Opini Pos Kupang
Sikap Pers di Tahun Politik, Refleksi Kritis pada Hari Pers Nasional
Pers Indonesia selalu dipandang penting dalam upaya menegakkan demokratisasi. Pers merupakan salah satu kekuatan
Sikap Pers di Tahun Politik, Refleksi Kritis pada Hari Pers Nasional
Oleh Dr. Jonas KGD Gobang, S.Fil, MA
Dosen Ilmu Komunikasi pada Universitas Nusa Nipa Maumere
POS-KUPANG.COM - Di Indonesia setiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional atau HPN. Peringatan HPN tahun 2019 ini terjadi bertepatan dengan "tahun politik".
Tentu saja hal ini mengandung muatan yang cukup strategis jika hendak dikaji posisi atau keberadaan pers di republik ini.
Pers Indonesia selalu dipandang penting dalam upaya menegakkan demokratisasi. Pers merupakan salah satu kekuatan dalam membangun demokrasi.
Faktanya saat ini, demokrasi di Indonesia sedang digerogoti oleh sekurang-kurangnya dua penyakit akut yakni praktik korupsi para pejabat negara dan politik kotor yang dapat menenggelamkan politik progresif.
• Ramalan Zodiak Keberuntungan Hari Ini, Rabu 13 Februari 2019, Taurus Harus Hati-hati
• Drakor Terbaru Lee Jong Suk Romance Is A Bonus Book Mulai Tayang, Anda Wajib Nonton
• Pemilik Restoran Bongkar Kelakuan BTS Saat Masih Trainee RM BTS Ternyata Suka Lakukan Ini Saat Makan
Praktik korupsi di negeri ini seolah tak kunjung reda. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menangkap para pejabat negara yang melakukan tindak pidana
korupsi. KPK bahkan belum menyentuh ke semua penjuru negeri ini.
Betapa praktik korupsi kian merajalela, moral para pejabat negara seolah tergadaikan atau dapat dibeli dengan sejumlah uang haram. Alih-alih uang dari pajak rakyat dan pendapatan negara lainnya digunakan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, malah dipakai untuk kekayaan pribadi, berfoya-foya dengan kroni atau pun kelompoknya sendiri.
Ada kepentingan terselubung sejumlah aktor dalam berbagai instansi dan lembaga politik yang menyandera kepentingan masyarakat.
Akibatnya rakyat terus menderita. Rakyat sepertinya gampang ditipu oleh berbagai manuver yang dilakukan sejumlah oknum baik secara verbal maupun non-verbal (dalam mimik dan gimik) seolah mereka sedang berjuang untuk kepentingan rakyat. Muncul istilah "vulgus vult decipi" yang artinya rakyat kecil suka ditipu.
Terkait politik kotor yang dapat mencederai nilai dan sikap politik progresif seperti perwujudan demokrasi dan segenap nilai kemanusiaan mendapat tantangan yang berat.
Menghadapi kerasnya tekanan politik untuk meraih kekuasaan, orang atau pun aktor politik dapat menghalalkan segala cara. Hoax politik atau pun ancaman dan poltik kebencian untuk tujuan meraih kekuasaan menjadi salah satu contoh di republik ini dalam tahun politik ini.
Kita dapat menyaksikan penjinakan politik progresif dalam bentuk yang cenderung akomodatif demi mempertahankan kekuasaan (baca Arif Susanto, "Tenggelamnya Politik Progresif" Opini Kompas, 30
Januari 2019).
Quo Vadis Pers Indonesia
Berhadapan dengan secuil kenyataan yang terjadi di Indonesia seperti yang
digambarkan di atas, pers Indonesia harus melakukan tindakan yang strategis untuk
membuktikan keberadaannya sebagai pilar demokrasi.
Pers Indonesia perlu berkaca diri dan memantulkan refleksinya di peringatan HPN tahun 2019 ini. Sama seperti Habermas yang percaya bahwa hanya dengan refleksi diri dan komunikasi, orang dapat benar-benar mengontrol nasib mereka dan merestrukturisasi masyarakat secara manusiawi. Pers di Indonesia perlu melakukan interaksi dan komunikasi dengan berbagai pihak agar pers Indonesia mampu membentuk gerakan sosial dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Pers Indonesia melalui kerja jurnalistiknya menjadi saluran demokrasi untuk mengatasi berbagai problem. Sebut saja problem korupsi dan problem politik kotor harus dapat dijawab oleh pers Indonesia. Pers Indonesia tidak boleh lari dari kenyataan ini.
Pers Indonesia harus mampu menunjukkan kenyataan yang sebenarnya kendati produksi jurnalistik merupakan fakta yang dikonstruksikan kembali dalam rapat-rapat redaksional. Pers Indonesia harus berkiblat pada upaya demokratisasi.
