Catatan Sepakbola

Magis Bola yang Membenci Kepongahan

Kendati secara individu keterampilan kaki Hazard dan Mbappe setimbangan beratnya, namun tetap ada faktor pembeda di antara

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.COM
Pemain Perancis, Kylian Mbappe 

Seusai terdengar bunyi peluit sang pengadil pertanda laga telah berakhir, beberapa pemain Inggris terduduk lemas di rerumputan. Ada yang terbaring lunglai dengan wajah menelungkup ke rerumputan. Yang terduduk tak kuasa lagi mengangkat kepala. Wajah mereka menunduk dalam-dalam, seperti sedang menyesali kegagalan mereka. Kegagalan untuk terbang mengarungi masa, demi merasakan kejayaan Inggris di tahun 1966 saat jadi kampiun dunia.

Kontras dengan rasa getir dan kepahitan Inggris, suasana penuh sukacita kental terlihat diantara pemain dan ofisial Kroasia. Mereka lari bergerombol masuk ke lapangan, berloncatan kegirangan, untuk kemudian saling berpelukan gembira.

Sejarah sudah ditulis, dan tetap akan tertulis. Inilah untuk pertama kalinya negara pecahan eks-Yugoslavia itu berhasil menjadi finalis Piala Dunia, bertengger dengan Prancis, negeri yang telah kenyang dengan pengalaman bola.

Sangat mungkin, permainan Kroasia yang spartan di babak kedua hingga babak perpanjangan waktu, dipengaruhi oleh faktor non-teknis yakni sentuhan psikologis dari Presiden Kroasia Kolinda Grabar-Kitarovic.

Sang presiden berparas cantik ini, dengan mengenakan kostum kotak-kotak merah-putih kebanggaan tim Kroasia, masuk ke ruang ganti pemain, lalu memeluk satu-persatu ksatria bola Kroasia.

Pelukan hangat keibuan itu dilakukan sang presiden pertama kali kepada pelatih Dalic, dan selanjutnya kepada semua pemain. Pelukan inilah yang mungkin secara psikologis menaikkan adrenalin perjuangan.

Jangan salah menduga, semangat spartan pemain Kroasia bukan karena faktor pelukan sang perempuan cantik. Tetapi, lebih karena pelukan sang presiden, yang memang cantik itu, demi mengalirkan patriotisme ke dalam sanubari para pemain Kroasia.

Demikianlah adanya, dan tidaklah mungkin terhindarkan, bahwa setiap kompetisi harus melahirkan yang menang dan yang kalah. Pihak yang menang mesti memberi respek pada yang kalah, karena tanpa yang kalah tidak bakal ada pemenang.

Sebaliknya, pihak yang kalah mesti pula mengakui kemenangan pihak lain, sebab dengan ada yang menang maka yang kalah dapat berinterospeksi dan menata diri.

Di balik labirin kemenangan dan kekalahan itu, sejatinya nasib baik (keberuntungan) dan nasib buruk (kemalangan) bergerak dalam siklus permanen, seperti bumi yang berputar pada porosnya. Tak terhindarkan, demikian semestinya yang berlaku.

Jadi, bagi yang menang tak perlu pongah, bagi yang kalah tak perlu minder. Menang dan kalah adalah siklus permanen. Keberuntungan dan kemalangan pasti selalu berganti. Yang jelas, magis bola yang hidup oleh karena sportivitas serta nilai-nilai agung lainnya seperti perdamaian, persaudaraan, dan kemanusiaan itu, sangat membenci kepongahan.

Magis bola yang memuliakan sportivitas dan kemanusiaan itu, sejatinya tidak berkohesi dengan sikap pongah, watak sombong, dan gaya congkak pada semua pemangku kepentingan (stakeholders) bola. Sebab, dari ruang sportivitas dan kemanusiaan inilah suatu prestasi bola dapat dilahirkan.

Tampilnya Prancis dan Kroasia di babak final mengonfirmasikan satu hal kepada dunia, bahwa Piala Dunia 2018 kali ini sungguh beraura Eropa. Yang satu, negara yang pernah merengkuh juara dunia, yang satu lagi negara yang akan berjuang merengkuh juara dunia.

Yang satu dari belahan barat Eropa, yang satu lagi dari belahan timur. Yang satu, memiliki presiden muda dan ganteng (Imanuel Macron), yang satu lagi memiliki presiden yang muda dan cantik (Kolinda Grabar-Kitarovic). Yang satu, tim yang bernuansa heterogen, yang satunya lagi homogen. Semua perpaduan tersebut adalah padanan yang indah untuk disyukuri.

Mari kita jemput magis bola yang bakal mempersembahkan sukacita dan kesedihan mondial, pada "Hari H" 15 Juli 2018. Prancis atau Kroasia sama-sama bisa merengkuh Piala Dunia di partai final nanti. Prancis dan Kroasia pun sama-sama bisa kalah.

Kita mesti memastikan bahwa kehormatan harus tetap menjadi milik Prancis dan Kroasia, juga menjadi milik kita. Bagi sang pemenang, selamat bersukacita!

Bagi sang kompetitor yang belum menang, selamat berbenah! Pihak yang mampu menjaga kehormatan oleh karena sportivitas dan kemanusiaan, itulah sesungguhnya sang pemenang sejati. Jadi, untuk apa bersikap pongah? *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved