G 30 S
Kisah Pierre Tendean,Prajurit Rebutan Jenderal,Hidupnya Berakhir di Lubang Buaya Pada Peristiwa G30S
Sosok Kapten Pierre Tendean akan terus dikenang dan menjadi bahasan dalam pelajaran sejarah Indonesia. Kisahnya hidupnya berakhir di lubang buaya
Sahabat satu angkatan Pierre di akademi militer jurusan teknik, Effendi Ritonga mengenang masa-masa plonco saat menjadi calon taruna.
Ada pula para penulis buku biografi resmi Pierre Tendean yang selama dua tahun mengumpulkan arsip-arsip serta dokumentasi tentang Pierre, dan Yanti Nasution (anak sulung Jenderal A.H Nasution) orang terkahir yang bersama Pierre saat malam kelam 30 September 1965.
Kapten Pierre Tendean jadi nama jalan. (Tangkap layar YouTube KOMPASTV)
Perwira Intelijen yang Berakhir Lubang Buaya
Pierre Andreas Tendean atau dikenal sebagai Kapten Tendean merupakan seorang perwira militer yang menjadi korban peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.
Ia dibunuh secara tidak manusiawi dan dimasukkan kedalam sumur bersama keenam perwira tinggi TNI lainnya, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo.
• Kisah di Balik G30S/PKI, Jenderal Ini Selamat dari Target PKI Berkat Soekarno Tapi Akhir Karir Miris
Menyaksikan sejarah kekejaman PKI di Lubang Buaya. (Warta Kota/Adhy Kelana)
Haryono, Mayjen TNI S Parman, Mayjen TNI R Soeprapto, Brigjen TNI Donalad Isaccus Pandjaitan, dan Brigjen TNI Soetojo S.
Rumah Jenderal Nasution yang berlokasi di Jalan Teuku Umar Nomor 40, Gondangdia, Jakarta Pusat, menjadi tempat terakhir Kapten Tendean singgah sebelum terbunuh tragis.
Di museum inilah diorama serta foto-foto Kapten Tendean terbingkai rapi bersama barang-barang peninggalan Jenderal Nasution.
Terlahir dari pasangan L. Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa dan Maria Elizabeth Cornet, wanita Indonesia berdarah Perancis, Pierre Tendean merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.
Sejak kecil, perwira kelahiran Jakarta 21 Februari 1939 ini mulai tertarik untuk menggeluti bidang militer.
Mulai mengenyam sekolah dasar di Magelang, ia melanjutkan sekolahnya SMP dan SMA di Semarang, tempat ayahnya bertugas.
Hingga pada tahun 1958, ia memulai pendidikannya menjadi taruna di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung.
Karier awalnya di bidang militer dimulai dari menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan.
Setahun kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Intelijen Negara di Bogor.
