Head Line News Hari Ini
Biaya Operasi Sesar di NTT Tembus Rp 21 Miliar
Pada periode Januari-November 2019, ada sebanyak 3.722 ibu hamil menjalani operasi sesar.
Penulis: Teni Jenahas | Editor: Alfons Nedabang
Menurutnya operasi merupakan tindakan beresiko dan pihak dokter tentunya tidak ingin menempatkan pasien pada kondisi beresiko itu.
• Walikota Kupang Siap Bantu Pembangunan Vihara Pubbaratana, Ini Tujuannya
"Saya yakin dokter tidak menempatkan pasien pada kondisi beresiko, apalagi saat ini masyarakat sudah melek hukum tentunya menjadi pertimbangan bagi dokter dalam mengambil tindakan," kata Stef Soka saat ditemui di RSUD Prof Dr WZ Johannes Kupang, Senin (2/12/2019).
"Dan saya pikir teman-teman dokter spesialis kebidanan dan kandungan dan berusaha memberikan tindakan section sesuai indikasi," tambahnya.
Stef Soka mengakui semakin tinggi angka operasi section berdampak pada pembiayaan, akan semakin besar.
Berdasarkan data IDI, Stef Soka menyebut jumlah dokter spesialis kandungan di NTT sekitar 50an orang. Semuanya tersebar di wilayah NTT, terkecuali Kabupaten Sabu Raijua.
• Pendamping PKH di Nagekeo Serahkan BPNT Bagi Warga di Kecamatan Wolowae
Dia menyarankan dokter spesialis kandungan agar lebih maksimal mulai dari proses pemeriksaan awal hingga proses kehamilan sehingga hal-hal yang berkaitan dengan deteksi kehamilan beresiko tinggi dapat dideteksi sedini mungkin dan tidak sampai berlanjut pada kondisi yang berat dan membutuhkan operasi section.
"Teman-teman dokter agar lebih selektif lakukan operasi section pada ibu hamil. Karena bukan hanya masalah berkaitan dengan biaya yang tinggi tapi kita butuh kontinuitas dan pelayanan," imbuhnya.
Terkait pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menyoroti layanan persalinan melalui operasi sesar yang banyak sehingga memicu terjadi defisit anggaran BPJS Kesehatan, Stef Soka mengatakan, "Mungkin Menkes ingin mengingatkan semua, bukan hanya dokter, tetapi rumah sakit, dokter, farmasi dan semuanya yang terlibat dalam pelayanan untuk lebih efisien dalam kaitannya dengan klaim BPJS. Mungkin Menkes melihat satu aspek seperti section, ada juga operasi jantung dan lainnya."
• Ingin Masuk 5 Besar, Persib Maung Bandung Apa Bisa Curi 3 Kemenangan dalam Laga Sisa? Strategi
Menurut Stef Soka, Menkes Terawan berharap agar semua komponen pelayanan kesehatan di Indonesia lebih optimal, efisien dan selektif memberikan pelayanan.
"Karena selain mutu, harus juga harus dipentingkan efisiensi, makanya ada kendali mutu dan kendali biaya harus tetap dipegang," ujarnya.
Obral Rujukan
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan pemerintah perlu melakukan audit medis terkait rekomendasi rujukan dokter kepada pasien. Tindakan itu menjadi salah satu penyebab terjadinya defisit anggaran BPJS Kesehatan.
• 13 Ekor Sapi Milik 6 Warga Kupang Mati Tersambar Petir, Lihat Kondisi Sapi dan Kerugian Petani
"Jadi perlu ada audit secara medis mengenai rujukan dokter yang menyarankan operasi. Saya punya catatan, jumlah ibu yang melakukan persalinan melalui operasi lebih banyak daripada yang normal. Sejak Januari hingga November 2019, jumlahnya mencapai 586.690 orang. Sementara, ibu dengan persalinan normal hanya 273.198 orang," kata Timboel di Jakarta.
Biaya melahirkan dengan operasi tentu lebih mahal ketimbang lahir normal dan dapat ditanggung dengan fasilitas BPJS Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Persalinan seperti ini juga relatif lebih cepat.
Saya menduga banyak dokter dan rumah sakit lebih sering merekomendasikan para ibu melakukan hal tersebut. Selain itu dokter memperbolehkan pasien pulang lebih cepat. Hal ini membuat klaim biaya pengobatan untuk berobat kembali terus naik. Ada fraud (manipulasi) di situ dengan berkali-kali datang, kan biaya jadi membengkak.
• Kebakaran di Kewapante: Kios Rusli Dimakan Api Diduga dari Penanak Nasi, Kronologi Kejadian Info
Ada hal lain juga yang menimbulkan defisit anggaran terjadi. Pertama, dari sisi penganggaran di dalam Rencana Kegiatan Anggaran Tahunan (RKAT) dimana penerimaan yang ditargetkan dari iuran BPJS Kesehatan lebih kecil dibandingkan pengeluaran yang harus dibayarkan.
Persoalan berikutnya yakni terkait iuran. Ketika BPJS Kesehatan mulai dibentuk pada 2014, saat itu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan iuran BPJS sebesar Rp 27.000.
Namun, waktu itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo menetapkan besaran iuran jauh di bawah usulan DJSN, yaitu sebesar Rp 19.225. Kondisi serupa terjadi pada 2016 ketika tarif BPJS Kesehatan naik. Saat itu,
• Ternyata Homoseksual Penyumbang Terbesar HIV/AIDS di Kabupaten Ini, Lihat Perilakunya
DJSN mengusulkan besaran tarif iuran sebesar Rp 36.000. Akan tetapi, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan besaran iuran Rp 23.000. Artinya, terjadi gap. Besaran iuran ini tidak cocok untuk mengoperasikan JKN ini.
Selain itu masih banyak pemerintah daerah yang belum tunduk kepada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Keseatan. Pemerintah pusat diwajibkan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5 persen di dalam APBN, sedangkan pemda sebesar 10 persen di dalam APBD.
• Ramalan Zodiak Jumat 6 Desember 2019, Aries Romantis, Cancer Intropeksi Diri, Capricorn Mempesona
Persoalan keempat yakni adanya utang iuran yang gagal dikumpulkan. Pada 30 Juni lalu, masih ada sekitar Rp 3,4 triliun utang yang belum dibayar. Kontribusi utang terbesar berasal dari peserta mandiri Kelas 2 dan 3 sebesar Rp 2,4 triliun, perusahaan swasta Rp 600 miliar dan sisanya sekitar Rp 400 miliar disumbangkan oleh pemerintah daerah yang tidak membayar Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
"Itu baru satu bulan, belum bicara 10-11 bulan. Inilah fakta bahwa sumber pemasukan potensi gagal. Pemerintah sebenarnya dapat memberikan sanksi kepada mereka yang menunggak bayar," kata Timboel. (jen/rom/rob/yen/hh/ii/kompas.com/katadata)