Catatan Sepakbola
Magis Bola yang Membenci Kepongahan
Kendati secara individu keterampilan kaki Hazard dan Mbappe setimbangan beratnya, namun tetap ada faktor pembeda di antara
Ulasan Bola Viktus Murin
Jurnalis Pos Kupang 1992-1995
POS-KUPANG.COM -- Sama indahnya, gocekan individu Eden Hazzard dan Kylian Mbappe, dalam laga riskan babak perdana Semi-Final Piala Dunia Rusia, Rabu (11/7/2018).
Untuk gocekan tim, Prancis lebih indah sedikit dibanding Belgia. Puluhan ribu pasang mata di Krestovsky Stadium dan miliaran penonton di depan layar kaca telah beroleh anugerah tontonan berkelas nan menghibur.
Kendati secara individu keterampilan kaki Hazard dan Mbappe setimbangan beratnya, namun tetap ada faktor pembeda di antara mereka. Hazard lebih matang dalam ziarah pengalaman bola, ketimbang Mbappe yang masih hijau di lapangan hijau.
Tampil cengengesan di penghujung laga dengan aksi tak terpuji, membuat Mbappe tidak pantas disejajarkan dengan nama besar Hazard. Mungkin saja Mbappe tak sanggup menahan ledakan euforia dari dalam dirinya, saat membayangkan bahwa dia bakal merasakan atmosfir babak final Piala Dunia.
Keindahan dan harmoni laga Prancis versus Belgia yang enak dicerna oleh mata, telinga, dan hati, tiba-tiba seperti diinterupsi oleh Mbappe dengan gerakan setengah dungu bertendensi makan puji. Mengulur-ulur waktu dengan membuang bola mati secara tidak perlu, Mbappe seperti meminta sendiri kartu kuning kepada sang pengadil.
Mendapat hukuman kartu kuning adalah hal lumrah dalam suatu laga ketat, tapi sengaja mencari-cari hal dan dihadiahi kartu kuning, itu tentu hal bodoh. Lagak bocah Mbappe berlangsung hanya sesaat, tapi menyisakan ingatan panjang pada warga bumi perihal mentalitas pemain yang masih mentah dan rapuh.
Demikianlah, kedunguan Mbappe membuat dia terlihat seperti manusia berfisik dewasa yang membopong jiwa remaja tanggung dalam tubuhnya. Sangat kontras dengan Hazard yang bertubuh mungil, tapi nampak perkasa seperti kaum ksatria dalam hikayat dan legenda perjuangan.
Terlepas dari kegagalan Hazard dan koleganya menghantar Belgia mengukir sejarah perdananya di babak Final Piala Dunia 2018, adalah hal yang pantas apabila FIFA mempertimbangkan nama Hazard sebagai kandidat penerima Ballon de'Or tahun 2018.
Apabila harus dikomparasikan dengan suasana tahun politik di nusantara ini, lagak dungu Mbappe ibarat oknum-oknum politikus karbitan yang minim pengalaman sejarah dunia pergerakan politik, tapi berlagak pongah dan angkuh bak raja-raja lalim yang menggenggam sejumput kekuasaan.
Tingkah pola oknum-oknum politikus karbitan lazimnya ditandai oleh kesewenang-wenangan yang menabrak rasionalitas, sekaligus menjauh secara ekstrem dari kepatutan nilai-nilai kemanusiaan.
Politikus-politikus katrolan lazimnya cenderung menghalalkan segala cara, sepanjang cara itu memberikan keuntungan politik berganda. Yang mau dan atau dapat menjadi sekutu, dirangkul. Yang dianggap musuh, lumrah untuk disingkirkan! Bukankah dalam dunia politik praktis yang tidak berbasis pada "politik nilai"(nilai-nilai yang koheren dengan harkat dan martabat kemanusiaan), yang abadi hanyalah kepentingan?
Bukankah tidak ada permusuhan atau perkawanan abadi dalam lakon politik jenis ini? Meminjam ungkapan Dalai Lama, sang spiritualis Budha dari Tibet, bahwa "Sesungguhnya politik itu adalah bidang yang sama baiknya dengan bidang-bidang kehidupan yang lain, seperti agama, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Tetapi, politik menjadi kotor apabila dijalankan oleh orang-orang yang berhati busuk".
Ahh, sudahlah....mari melirik dan merasakan lagi magis bola di bumi Rusia. Magis bola, pengisi ruang batin yang sumpek oleh kejumudan realita zaman. Magis bola, yang bergerak dan membekas seperti jiwa kaum penyair yang terus gelisah kala memandang wajah ketidakadilan.
Magis bola, yang dayanya berpencar-pencar riang dari Rusia dan menjadi aliran kecil dari sungai sukacita dan damai sejahtera, untuk dirasakan oleh seluruh penikmat bola sepenghuni bumi.
***
Laga perdana babak semi-final yang menghadapkan Prancis dan Belgia mengundang ragam pendapat dari banyak analis bola. Merata dan sama-seimbangnya skill pemain di kedua kubu, membuat para analis bola kesulitan memproyeksikan kemenangan berada di pihak mana.
Alhasil, simpul pendapat yang moderat pun muncul demi menjembatani polemik, paling tidak begini bunyinya: "Tim mana yang membuat kesalahan paling kecil, itulah yang akan menang".
Nah, pada laga Rabu dinihari (11/7/2018), Prancis adalah tim pembuat kesalahan paling kecil, yakni lagak `bodoh' Mbappe yang `meminta' hadiah kartu kuning. Di luar aksi dungu Mbappe, Prancis secara tim adalah tim paling efektif dan taktikal dalam menyusun, mengalirkan, dan menuntaskan serangan. Hanya ketidaktenangan mengeksekusi bola ke mulut gawang, yang membuat trisula maut
Mbappe-Griezmann-Giroud tak kuasa menceplos gawang Thibaut Cortuiz.
Beruntung benar Umtiti, si pengawal paling ngotot di area pertahanan Prancis. Saat berbaris di hadapan gawang Belgia bersama sejumlah tandemnya, Dewi Fortuna --sang dewi keberuntungan--, terbang perlahan dan bergelayut manja di atas kepalanya. Bola yang telanjang ---untuk meminjam judul buku analis bola, Dion DB Putra--itu pun mencumbu cepat dewi keberuntungan, memeluk erat sang dewi, sembari melayang dan jatuh bersama di dalam gawang Cortuiz. Hasilnya konkrit, gol tunggal pun lahir sudah.
Menyambut gol dari hubungan sekejap dengan sang dewi keberuntungan, spontan Umtiti menari-nari kecil dan menggoyang-goyangkan pinggulnya sembari tertawa kecil. Para patriot dari negeri Napoleon Bonaparte berlari berebutan menghampiri Umtiti, sang kekasih dari dewi keberuntungan dalam laga itu, demi berbagi ucapan selamat dan rasa bahagia.
Di ruang waktu yang lain, kendati masih di tempat yang sama, kemuraman dan aliran duka mulai menghinggapi Belgia. Mereka sepertinya sadar bahwa dewi keberuntungan telah terbang menjauh menghindari mereka. Tidak seperti saat menghadapi Jepang, dimana dewi keberuntungan begitu mesra menemani mereka hingga ke ujung laga.
Ya, Prancis memang bukan Jepang. Dewi keberuntungan telah datang mencumbui Belgia saat meladeni Jepang, dan kini tak mau datang lagi. Di final nanti, akankah Prancis mengalami hal serupa Belgia? Entahlah.
Menyimak penampilan Hazard dan para kolega, banyak analis bola beropini bahwa Belgia mengalami anti-klimaks. Sangat mungkin mereka telah merasa menjadi juara dunia setelah sukses membekap Brasil di babak perempat final. Ada gejala `sindrom megalomania' di sini; belum apa-apa sudah merasa besar. Belum masuk final, tapi sudah merasa jadi juara.
Sangat mungkin, sengatan sindrom megalomania inilah yang membuat generasi emas Belgia yang fenomenal itu, tidak mampu bermain lepas meladeni Prancis.
Belum lagi, oleh banyak analis bola pula, Prancis dianggap bermain negatif dengan lebih dominan bertahan, sembari menanti kesempatan serangan balik. Taktik sepakbola negatif ini memang mengurangi eksplosivitas pertarungan, tetapi terbukti efektik untuk membungkus kemenangan.
Gaya permainan Prancis ini kontras saat mereka menghajar Argentina di babak penyisihan grup. Jagad medsos pun ramai oleh omelan sinis penyokong Belgia. Mereka menganggap Prancis bermain dengan `gaya penakut'. Takut diserang Belgia secara bertubi-tubi. Lebih takut lagi tidak lolos ke Final Piala Dunia 2018. Mungkin begitu makna dari gaya penakut itu.
***
Di lorong waktu yang lain, juga di tempat yang berbeda, Kamis dinihari (12/7/2018), dua tim dari belahan Eropa barat dan timur saling bersemuka untuk berseteru.
