," terang Pantor.

Kepala BMKG Stasiun Meteorologi El Tari Kupang: Cuaca Ekstrem Paling Berdampak di Manggarai

Seketika mulutnya Dino tak mampu berbicara lagi. Pikirannya kacau dengan situasi yang dihadapinya. Sudah berkuliah cape-cape dengan biaya yang agak lumayan mahal tapi hasil akhirnya dikalahkan dengan orang-orang yang memiliki kekuatan orang dalam.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved