Opini Pos Kupang
Moratorium Tambang di NTT
Beberapa saat setelah dilantik, Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat langsung menghentakkan publik NTT dengan beberapa terobosannya.
Ada satu hal yang perlu dikritisi berkaitan dengan kehadiran pertambangan di NTT. Ada tahap yang acapkali dilangkahi pemerintah daerah yakni kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Soal tambang, seringkali antara pemerintah dan rakyat seperti kucing dan tikus.
Pemda tidak melakukan sosialisasi rencana tambang dengan baik. Lagi-lagi masalah sosialisasi. Mengapa tahap yang penting ini tidak ditempuh secara baik? Sosialisasi dari kata socius (Latin) artinya teman, society (Inggris) masyarakat.
Sosialisasi berarti menjadikan sesuatu itu teman, dekat, akrab, memasyarakat. Ini penting agar keberadaan sesuatu tidak mencurigakan dan menimbulkan prasangka apalagi sesuatu itu adalah hal yang menyangkut hayat hidup orang banyak.
Sosialisasi tambang mesti memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai rencana pertambangan itu. Sederhananya metode 5W1H (apa yang mau ditambang, untuk apa, oleh siapa, kapan ditambang dan sampai kapan, mengapa ditambang di situ, di lokasi mana ada bahan tambang dan bagaimana proses pertambangan itu).
Kalau ada niat baik dari Pemda, maka tugas sosialisasi ini tidak berat. Rakyat kecil tidak butuh penjelasan ilmiah dan pemetaan grafis berteknik tinggi. Mereka butuh penjelasan sederhana. Warga sangat peka terhadap apa yang disebut xenophobia (ketakutan terhadap hal-hal asing).
Mereka tentu merasa asing terhadap orang asing yang sudah ada di lokasi pertambangan, menolak sesuatu yang datang dari luar yang tidak diketahui namun sudah mulai bekerja diam-diam di tanah milik mereka.
Masyarakat berhak untuk tahu segala hal berkaitan dengan pertambangan itu. Karena pertambangan itu ada di wilayah mereka dan tujuan pertambangan itu untuk kesejahteraan mereka. Hak warga inilah yang tidak dipenuhi pengelola tambang dalam hal ini dinas pertambangan maupun investor terkait.
Yang jusru aneh, memorandum of understanding (MoU) ditandatangani sebelum sosialisasi dan semua tetek bengek menyangkut pertambangan menjadi jelas atau IUP sudah ada tetapi warga malah tidak tahu sama sekali. Akibatnya, lahir protes setelah MoU ditandatangani/IUP diterbitkan.
Kultur Uang
Getolnya pemerintah daerah memberikan izin kepada investor untuk melakukan aktivitas pertambangan dengan slogan "tambang untuk kesejahteraan" adalah bagian dari hasrat untuk menguasai uang. Hasrat itu pula yang mendorong investor mati-matian melobi pemerintah daerah soal tambang.
Pola dan perilaku yang sangat mendewakan uang seperti di atas, dalam bahasa H. Marcuse masuk dalam kategori masyarakat yang berdimensi satu (one dimensional society). Masyarakat berdimensi satu membentuk manusia yang pasif, puas dan tidak kritis. Satu-satunya minat yang dikembangkan dengan gencar adalah minat untuk memuaskan keinginan. Dan itu terwujud dalam ambisi akan uang (pecuniary culture).
John Dewey menulis, "Kita sedang hidup dalam kultur uang. Kultur dan ritusnya menentukan pertumbuhan dan keruntuhan suatu lembaga dan ia menguasai nasib setiap individu." Persaingan dalam kultur uang ini tak kalah kejamnya dari persaingan dalam "hutan" yang dibayangkan Darwin (survival of the fittest). Uang menjadi dewa yang mahakuasa: segalanya bisa dibeli, harta maupun manusia.
Karena uang kesetiaan dapat diubah menjadi khianat, cinta dapat menjadi benci, benci dapat menjadi cinta; budak dijadikan tuan, tuan menjadi budak; kebodohan menjadi kepandaian, kepandaian menjadi kebodohan. Uang menjadikan manusia materialistis dan individualistis.
Moratorium tambang, dengan demikian masuk dalam tataran etis. IUP-IUP yang ada harus dievaluasi. Mana tambang yang benar-benar memberikan dampak positif bagi komunitas masyarakat lokal setempat. Mana pula tambang yang justru destruktif, baik terhadap manusia maupun lingkungan.
Moratorium itu tidak sekadar mengevaluasi tetapi mesti memutuskan mana tambang yang perlu dilanjutkan dan mana yang harus ditutup atau dicabut izinnya.
Pertambangan itu baik sejauh dikelola secara bertanggung jawab untuk kepentingan masyarakat dalam bingkai etika dan moral. Berbagai kegiatan tambang yang merugikan masyarakat, yang melahirkan subordinasi, yang menimbulkan penyakit, yang menyengsarakan warganya harus ditolak. Moratorium, saatnya NTT bersih-bersih tambang. *