Opini Pos Kupang

Mengenang 9 Tahun Kepergian Sang Guru Bangsa, Gus Dur

Tak tahulah. Yang pasti jujur aku harus bilang, seperti saudaraku semua, kami ini pelan tapi pasti mulai melupakanmu.

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menggelar jumpa pers di Kantor PB Nahdlatul Ulama, Jakarta, Rabu (19/11/2009). 

Oleh Theodorus Widodo
Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) NTT

POS-KUPANG.COM - Takzim Gus. Sudah lama sekali aku tidak pernah lagi kirim berita buat panjenengan. Entah sibuk atau sok sibuk atau apa.

Tak tahulah. Yang pasti jujur aku harus bilang, seperti saudaraku semua, kami ini pelan tapi pasti mulai melupakanmu. Lupa pada nasehat bijak tanpa pandang bulu itu. Lupa pada gaya omongmu yang keras, ceplas-ceplos dan nyeleneh.

Lupa pada humor dan gelak tawa mengentengkan segala hal. Lupa pada kemampuanmu melihat sesuatu sebelum terjadi pakai indera keenammu. Lupa juga pada "gitu aja kok repot". Lupa pada ketokohan paradoksalmu.

Artis Ini Berderai Air Mata, Saat Ruben Onzu Membawa Sekotak Hamburger Begini Kisahnya

Intip Cara Move On dari Patah Hati Berdasarkan Zodiak, Gemini Potong Rambut, yuk! Zodiak Lain?

ARMY Wajib Nonton! BTS Run Season 3 Bakal Tayang Hari ini di Channel V, Catat Waktunya!

Pokoknya lupa panjenengan. Kami semua terlalu sibuk urus diri sendiri yang akhirnya sekarang jadinya membuat kami mulai tidak tahu diri.

Tapi jangan sedih ya Gus. Panjenengan tidak usah terlalu kecewa begitu. Paling tidak hari ini masih ada orang seperti aku (dan tentu masih banyak yang lain) yang tetap mengingatmu. Kangen gaya bicaramu.

Kangen pada pembelaanmu kepada siapa saja yang tertindas tanpa reserve. Kangen pada keberpihakanmu kepada kaum terpinggirkan, tidak peduli apapun etnis, golongan atau agamanya. Dan tentu juga kangen pada nasehat-nasehatmu.

Aku masih ingat kejadian sembilan tahun lalu. Tepatnya hari Rabu 30 Desember 2009 sore. Jarum jam menunjukkan angka 06.45. Ketika itu sedang enak-enaknya nonton acara dialog interaktif di televisi yang aku lupa temanya. Acaranya asyik benar. Seru.

Tiba-tiba acara itu terpotong oleh breaking news yang mengagetkan kami semua. Gus Dur Sang Guru bangsa wafat. Duh Gus, kagetnya kami semua waktu itu sulit terbayangkan. Kaget dan sedih atas orbituari itu.

Kami semua tahu, waktu seperti itu memang pasti segera akan tiba karena panjenengan sakit-sakitan terus. Terutama komplikasi stroke, jantung dan ginjal. Tapi tetap saja waktunya terasa terlalu cepat dan mengagetkan. Gusti Allah terlalu cepat memanggilmu pulang saat kami belum siap Gus.

Kami masih sangat membutuhkanmu sebagai benteng terakhir banyak masalah kebangsaan. Benteng terakhir keadilan yang kadang bahkan terkesan panjenengan beyond the law. Panjenengan bapak yang selalu siap bela anaknya tidak peduli salah atau benar. Dan, umumnya orang tidak berani melawan.

Dialog interaktif di televisi pun terhenti cukup lama, diganti liputan langsung dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sedih sekali rasanya menyaksikan panjenengan dibawa dalam keranda diiringi gema bacaan tahlil pertanda keesaan Allah dan pengakuan atas kerasulan Muhammad SAW itu.

Padahal dua jam sebelumnya masih ada tayangan televisi panjenengan ngobrol dengan seorang sahabat di ranjang rumah sakit. Tentang keprihatinan panjenengan atas masalah kebangsaan.

Lorong-lorong RSCM tempat keranda lewat jadi seperti lorong kematian buat kami semua juga. Bukan panjenengan saja. Semua orang yang berdesakan disampingmu seperti malaikat pencabut nyawa yang sekarang sedang melakukan selebrasi menjemput dan membawamu dalam keranda ke tempat yang gelap pekat yang amat menakutkan.

Dada ini terasa terlalu sesak Gus. Peristiwa pilu itu mestinya belum perlu terjadi. Rasanya kami tidak percaya. Kok bisa begitu cepat sampeyan dipanggil pulang.
Tapi apa boleh buat. Gusti Allah menetapkan waktumu sudah cukup. Sampai di sini saja ziarah hidupmu di bumi yang fana ini.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved