Berita Cerpen
Cerpen Chan Setu: Yang Luka Adalah Kenapa Aku Dilahirkan
Ibuku seorang penyambung pesan yang sempurna, derap langkah kakinya tak pernah didengar, aroma tubuhnya selalu akrab di setiap pagi.
POS-KUPANG.COM|KUPANG - "Anakku, kelak ketika daun-daun pinang di belakang rumah kita menjadi tua bersama uban di kepala ayahmu, ibu harap kau menuliskan puisi dan menempatkannya di pemakaman umum kampung kita."
Ibuku seorang penyambung pesan yang sempurna, derap langkah kakinya tak pernah didengar, aroma tubuhnya selalu akrab di setiap pagi, petang, hingga senja bagi mereka yang menetap di ibu kota.
Dari kampung, ibuku hanyalah seorang gadis culun anak seorang pecandu kopi. Kelahirannya bertepatan dengan pertiwi merayakan hari pendidikan nasional.
• HUT ke-5 Gereja Santo Simon Petrus Tarus, Ini Yang Dilakukan Panita
Banyak orang-orang di kampung yang membayangkan masa depan ibuku yang cerah di samping hari-harinya, ibuku hanyalah penyambung pesan, kadang ibuku meluangkan waktunya untuk mengumpulkan barang-barang bekas dari tong sampah ke tong sampah.
Perjumpaan ibu dan ayahku sangat dramatis bak film-film sinetron FTV di chanel SCTV, melankolis pipih ibuku membuat ayahku kalang kabut, di samping itu perjumpaan itu barang sepuluh sampai lima belas menit membuat ayahku jatuh hati pada pandangan pertama.
Bagaimana tidak? Saat itu ayahku hanyalah opsir bajaj di gang-gang kumuh ibu kota. Peluh keringat, dan debu jalanan menjadi saksi yang tak pernah dilawati dengan air mata.
Habisnya nasi perlu dicari, tubuh butuh makanan setiap harinya. Sarapan bagi ayahku hanyalah kopi segelas.
Sampai-sampai ketika semuanya berubah ayahku mengidap sakit jantung dan ibu harus jadi babu dari tetangga-tetangga kompleks, dari satu rumah ke rumah yang lain. Saat itu kira-kira usiaku baru saja beranjak menuju dua belas tahun.
***
"Ayah, peluhmu mengeluh. Aromamu kian merangsang. Larut pula aku dengan kalut. Bisa apa aku sang laki-laki.
"Nak, ayah masih menulis puisi akan tiba waktunya ketika kau menuliskan puisi, Ibu(mu) sempat bercerita agar puisimu kau bangunkan di timur rumah kita biar ia sunyi dan tenang tanpa gaduh dan bising," pesan terkahir ayahku.
Waktu itu pukul 15:00 WIB, ketika kaki melangkah gontai di ruas jalan gang perumahan kumuh tempat dimana aku, ibu dan ayahku menetap.
• Tamu Kita: Rahmat Adinata: Sumba Pusat Pembelajaran Tanaman Organik
Aku baru saja pulang menjajah kardus dan barang-barang bekas lainnya yang bisa ditimbang dan menghasilkan uang meski kisaran penghasilan dari pungut memungut sampah itu sehari tidak pernah lebih dari Rp 20.000.
Tetapi cukup untuk membeli beras sekilo dan sayur kangkung yang seharga tiga ikat, lima ribu. Meskipun hanya bertahan paling lama dua sampai tiga hari.
Okto! Itu namaku, nama yang diberikan ayahku karena ibuku melahirkan aku di bulan Oktober. Di kampungku mengenai pemberian nama bagi seorang anak yang baru lahir tidak terlalu repot.
Ayah dan ibu dengan bebas memberi nama bagi anak-anaknya, asalkan mereka yakin bahwa nama yang diberikan itu mampu mendewasakan anak-anak mereka dan bertumbuh menjadi anak yag berbakti kepada orang tua dan sesama.