Ketika Ada Banyak Sampah di NTT
Demikian juga di pusat perbelanjaan moderen; hotel-hotel mewah. Bersih. Karena itu, pernyataan bahwa ada banyak sampah
Oleh: Feliks Tans
Dosen FKIP Undana Kupang
POS-KUPANG.COM - Benarkah banyak sampah di NTT, sebuah new tourism territory? Benarkah NTT -sebuah provinsi yang melahirkan banyak orang hebat seperti Frans Seda dan WZ Johannes, yang karya tenun ikatnya berkelas dunia, yang aksitektur tradisionalnya mengagumkan seperti perkampungan Wae Rebo, yang penuh dengan 1001 gereja megah, yang misionarisnya tersebar di seantoro jagat, yang memiliki surat kabar terbaik seperti HU Pos Kupang (The Best of Bali and Nusra), yang lulusan fakultas kedokterannya juara nasional, dan berbagai kehebatan lainnya yang, kalau disebutkan satu per satu, akan menjadi begitu panjang -penuh dengan sampah? Benarkah?
Menjawab pertanyaan itu bisa sangat subjektif. Tergantung, misalnya, pada makna kata "banyak" dan "penuh" itu sendiri. Juga tergantung pada tempat kita memandang. Ketika kita menengok, misalnya, rumah jabatan pembesar NTT -legislatif, eksekutif, judikatif -yang tampak ini: kebersihan yang sempurna; keindahan tanpa cacat; sampah pada tempatnya.
Demikian juga di pusat perbelanjaan moderen; hotel-hotel mewah. Bersih. Karena itu, pernyataan bahwa ada banyak sampah di NTT salah. Benar-benar tidak benar.
Namun, ketika kita melihat di luar itu, saya takut, pernyataan itu tidak salah. Benar-benar benar. Ketika kita jalan sepanjang Pulau Flores, Timor, dan Sumba, misalnya, akan mudah terlihat sampah bertebaran. Di berbagai selokan dan jalan keluar masuk perkampungan di kota sekalipun sama, sarat sampah.
Juga di pantai. Di Pantai Oesapa, Kupang, Timor, misalnya, sampah bertebaran. Di Flores? Setali tiga uang. Di Larantuka, misalnya, Pos Kupang menulis: "Sampah menjadi persoalan serius ... Sampah plastik, kulit kelapa, botol dan berbagai jenis sampah mengapung di permukaan air ... pemandangan laut dirusak oleh berbagai tumpukan sampah di tepi pantai" (18 Juni, 2018, hlm. 15).
Itu, saya takut, menambah predikat negatif NTT. Setelah dinilai, misalnya, sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia, dengan mutu pendidikan yang secara umum, menyedihkan, NTT kini, rupanya, dapat cap baru: provinsi bersampah banyak yang membuat orang sebel. Maaf, yang mengatakan ini bukan saya, tetapi Menteri Pariwisata Indonesia, Arief Yahya (AY), pada HU Kompas (11 Juni, 2018, hlm. 32, Arief Yahya: Curhat Pariwisata).
"Menurut Arief," HU Kompas menulis, "NTT merupakan daerah yang mempunyai potensi pariwisata sangat besar, tetapi tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah. `NTT itu bisa berarti New Tourism Territory karena potensinya sangat luar biasa. Ada komodo, wisata baharinya keren, tenunnya bagus, tetapi sayang, sampahnya juga banyak,' kata Arief."
Dia melanjutkan, "Ada banyak anggaran dikucurkan ke sana (NTT). Eh, tapi pemda (pemerintah daerahnya)-nya enggak gerak. Nyebelin ...".
Sampai saat ini, tidak ada bantahan dari pemda, provinsi dan kota/kabupaten se-NTT, terhadap keluhan AY itu. Artinya, terhadap curahan hati AY, Pemda NTT diam dan dalam budaya kita, diam berarti setuju 100%: NTT, memang, penuh sampah dan, menghadapi sampah itu, pemda-nya pasif. Itu membuat sang menteri marah dan, saya kira rakyat NTT, yang tidak suka buang sampah sembarangan, juga marah. Mungkin, bahkan lebih marah daripada AY.
Walaupun demikian, sebagai orang baik, kita, sejatinya pantang marah; cari saja solusinya. Ada, tentu, banyak solusi. Beberapa di antaranya dikemukakan berikut ini.
Pertama, perlu ada upaya teru- menerus untuk menyadarkan rakyat NTT bahwa membuang sampah secara sembarangan adalah aksi bodoh, tidak cerdas, tak beradab dan berdosa. Penyadaran ini harus dimulai dari TK/PAUD sampai PT. Juga oleh setiap pemimpin dari level paling bawah sampai tertinggi.
Dari upaya ini, kita harapkan anak NTT, misalnya, semakin rela menyimpan bungkusan gula-gula di sakunya sampai dia temukan tempat sampah. Tidak seperti sekarang, sampah dari berbagai jenis dibuang sembarangan oleh (anak-anak) kita yang, bahkan yang terdidik.
Tanpa rasa bersalah. Di Kota Kupang, misalnya, banyak orang membuang sampah di depan kantor gubernur lama, Naikolan, padahal itu bukan tempat pembuangan sampah sementara (TPSS). Di situ, akibatnya, sampah busuk bertumpuk-tumpuk.
Juga, kita harapkan, air limbah rumah tangga, restoran, dan perusahaan apapun -berskala besar, menengah, dan kecil -dibuang pada tempatnya. Bukan malah dibuang secara bebas ke jalan atau kali seperti yang sekarang sering terjadi.