TRIBUN WIKKI : Mengenal Program Pekka yang Berdayakan Perempuan Sebagai Kepala Keluarga
Upaya ini tentu tidak mudah karena sistem dan nilai-nilai patriarkat tertanam kuat di dalam sanubari adat dan budaya Lamaholot.
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Rosalina Woso
TRIBUN WIKKI : Mengenal Program Pekka yang Berdayakan Perempuan Sebagai Kepala Keluarga
POS-KUPANG.COM|LEWOLEBA--Pada Bulan Januari 2002, Pekka mulai dikembangkan di NTT oleh tiga orang koordinator lapangan yaitu Bernadete Deram Langobelen, Nur Aisya Jamil, dan Ita Hera.
Wilayah sasaran mereka saat itu adalah wilayah Kecamatan Ile Boleng, Kelubagolit dan Larantuka. Mereka berjalan dari desa ke desa untuk mengorganisasikan perempuan sebagai kepala keluarga.
Upaya ini tentu tidak mudah karena sistem dan nilai-nilai patriarkat tertanam kuat di dalam sanubari adat dan budaya Lamaholot.
Oleh karena itu, perempuan tentu tidak bisa ditempatkan sebagai kepala keluarga. Lalu, bagaimana dengan para perempuan yang menyandang status janda dengan berupa sebab, perempuan lajang tapi tetap menjadi tulang punggung keluarga, perempuan yang ditinggal pergi suami di rantau, perempuan yang dimadu, dan mereka yang suaminya sakit menahun sehingga tak bisa bekerja?
Mereka semua inilah yang kemudian pertama kali dihimpun dalam satu wadah yang dinamai Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) dan resmi berdiri pada 2 Februari 2002. Awalnya terbentuk tiga kelompok pertama di Desa Helanglangowuyo.
Ketua Serikat Peka NTT, Petronela Masi Suban mengisahkan, wadah Pekka ini para perempuan dilatih mulai dari hal yang palinh kecil dan sederhana seperti, memimpin doa, memimpin pertemuan, berlatih memegang microphone, menghadiri undangan pemerintahan, belajar membaca, menulis, komputer hingga bisa mengikuti sekolah kejar paket kesetaraan.
"Untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga kami juga terhimpun dalam simpan-pinjam. Kegiatan simpan-pinjam ini tidak dimulai dengan mengumpulkan uang, tapi dengan cara mengumpulkan apa yang kami punya, seperti kelapa, kopra, pisang, dan sapu lidi untuk kami jual bersama, dan hasilnya kami pakai untuk menabung," ujar Petronela, di Center Pekka Keru Baki, Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Sabtu (26/10/2019).
Dalam kisah napak tilas Pekka yang dibacakan pada Festival Budaya Anak, Pekka sebenarnya mulai digagas pada akhir tahun 2000 dari rencana awal Komnas Perempuan yang ingin mendokumentasikan kehidupan janda di wilayah konflik dan keinginan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merespon permintaan janda korban konflik di Aceh supaya mereka mendapatkan akses sumber daya yang bisa mengatasi kesulitan ekonomi dan trauma mereka.
Semua upaya ini diberi nama Widows Project yang sepenuhnya didukung oleh Japan Sosial Development Fund melalui Trust Fund Bank Dunia.
Komnas Perempuan kemudian meminta Nani Zulminarni menjadi koordinator program. Melalui proses diskusi dan refleksi yang panjang serta intensif, Nani mengusulkan kedua program ini diintegrasikan ke dalam satu program pemberdayaan yang lebih komprehensif.
Proyek untuk janda kemudian diubah temanya menjadi lebih ideologis dan provokatif yaitu dengan menempatkan posisi, kedudukan dan tanggungjawab janda sebagai kepala keluarga. Diusulkan pula Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) yang disepakati semua pihak.
Program ini tentu bertolak dari posisi perempuan yang masih diskriminatif di dalam masyarakat tradisional dan tidak diakui sebagai kepala keluarga.
Fasilitator lapangan Pekka Lembata, Bernadete Deram Langobelen, menyebutkan para perempuan yang ada di dalam wadah Pekka Lembata akan menunjukkan apa hasil yang mereka pelajari selama pemberdayaan di Center Pekka Keru Baki Lembata.
"Proses pemberdayaan mulai dari tidak bisa bicara, tidak bisa memegang microphone dan untuk bisa bicara di depan umum itu butuh waktu 17 tahun," ungkap Mama Dete, demikian dia akrab disapa, menjelaskan soal kerja-kerja pemberdayaan perempuan yang dia lakukan.
Menurut dia, proses organisasi yang selama ini dia terapkan di Kabupaten Florea Timur akan berbeda dengan apa yang dia kembangkan di Lembata. Kalau di Flotim prosesnya sangat ekslusif atau dengan kata lain Pekka jadi sumbu utama pemberdayaan. Sebaliknya, di Lembata, peran masyarakat dan anak muda jadi poros utama pemberdayaan.
"Di Flotim saja Pekka bisa lahirkan 3 orang kepala desa perempuan. Jadi saya minta dukungan dari semua pemerintah untuk upaya pemberdayaan ini."
