Berita Tamu Kita
Tamu Kita: Rahmat Adinata: Sumba Pusat Pembelajaran Tanaman Organik
Punyai keinginan yang tulus membangun masyarakat khususnya para petani di Sumba Timur dan Pulau Sumba umumnya.
Penulis: Robert Ropo | Editor: Apolonia Matilde
Laporan reporter POS-KUPANG.COM, Robert Ropo
POS-KUPANG.COM|KUPANG - Mempunyai keinginan dan niat yang tulus untuk membangun masyarakat khususnya para petani di Sumba Timur pada khususnya dan Pulau Sumba umumnya.
Ia bermimpi suatu saat nanti Pulau Sumba yang selama ini sering disebut daerah kering dan tandus akan menjadi daerah yang hijau dan kaya akan tanaman organik.
Begitu juga kepada para petani di Sumba, tidak lagi menjadi tamu di tanah sendiri, namun menjadi pemimpin di tanah sendiri, itulah yang tertanam dalam diri, Rahmat Adinata.
• Ini Pesan Petani Muda yang Sukses Asal Soa Ngada pada Momen Sumpah Pemuda
Baginya impian itu akan terjawab, jika bekerja keras untuk masyarakat banyak, ingin merubah pola ekonomi masyarakat itu sendiri, maka Sumba yang dikenal daerah kering akan menjadi pusat pembelajaran organik.
Meskipun hanya mengantongi ijazah SMA sederajat dan hanyalah seorang petani tulen, namun kini dengan tekadnya yang tulus dan banyak belajar dari pengalaman di bidang pertanian, ia sukses membangun pertanian organik di Pulau Sumba.
Bagiamana dan apa motivasinya sehingga membuka pertanian tanaman organik di Sumba. Ikuti wawancara Wartawan Pos Kupang, Robert Ropo, dengan Rahmat Adinata di Waingapu, Rabu (23/10/2019) malam.
Sejak kapan Anda menerapkan sistem pertanian organik di Sumba Timur?
Saya masuk ke Sumba pada Januari 2012. Saat itu di Sumba Timur, puluhan desa terserang rawan pangan dampak dari badai elnino. Karena itu, saya diutus oleh Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) bekerja sama dengan DKH Jerman dan Gereja Kristen Sumba (GKS).
Pertama datang ke Sumba, saya di tempatkan di Desa Makamenggit, Kecamatan Ngaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur. Di situ saya menerapkan sekolah lapang pertanian organik (SLPO). Para petani diajarkan tanam padi dengan system rice of Intencificasi (SRI) dan juga cara berternak yang baik.
Saya meneliti penyebab rawan pangan, tetapi juga lebih mendalami tentang rawan pengetahuan cara bertani yang baik dan benar oleh petani di Sumba.
Akhirnya keberadaan saya di sini mulai dipandang dan didengar oleh berbagai kalangan masyarakat. Seiring berjalannya waktu mulai berkembang kurang lebih empat tahun. Saya diminta untuk memberikan sekolah lapang pertanian organik bagi para petani di Sumba dan perkembangan pertanian organik mulai pesat karena mulai di dengar banyak orang.
• Ini Komentar Ketua DPD Partai Gerindra NTT Soal Prabowo yang Masuk Kabinet Jokowi-Maruf Amin
Apa motivasi Anda mengembangkan pertanian organik dan bermimpi akan menjadikan Sumba sebagai sentral pembelajaran pertanian organik?
Dulu saya datang, masyarakat di sini masih awam dengan apa itu organik. Saya juga tidak pernah berpikir untuk mengembangkan pertanian organik di Sumba. Tetapi, melihat potensi air, udara, dan tanah yang belum terkontaminasi bahan-bahan kimia, saya mulai berpikir kenapa tidak melakukan pertanian organik.
Bagi saya, Sumba adalah surga untuk pengembangan pertanian organik, karena tidak ada lahan yang diaplikasikan dengan pupuk kimia. Sehingga dampaknya tanah, air, udara masih alami tidak ada polusi. Contoh, di kota besar dilihat awan hitam, namun di Sumba langit masih biru alami.
Kondisi ini memungkinkan Sumba dijadikan sentral di negeri ini sebagai kawasan organik. Karena, di Indonesia secara umum tidak ada tempat untuk belajar pertanian non kimia atau organik seperti yang ada di Sumba. Saya punya ekspetasi lebih tentang pertanian organik, bagimana masyarakat dari luar Sumba bisa datang belajar pertanian organik di Sumba.
Tapi bagaimana cita-cita Anda itu bisa terjawab, karena daerah Sumba Timur sering diasumsi daerah yang kering dan tandus?
Betul secara umum pengakuan masyarakat itu kering, tapi sebetulnya ada titik-titik yang berpotensi untuk diberdayakan. Terutama di Sumba Timur, meskipun kering tetapi memiliki banyak aliran sungai, namun belum dimanfaatkan secara baik dan benar.
Memang Sumba dikenal dengan cuaca iklim yang ekstrim, delapan hingga sembilan bulan kemarau. Tetapi ada titik-titik di daerah aliran sungai yang memiliki potensi untuk dikembangkan pertanian organik. Jadi kalau tersedianya lahan, tidak dimanfaatkan dengan baik, tentu swasambada pangan akan menjadi angan-agan saja.
• Ketua DPRD DKI Ungkap Usia Kehamilan Puput Usai Hadiri Acara Mitoni Sebut Ahok Dapat Bayi Laki-laki
Sebagai guru sekolah lapangan di pertanian Organik, tentu Anda juga memiliki lahan pertanian organik sebagai tanaman percontohan bagi para petani lain?
Saya tidak memiliki sendiri, tapi teknik saya mengajak masyarakat petani untuk bekerja sama dengan hasilnya dibagi rata. Sebelumnya lokasi lahan tanaman organik di Lewa, namun kini sudah di Mauliru dengan luas lahan 3-4 hektar yang diberi nama Rahmat Organik.
Kami memanfaatkan lahan kering itu dengan memanfaatkan aliran sungai. Kami baru tanam sebatas sayur kol, tomat, semangka, bawang merah, pakcoy dan jenis tanaman holtikultura lainya.
Jadi bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi saja, juga mengedukasikan bagaimana masyarakat bisa sedikit demi sedikit orientasinya sayuran bukan hanya untuk kepentingan makan saja, namun juga dipasarkan untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat. Sebab sebagian besar sayuran yang dijual di Waingapu dikirim dari luar Sumba Timur.
Selain itu, para petani mendapatkan ilmu yang saya bimbing. Target saya, bisa memenuhi kebutuhan sayuran organik di Waingapu sebab selain untuk meningkatkan ekonomi petani juga dapat menguntungkan masyarakat konsumen karena barangnya masih sangat segar.
Apakah Anda membentuk kelompok tani dan sudah berapa kelompok tani yang dibimbing?
Saya sudah mendampingi sekolah lapang pertanian organik kepada banyak sekali petani di Sumba yang tergabung dalam kelompok tani, seperti Makamenggit, Kalu, Panda, Kandara, Katikuwai, Yubuwai, para petani di Palanggai dan sejumlah wilayah lainnya di Sumba Timur.
Untuk Sumba Barat Daya, seperti Karuni, Kodi, Waijewa dan daerah lainya bekerja sama dengan sejumlah NGO.
Petani yang saya bimbing sudah banyak yang mandiri, peningkatan ekonominya dari kisaran 20-30 persen. Tapi yang lebih diutamakan adalah bagaimana meningkatkan perubahan sikap yang didahului dengan perubahan mainset petani.
Dampak dari kemajuan pertanian di Sumba dilihat dari peredaran benih pertanian di toko-toko pertanian ternyata makin tahun makin meninggkat.
• Kronologi Ibu Kepala Sekolah Terciduk Berduaan dengan Wakilnya di Kamar Hotel, Sang Suami Mengamuk!
Apa cita-cita Anda bagi Sumba?
Ekspetasi saya, Sumba harus mandiri secara pangan, sebab Sumba berpotensi untuk mengirim prodak pertanian organiknya ke luar daerah. Tinggal masyarakatnya memilih apakah mau menjadi pemain atau penonton.
Sumba dan NTT pada umumnya tidak membutuhkan konseptor, tetapi tenaga aplikator langsung di kebun. Petani tidak membutuhkan teori banyak, tetapi petani lebih butuh praktek langsung seperti sekolah lapang yang saya lakukan. Masyarakat petani bisa menyentuh langsung dengan pertanian, tumbuhan tanaman, petani dapat mengamati hama, dan lain sebagainya.