Berita NTT Terkini
Kisah Riski yang Selamat dari Dekapan Laut Sumbawa
Siang itu, Jumat (7/12/2018), kediaman Riski di Desa Baumata, Dusun 4, RT 10/RW 05, terlihat ramai.
Penulis: Lamawuran | Editor: Kanis Jehola
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ambuga Lamawuran
POS-KUPANG.COM | KUPANG - Siang itu, Jumat (7/12/2018), kediaman Riski di Desa Baumata, Dusun 4, RT 10/RW 05, terlihat ramai.
Riski Naibahas alias Naum Naibahas (20), duduk diapiti puluhan keluarga. Dia mengenakan baju berwarna biru pudar bertuliskan 'TNI AL' pada bagian depan dadanya, dengan leher dikalungi sebuah kontas berwarna keemas-emasan. Celananya hitam, bertuliskan Adidas pada saku sebelah kanan dan kiri.
Semua orang yang duduk menemani Riski pada Jumat siang itu, mengatakan bahwa momen ini adalah satu mujizat yang diberikan Tuhan.
• Meski Elektabilitas Masih Jauh Tertinggal, Sandiaga Uno Bilang Masih Perlu Disyukuri
Bagaimana tidak. Untuk berkumpul bersama keluarga seperti ini, Riski telah berjuang sendirian di tengah ganasnya laut di Selat Alas Sumbawa selama enam hari, di antara hantaman gelombang siang malam, cakaran burung, gigitan ikan, hujan badai, dan langit hitam waktu malam yang menebarkan rasa takut akan kematian.
Sebagaimana diketahui, Riski adalah korban hidup dari tragedi tenggelamnya Kapal Motor (KM) Multi Prima 1 pada Kamis (22/11/2018) di Selat Alas Sumbawa.
• Babinsa Desa Tedakisa Bersama Warga Lakukan Penghijauan di Kawasan Hutan Lindung
Pria usia 20 tahun ini, sewakti berada sendirian di lautan, tidak begitu yakin bahwa laut akan merenggut nyawanya. Dia berdoa kepada Tuhan agar menolongnya, dalam tragedi dua hari usai perayaan hari ulang tahunnya.
"Saya merayakan hari ulang tahun saya pada 20 November, tepat sewaktu kapal bertolak dari Surabaya," katanya kepada POS-KUPANG.COM, Jumat (7/12/2018).
Jelang hari bahagianya itu, ujar Riksi, dia sempat menelepon ibundanya, Dorsina Naibahas Banao (56). Riski ingin sekali berbicara lebih lama, namun niat itu harus pupus lantaran ibunya sedang mengadapi satu acara keluarga di Desa Baumata.
"Waktu itu saya pesan, jangan lupa berdoa di hari lahirmu," Ujar Dorsina, Jumat (7/12).
Sebagaimana cerita Riski, KM Multi Prima 1 pun bertolak tepat di hari lahirnya, disambut gelombang dan badai. Dua hari arungi lautan, Kamis (22/11), kapal milik Perusahaan pelayaran nasional, PT Sunindo Transnusa Sejahtera, itu tenggelam di Perairan Sumbawa.
Dia mengisahkan, momen-momen genting itu terjadi sewaktu dirinya masih berada di kamar mesin membersihkan oli.
"Setelah mendapat perintah dari Perwira Rohman untuk membawakan jurnal mesin, saya ke atas dan menyelamatkan barang-barang. Namun saya hanya bisa selamatkan Alkitab dan dompet saya," katanya.
Dia melilitkan Alkitab itu pada perutnya, mengenakan pelampung, lalu bersama ke-empat belas orang lainnya, mereka melompat ke arah kiri lantaran kapal akan tenggelam ke arah kanan.
Tak lama berselang, hanya sekitar semenit sebagimana penuturan Riski, kapal itu tenggelam seluruhnya. Bangkai kapal itu menarik air laut ke dalam, lalu tak lama berselang, air laut itu muncul kembali dengan satu kekuatan besar, menghempas dan memisahkan mereka.
"Saya sempat melihat sewaktu kapal penyelamat datang menyelamatkan beberapa orang. Tapi posisi saya terlalu jauh. Saya berenang mendekat, tapi ombak memukul saya kembali," kata Riksi mengingat.
Enam hari sendirian di laut, tentu menyimpan banyak luka dan trauma. Pria 20 tahun ini tak pernah berhenti berenang ke sana ke mari, mencari pertolongan, berjumpa dengan para nelayan yang tak ingin menolongnya, dan sempat mendapat luka akibat gigitan ikan-ikan kecil.
"Kalau malam dan hujan, itu gelap sekali. Kalau ada petir, baru saya bisa lihat sekeliling. Tapi hanya laut," katanya.
Pada waktu-waktu tertentu, pria ini tentu mengingat orang-orang terkasih, baik ibu ayahnya maupun keluarga lainnya.
"Pada hari ke-empat, saya ingat keluarga saya. Berita ini pasti mereka sudah dengar, dan mereka pasti mencari saya," kisahnya.
"Selama enam hari, saya tidak makan tidak minum. Pada hari ke empat, saya sangat haus. Saya ingin minum darah burung," imbuhnya.
Burung itu sempat ditangkapnya. Namun niat meminum darah burung itu hilang usai dirinya dicakar burung tersebut.
Dalam pantauan POS-KUPANG.COM, cakaran burung itu masih membekas di pergelangan tangan kirinya. Pada bagian tangan dan kaki, terdapat bintik-bintik akibat gigitan ikan-ikan kecil. Kulitnya pun terkelupas.
"Ini karena saya jemur tiap hari," ujarnya menunjuk kulitnya.
Nasib malang ini rupanya tak sekedar sampai di situ. Adalah para nelayan yang sempat lewat dan bertemu dengannya, tak mau juga membantunya. Sebanyak delapan kali ia melihat kapal nelayan, dan cuma tiga kapal yang berhasil berpapasan dengannya.
"Ada kapal yang terlalu jauh, saya berenang tapi ditendang kembali gelombang. Ada tiga kapal yang bertemu dengan saya, tapi mereka tidak menolong saya," katanya.
Sampai kemudian dia ditemukan oleh orang-orang dengan sebuah Speed berbendera Spanyol, kondisinya sudah sangat lemah.
"Saya mengangkat tangan tapi jatuh lagi karena terlalu lemah. Mereka sudah lewat. Tapi rupanya memutar haluan untuk mengambil saya," ujarnya.
Yeremias Adu Amalo Hera, pihak keluarga korban, sewaktu dijumpai POS-KUPANG.COM dalam kesempatan yang sama, mengaku kecewa dengan pihak perusahaan kapal dan lambannya pencarian yang dilakukan tim SAR.
"Kalau waktu itu mereka cari pakai helikopter, para korban pasti sudah ditemui. Tapi mereka cari pakai kapal," katanya.
Dia menjelaskan, mencari korban menggunakan helikopter lebih mudah dan cepat dibanding kapal laut atau speed.
"Karena kan tinggal tentukan radiusnya. Pasti cepat ditemukan," katanya.
Pihak keluarga juga meminta pertanggungjawaban dari perusahaan kapal.
Sem CH. Niabahas, seorang lagi kerabat korban, menginginkan pihak perusahaan minimal bertemu dengan korban, untuk membahas kelanjutan nasib Riski.
"Karena selama ini dia kerja di perusahaan itu. Kita minta pertanggungjawaban mereka, minimal bertemu dengan Riski," harapnya. (*)