Inggris yang tampil dengan kostum kebesaran putih-putih terlihat begitu santun, menghadapi Kroasia yang tampak angker dengan tampilan kostum hitam-hitam. Suasana Luzhniki Stadium nampak meriah dengan histeria pendukung kedua negara. Warna-warni kostum pendukung menambah ceria stadion. Kostum kotak-kotak merah-putih khas Kroasia terlihat mendominasi atmosfir stadion.
Memasuki menit ke-5, Inggris mengejutkan Kroasia melalui tendangan bola mati oleh Trippiere dari jarak 20 meter dekat kotak pinalti yang dijaga Danijel Subasic. Selepas gol itu, Inggris tidak menaikkan tempo permainannya.
Sebaliknya mereka cenderung bermain nyaman. Makin lama, makin lamban. Terlihat jelas Inggris bertanding dengan cara yang aneh, untuk tidak mengatakan terlalu santun dan sopan.
The Three Lions kehilangan resonansi dan harmoni tim. Yang nampak kental justru ego individu. Mungkinkah masing-masing dari mereka hendak menulis rekor untuk dirinya sendiri? Bisa jadi begitu.
Tendangan para striker Inggris acapkali meleset jauh di luar gawang. Memang benar ada satu atau dua gempuran Inggris yang relatif membahayakan pertahanan Kroasia, tetapi kematangan seorang Subasic membuat benteng Kroasia menjadi lebih kokoh.
Trio algojo Harry Kane-Delle Ali-Raheem Sterling tampak seperti macan ompong. Berselang beberapa menit memasuki babak kedua, Sterling bahkan tergoda untuk `latihan' diving di kotak pinalti lawan.
Lagak tipuan yang sering dibuatnya di Liverpool itu, mirip benar dengan hobi Neymar yang sudah lebih dulu terusir dari Rusia. Sterling masih beruntung karena tidak dihadiahi hukuman kartu kuning. Membaca situasi timnya yang kian rawan, Gareth Southgate bereaksi cepat. Dia menarik keluar Sterling untuk digantikan Markus Rashford.
Tepat memasuki menit 68, gelandang Kroasia, Ivan Perisic mengejutkan back Inggris, si kribo Walker. Tendangan stylish kaki kiri Perisic dari arah samping punggung Walker membuat Inggris terbengong-bengong, sadar bahwa bola telah menggetarkan jala gawang Jordan Pickford.
Gol indah Perisic adalah gol penyama kedudukan (1-1). Hasil seri ini bertahan hingga akhir laga di babak normal. Tak terelakan, laga harus dilanjutkan dengan perpanjangan waktu 2x15 menit. Keadaan tetap tidak berubah sampai memasuki fase setengah main dari babak tambahan.
Memasuki fase penutup babak perpanjangan waktu, tepatnya di menit 109, Mario Madzukic muncul seperti hantu diantara tembok pertahanan Inggris.
Miskomunikasi diantara pemain belakang Inggris, membuat Mandzukic begitu mudah menjemput bola liar. Tendangan keras kaki kirinya yang menghujam jala gawang Pickford membuat Kroasia berbalik unggul 2-1.
Mandzukic menulis sejarah penting bagi Kroasia, termasuk bagi dirinya sendiri. Gol itulah yang memastikan Kroasia untuk pertama kalinya menembus partai final Piala Dunia.
Di pinggir lapangan, Zlatko Dalic, sang pelatih Kroasia, tampak riang tetapi matanya tetap awas. Beberapa menit setelah gol Mandzukic, Dalic menarik keluar beberapa pemain pilar diantaranya Mandzukic yang cedera, dan gelandang Luca Modric yang kelelahan.
Bersamaan dengan itu, dalam posisi ketinggalan satu gol, Gareth Southgate memasukkan striker Jemmy Vardi, yang sebelumnya tidak masuk dalam starting line up lantara cedera ringan.
Masuknya ujung tombak Leicester City seperti hanya jadi bumbu penyedap di hadapan ribuan fans Inggris. Vardi tak kuasa menaikkan moral tim, apalagi waktu pertandingan segera berakhir.
Pemain Inggris ngotot di tengah ketidakberdayaan kolektif mereka. Langkah kaki mereka yang gontai terus mengejar menit-menit sang waktu. Padahal, sang waktu telah bergulir memasuki labirin masa. Semua yang dibuat Inggris sia-sia belaka. Tiada lagi faedahnya.
Seusai terdengar bunyi peluit sang pengadil pertanda laga telah berakhir, beberapa pemain Inggris terduduk lemas di rerumputan. Ada yang terbaring lunglai dengan wajah menelungkup ke rerumputan. Yang terduduk tak kuasa lagi mengangkat kepala. Wajah mereka menunduk dalam-dalam, seperti sedang menyesali kegagalan mereka. Kegagalan untuk terbang mengarungi masa, demi merasakan kejayaan Inggris di tahun 1966 saat jadi kampiun dunia.
