Opini Pos Kupang
Ethos Polri dan Keadilan Berimbang
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan berasal dari kata adil yang berarti sikap tidak memihak, penjagaan hak-hak
Manusia `wajib berlembut hati dengan sesama sebagai sahabat, harus berbuat baik dengan sesama sebagai saudara'.
Selanjutnya, keadilan berimbang ini, secara lebih nyata tampak dalam tuturan adat pada proses peradilan adat babho itu sendiri yang berbunyi, "mali kau are sengata kau are masa-masa sai dhu kau mata, mali kau wale semori wale moli-moli sai dhriu olo".
(`Jikalau engkau menghukum orang yang melakukan kesalahan, hukum juga semua yang melakukan kesalahan yang sama dengan hukuman yang sama pula, sampai engkau memejamkan mata meninggal. Apabila mengganti rugi atau membayar denda, bayarlah atau gantilah sesuai dengan yang ditetapkan sebelumnya').
Ungkapan ini mengandung pesan bahwa di hadapan hukum adat semua orang sama. Setiap pelanggaran diberi sanksi sesuai besarnya kesalahan.
Ethos Polri, Keadilan Berimbang
Ethos (Yunani) secara sederhana dimaknai sebagai semangat dan sikap hidup baik dari seorang manusia biasa (anthropos) yang berjuang menjadi manusia hebat (kalosgathos). Nah bagaimana semangat dan sikap hidup yang baik, benar, indah, dan harmoni yang mungkin dapat dilakukan atau diwujudkan di balik visi kedilan berimbang itu?
Kiranya ethos Polri sungguh "jaga waka" (Arab: marwah) dengan bertumbuh kembang dan berbuah hasil menjadi alat negara yang menjamin ketertiban dan soliditas hidup bermasyarakat yang dewasa ini menghangat dengan masa kampanye pemilihan Preiden dan Wakil Presiden.
Kiranya ethos kerjanya seperti "jara ngai" yang direpresentasikan pada ikon dan patung Kuda (Watu, 2018). Polri adalah "kendaraan negara" yang menjamin "kantibmas" untuk seluruh elemen komunitas politik dan komunitas SARA di tanah air.
Anda adalah "jara ngai" untuk keharmonisan hidup di rumah Indonesia Raya.
Proficiat Polri yang gesit membongkar kasus RS di ibu kota negara.
Kiranya visi keadilan berimbang menyertai langkah-langkah penyelesaiannya. Sehingga semua oknum yang terlibat dalam konpirasi licik bisa ditelisik dan pada akhirnya dapat diadili dengan asas hukum yan berimbang.
Tugas yang berat ke depan adalah mengendalikan ketertiban sosial politik akibat dari ulah karakter ultrafanatisme dari para tim sukses yang menabrak rambu-rambu etika politik dan etika sosial di berbagai tempat dan media. Mari kita tegakkan kedaulatan hukum yang berimbang, dengan menghidupkan secara tuntas dan berkualitas Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Kita responsif terhadap pergerakan kemerdekaan sejak tahun 1900 sampai 1928 yang berhasil merumuskan proses penyadaran identitas keindonesiaan sebagai suatu bangsa yang sepantasnya berdaulat. Kesadaran bersama sebagai makhluk terjajah itulah yang memicu energi untuk berjuang melawan berbagai bentuk penjajahan di muka bumi.
Kesadaran ini mau tidak mau menggugah perasaan nasionalisme, yang kemudian secara representatif menyatakan identitas kebangsaan, yang secara meriah diucapkan pada peristiwa Sumpah Pemuda. "Kami berbangsa satu, bangsa Indonesia; Kami berbahasa satu, bahasa Indonesia; dan kami bertanah air satu, yaitu tanah air Indonesia."
Jangan sia-siakan Sumpah Pemuda. Kita harus melenyapkan berbagai bentuk penjajahan (kebohongan) di negeri ini dan segera memadamkan usaha-usaha sekecil apa pun oleh virus fundametalisme dan radikalisme yang melukai dan melenyapkan eksistensi NKRI dengan visi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Tentu dalam wujud keadlan sosial dan keadilan hukum berimbang bagi semua warga negara. *
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/dewi-hukum_20171124_185032.jpg)