Opini Pos Kupang
DBD: Perang Berdarah yang Masih Salah Sasaran
Penyakit DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47 tahun terakhir sejak tahun 1968 hingga sekarang.
Mengubur/memusnahkan semua barang bekas di luar rumah yang dapat menampung air hujan seperti kaleng bekas, pecahan botol dan sejenisnya, Memantau seluruh wadah air yang berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk.
Plusnya adalah upaya menghindari gigitan nyamuk seperti jangan menggantung pakaian bekas di belakang lemari, memelihara ikan di tampungan air,
membubuhkan larvasida, memakai obat nyamuk, tidur menggunakan kelambu, dan cara lain sesuai kearifan lokal.
Jangan Salah Sasaran
Kita perlu mengenali sarang nyamuk di sekitar kita terutama di rumah kita. Kebanyakan kita masih salah sasaran.
Jika kita berpikir bahwa Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan dengan cara memotong pohon, bersih-bersih rumput, menata bunga, maka itu keliru karena jentik nyamuk tidak bersarang di rerumputan.
Jangan kita mengira bahwa nyamuk Aedes aegypti senang bersarang di tempat kotor atau tidak terawat. Justru nyamuk ini lebih senang berada di air bersih yang dibiarkan tergenang.
Di tempat inilah nyamuk akan berkembang biak mulai dari jentik nyamuk hingga nyamuk dewasa.
Jika diamati dalam rentang waktu 4 tahun terakhir, NTT tidak selalu menjadi provinsi dengan kasus DBD yang tinggi.
Buktinya pada tahun 2015, Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI mencatat NTT sebagai provinsi dengan Incidence Rate (IR) dan
Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian penyakit DBD terendah di Indonesia, dimana IR-nya 0,68 dan CFR-nya 0,0 % alias tidak terdapat kasus kematian.
Tahun 2016, CFR di NTT naik tipis menjadi 0,2 % namun tetap menjadikan provinsi ini sebagai satu dari tiga provinsi dengan kasus kematian akibat DBD terendah di Indonesia.
Apakah pada tahun 2015 dan 2016 intervensi kita sudah tepat ataukah ada faktor eksternal lain yang berpengaruh terhadap hal itu?
Melihat naik turunnya jumlah kasus dan kematian DBD yang ada, tampaknya kita sudah siap terhadap faktor perubahan iklim (climate change), tetapi belum siap terhadap faktor tingginya mobilitas penduduk di NTT.
Mobilitas penduduk tertinggi biasanya terjadi pada saat pergantian tahun dimana banyak yang bepergian pulang kampung dan bertemu keluarga.