Opini Pos Kupang
Mengenang 9 Tahun Kepergian Sang Guru Bangsa, Gus Dur
Tak tahulah. Yang pasti jujur aku harus bilang, seperti saudaraku semua, kami ini pelan tapi pasti mulai melupakanmu.
Mau bagaimana lagi. Sekarang. Sembilan tahun sudah waktu itu berlalu. Ini waktu yang sebenarnya sudah cukup panjang untuk tidak lagi bersedih. Karena itu baiklah. Sekarang ini aku butuh nasehatmu saja. Sory lho Gus. Ganggu waktu istirahat panjenengan di atas sana.
Begini Gus. Sampeyan tahu kan? Kita ini sebentar lagi mau Pemilu. Pemilu kali ini beda daripada sebelumnya. Bahasa gaulnya Pemilu kali ini campursari. Campur pilih legislatif dan eksekutif sekaligus. Banyaknya pilihan ini tentu bikin kita semua pusing. Termasuk penyelenggara tentunya
Lha bagaimana tidak pusing Gus. Pertama, pemilu ini serentak. Satu orang harus nyoblos di lima surat suara. Pilih satu orang saja selama ini sudah susah. Sekarang harus pilih 5 orang sekaligus ditiap tingkatan wilayah yang beda beda pula. Pasti mumet.
Salah salah bisa pilihannya lain nyoblosnya di lain. Apalagi calegnya audzubillah, banyaknya minta ampun. Mesti dipelototi baik-baik di nomor urut berapa partainya dan di nomor urut berapa jagoannya.
Kedua, ujaran kebencian, isu SARA, hoax, kampanye hitam, narasi pesimis dan lain lain. Sekarang semua ini semakin banyak saja berseliweran gak karuan. Gentayangan kayak gendruwo atau dunia maya tanpa wujud nyata.
Maunya sih orang-orang ini ditangkap semua. Tapi mana bisa. Kalau satu dua orang yang ngaco masih gampang nangkepnya. Tapi kalau ribuan orang begitu ya pasti tidak bisa. Bui mana yang punya cukup daya tampung untuk dijadikan asrama pordeo para kampret itu.
Yang paling parah isu agama Gus. Isu agama ini paling seksi untuk dimainkan. Supaya menang mudah. Dari dulu kalau bicara agama orang pasti jadi sangat sensi. Gampang tersinggung. Gampang pula diajak jadi bolo. Salahnya siapa? Ya kita semua. Agama bagi kita sudah jadi segala-galanya. Hidup selalu disangkutpautkan dengan agama. Mati hidup hanya demi agama.
Coba perhatikan Gus. Sekarang ini salam pembuka pidato saja selalu pakai salam keagamaan. Teman aku pernah pulang sebelum acara dimulai gara-gara si pejabat lupa menyebut salam menurut agamanya. Ada juga teman aku yang pejabat terpaksa mesti siap kertas kecil berisi catatan salam pembuka yang lengkap menurut semua agama.
Persiapan setiap kali sebelum pidato. Takut salah ucap karena dia memang sering salah ucap atau kelupaan. Terutama salam menurut agama Khonghucu yang diucapkan sebagai salam kebajikan. Padahal seharusnya "Wei De Dong Tien".
Tambah rumit kan? Lho, kok mesti ada salam pembuka menurut agama Khonghucu? Iyalah Gus, negara ini kan mengakui ada 6 agama termasuk Khonghucu kan?
Salam pembuka semacam itu menurut aku malah semakin mengingatkan bahwa kita semua memang beda. Kenapa tidak dicarikan saja salam nasional yang gampang dan membuat kita semua ini merasa satu. Indonesia.
Untuk itu aku ingat ada jalan keluarnya Gus. Momennya di Pekan Kerja Nyata Revolusi Mental tanggal 26-28 Oktober 2018 baru-baru ini di Manado. Pesertanya 15.000 orang dari seluruh Indonesia. Waktu itu Mendagri menganjurkan kita pakai salam Pancasila saja sambil angkat lima jari. Bagus lho Gus.
Kalau dipraktikkan kelihatan seperti toast Pancasila. Salam Pancasila ini mengingatkan kita semua walaupun kita beda agama tapi tetap satu. Dipersatukan oleh Pancasila. Dengan salam Pancasila ini menurut Mendagri kita selalu diingatkan bahwa bangsa kita punya way of life yang luar biasa bagus yang tidak dipunyai bangsa lain di manapun di dunia.
Hayati dan lakukan saja semua sila dan butir butirnya, niscaya semua urusan kelar. Bukan hanya urusan dunia saja. Dunia dan akhirat. Karena itu Pancasila perlu selalu diucapkan untuk dihayati pada setiap kesempatan.
Contoh lainnya Gus. Libur hari besar keagamaan. Liburnya lama bukan main. Sementara libur 17 Agustus berapa hari? Sehari doang sesuai tanggalan merah yang ada di kalender. Tidak ada ekstra. Tidak ada fakultatif. Tidak ada cuti bersama. Kita bisa bikin apa dengan libur sehari itu?