Pilkada yang Demokratis dan Bermartabat
Memang bukanlah pekerjaan yang mudah ketika kita berdiskusi menyangkut Pilkada yang demokratis dan bermartabat.
Oleh: Markus Tulu, SVD
Biarawan Pastor dan Tinggal di Ende
POS KUPANG.COM -- Banyak daerah di wilayah NKRI akan menyelenggarakan Pilkada serentak tahun 2018. Ada daerah yang menyelenggarakan pemilu gubernur dan wakil gubernur.
Dan ada daerah yang menyelenggarakan pemilu bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota. Hal terpenting adalah bagaimana Pilkada itu dapat berlangsung secara demokratis dan bermartabat.
Memang bukanlah pekerjaan yang mudah ketika kita berdiskusi menyangkut Pilkada yang demokratis dan bermartabat. Akan tetapi usia bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka patut dikatakan sebagai usia yang matang.
Karena itu pantas jika sekarang waktunya kita mendambakan Pilkada yang demokratis dan bermartabat.
Pilkada yang demokratis dan bermartabat menuntut peran serta dan tanggung jawab semua elemen masyarakat. Artinya tidak hanya ditentukan oleh partai pendukung, tim sukses, pasangan calon dan KPU. Tetapi perlu partisipasi aktif aparat keamanan, pemerintah, tokoh agama dan kedewasaan masyarakat pemilih umumnya.
Pilkada yang demokratis dan bermartabat tidak ditentukan oleh hasil akhir. Paket mana yang keluar sebagai pemenang dan paket mana seturut vonis politik sebagai yang kalah. Pilkada yang demokratis dan bermartabat mesti sudah berlangsung sejak dari proses awal sampai dengan penetapan dan pelantikan paket yang menang.
Pilkada yang demokratis dan bermartabat sejatinya bersih dari pemberitaan pers yang provokatif, isu SARA, isu politik murahan, money politics, ujaran kebencian dan berbagai isu primordial lainnya.
Karena mencita-citakan Pilkada yang demokratis dan bermartabat tetapi dalam perjalanan proses sampai berlangsungnya Pilkada ternyata menabrak kasar etika berdemokrasi dan melukai sendi-sendi kehidupan bersama sesungguhnya itulah Pilkada yang cacat dan gagal.
Di sinilah letaknya nilai paling mendasar dari Pilkada demokratis dan bermartabat itu. Bahwa Pilkada yang demokratis dan bermartabat itu mesti berlangsung dalam keterbukaan yang dewasa dalam pelbagai perbedaan seperti misalnya; sikap politik dan pilihan politik.
Setiap orang dihargai dan dilindungi haknya untuk berbeda sikap politik dan pilihan politik dengan orang yang lain. Tidak karena saya dari satu daerah atau suku atau keluarga besar atau agama yang sama maka saya harus mempunyai sikap politik dan pilihan politik yang sama dengan saudara-saudariku yang lain.
Boleh saja terjadi demikian halnya dalam kenyataan politik yang ada. Tetapi pertanyaan refleksif adalah "nilai apa yang mendasari dan mengikat sikap politik dan pilihan politik kita", itu yang mesti menjadi yang utama dalam kita berdemokrasi.
Bukan karena ikatan primordial; saya dari keturunan ini, atau dari keluarga atau perkawinan itu. Atau saya dari suku ini atau etnis itu. Atau yang lainnya misalnya saya dari agama dan organisasi yang sama, atau saya adalah sesama Aparatur Sipil Negara dan sebagainya. Bukan seperti ini dalam kita berdemokrasi secara matang dan bermartabat.
Berdiskusi menyangkut Pilkada yang demokratis dan bermartabat semestinya menuntut dari kita untuk bersikap kritis, obyektif dan militan terhadap figur. Tentu kita tidak hanya berhenti di sini.
Karena kita perlu pilihan tegas dan cerdas yang lahir dari nurani yang tajam dan itulah pilihan yang bermartabat. Sikap politik yang demokratis dan pilihan politik yang bermartabat mesti keluar dari pengetahuan dan pengenalan yang obyektif dan cerdas tentang figur.