Dalam perspektif ini, demokrasi berarti bahwa pemerintah dan legislatif berada di bawah sorotan masyarakat secara terus-menerus melalui kerja nyata pers.
Penyelenggara negara wajib memberikan pertanggungjawaban secara nyata kepada rakyat. Itu berarti tidak sekedar verbalisme belaka dan tidak memadamkan kritik konstruktif dari berbagai lapisan masyarakat teristimewa dari kalangan akademisi.
Pers tidak sekedar menjadi bebas merdeka tetapi juga bertanggungjawab untuk kepentingan rakyat.
Realitas demokrasi sering jauh dari cita-citanya. Hal ini terjadi karena adanya bentuk penjajahan kembali atas ruang publik (re-feodalisasi ruang publik). Rasanya sulit untuk menemukan realitas demokrasi yang nyata dalam ruang publik baru.
Secara konseptual, kita tentu akan menjumpai banyak pemikiran tentang demokrasi. Namun secara nyata, demokrasi cenderung hanya sebagai slogan-slogan hampa yang digelar oleh berbagai partai politik atau politisi oportunis.
Re-feodalisme ruang publik terjadi ketika gelombang kapitalisme merajalela ke berbagai pelosok dunia. Hal ini pun menggerogoti demokrasi yang sesungguhnya diharapkan terjadi. Habermas pun menyadari kondisi ini.
Ia pun mengulas tentang perubahan fungsi politis ruang publik di mana media massa mengambil bagian penting di dalamnya. Habermas mencatat bahwa sejarah surat kabar harian raksasa di paruh kedua abad ke-19 membuktikan bahwa pers sendiri telah berubah menjadi alat manipulasi yang bisa diperjualbelikan.
Komunikasi politik yang dilakukan oleh elit yang berkuasa hanya bertujuan untuk pencitraan semata. Pers boleh jadi dapat "dibeli" oleh para penguasa dan para pemilik modal. Komunikasi politik pada situasi seperti ini dapat dimanipulasi oleh para aktor politik dan media yang sudah dibelinya itu.
Pers untuk Demokrasi
Jakob Oetama berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia dalam proses menjadi atau disebutnya dengan istilah "democracy in the making".
Pers Indonesia mengambil tempat di dalam sistem, terikat oleh pandangan hidup, struktur, dan kebudayaannya, namun sekaligus juga mampu memperlihatkan peranannya dalam mengambil bagian secara aktif dalam perkembangan demokrasi di Indonesia.
Demokrasi di Indonesia sering kali hanya dikaitkan dengan fungsinya memberikan kebebasan dan partisipasi penuh kepada rakyat untuk ikut aktif dalam seluruh proses politik. Demokrasi diidentikkan dengan kebebasan dan hak-hak rakyat termasuk kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran serta kebebasan pers.
Namun sesungguhnya, sebagai suatu sistem politik yang utuh, demokrasi mempunyai tugas lain, yaitu menjamin berlakunya kehidupan yang tertib dan aman dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kemajuan. Demokrasi mempunyai tanggung jawab memantapkan proses nation building pada bangsa kita yang sedang menyelesaikan proses integrasi nasionalnya.
Pers Indonesia yang berperanan dalam sistem democracy in the making terlibat pula dalam tugas-tugas pembangunan bangsa, pembangunan kebudayaan politik, infrastruktur politik serta mensosialisasikan nilai-nilai dasar masyarakat yang disepakati untuk menjadi dasar serta kerangka referensi eksistensi nasional bangsa dan negara serta seluruh tumpah darah Indonesia.
Pers Indonesia harus dapat memainkan peranannya yang berbobot. Pers Indonesia di tahun politik ini harus mampu mengetahui seluk-beluk persoalan-persoalan pokok bangsa dan negaranya.
Selain itu, pers Indonesia juga hendaknya peka terhadap apa yang menjadi tugas pokoknya, yakni memberikan bobot perhatian kepada dinamika, keleluasaan, proses demokratisasi, serta kepada cara dan etika-etika dasar dalam mencapai tujuan nasional.
Partisipasi publik menjadi taruhan untuk demokrasi, manakala sebagian besar penduduk negeri harus mengorbankan harta dan nyawa untuk demokrasi. Demokrasi itu sebuah idea yang tidak mudah untuk dicapai.
Demokrasi, walau tidak tanpa ikatan nilai, tetapi ia merupakan suatu konsep yang utuh dan begitu sulit untuk diinterpretasi, tetapi juga tidak sulit untuk diterapkan ketika ia dijatuhkan sebagai pilihan utama.
Akhirnya pers Indonesia harus dapat menjamin hak berkomunikasi di ruang publik dan hak akan informasi yang benar. Mudah-mudahan tulisan ini ada gunanya di peringtan HPN 2019. Ut quique es, ita morem geras! (Siapapun engkau, peganglah prinsip yang baik) ***