Kontras dengan rasa getir dan kepahitan Inggris, suasana penuh sukacita kental terlihat diantara pemain dan ofisial Kroasia. Mereka lari bergerombol masuk ke lapangan, berloncatan kegirangan, untuk kemudian saling berpelukan gembira.
Sejarah sudah ditulis, dan tetap akan tertulis. Inilah untuk pertama kalinya negara pecahan eks-Yugoslavia itu berhasil menjadi finalis Piala Dunia, bertengger dengan Prancis, negeri yang telah kenyang dengan pengalaman bola.
Sangat mungkin, permainan Kroasia yang spartan di babak kedua hingga babak perpanjangan waktu, dipengaruhi oleh faktor non-teknis yakni sentuhan psikologis dari Presiden Kroasia Kolinda Grabar-Kitarovic.
Sang presiden berparas cantik ini, dengan mengenakan kostum kotak-kotak merah-putih kebanggaan tim Kroasia, masuk ke ruang ganti pemain, lalu memeluk satu-persatu ksatria bola Kroasia.
Pelukan hangat keibuan itu dilakukan sang presiden pertama kali kepada pelatih Dalic, dan selanjutnya kepada semua pemain. Pelukan inilah yang mungkin secara psikologis menaikkan adrenalin perjuangan.
Jangan salah menduga, semangat spartan pemain Kroasia bukan karena faktor pelukan sang perempuan cantik. Tetapi, lebih karena pelukan sang presiden, yang memang cantik itu, demi mengalirkan patriotisme ke dalam sanubari para pemain Kroasia.
Demikianlah adanya, dan tidaklah mungkin terhindarkan, bahwa setiap kompetisi harus melahirkan yang menang dan yang kalah. Pihak yang menang mesti memberi respek pada yang kalah, karena tanpa yang kalah tidak bakal ada pemenang.
Sebaliknya, pihak yang kalah mesti pula mengakui kemenangan pihak lain, sebab dengan ada yang menang maka yang kalah dapat berinterospeksi dan menata diri.
Di balik labirin kemenangan dan kekalahan itu, sejatinya nasib baik (keberuntungan) dan nasib buruk (kemalangan) bergerak dalam siklus permanen, seperti bumi yang berputar pada porosnya. Tak terhindarkan, demikian semestinya yang berlaku.
Jadi, bagi yang menang tak perlu pongah, bagi yang kalah tak perlu minder. Menang dan kalah adalah siklus permanen. Keberuntungan dan kemalangan pasti selalu berganti. Yang jelas, magis bola yang hidup oleh karena sportivitas serta nilai-nilai agung lainnya seperti perdamaian, persaudaraan, dan kemanusiaan itu, sangat membenci kepongahan.
Magis bola yang memuliakan sportivitas dan kemanusiaan itu, sejatinya tidak berkohesi dengan sikap pongah, watak sombong, dan gaya congkak pada semua pemangku kepentingan (stakeholders) bola. Sebab, dari ruang sportivitas dan kemanusiaan inilah suatu prestasi bola dapat dilahirkan.
Tampilnya Prancis dan Kroasia di babak final mengonfirmasikan satu hal kepada dunia, bahwa Piala Dunia 2018 kali ini sungguh beraura Eropa. Yang satu, negara yang pernah merengkuh juara dunia, yang satu lagi negara yang akan berjuang merengkuh juara dunia.
Yang satu dari belahan barat Eropa, yang satu lagi dari belahan timur. Yang satu, memiliki presiden muda dan ganteng (Imanuel Macron), yang satu lagi memiliki presiden yang muda dan cantik (Kolinda Grabar-Kitarovic). Yang satu, tim yang bernuansa heterogen, yang satunya lagi homogen. Semua perpaduan tersebut adalah padanan yang indah untuk disyukuri.
Mari kita jemput magis bola yang bakal mempersembahkan sukacita dan kesedihan mondial, pada "Hari H" 15 Juli 2018. Prancis atau Kroasia sama-sama bisa merengkuh Piala Dunia di partai final nanti. Prancis dan Kroasia pun sama-sama bisa kalah.
Kita mesti memastikan bahwa kehormatan harus tetap menjadi milik Prancis dan Kroasia, juga menjadi milik kita. Bagi sang pemenang, selamat bersukacita!
Bagi sang kompetitor yang belum menang, selamat berbenah! Pihak yang mampu menjaga kehormatan oleh karena sportivitas dan kemanusiaan, itulah sesungguhnya sang pemenang sejati. Jadi, untuk apa bersikap pongah? *