Moralitas dalam Pilkada NTT
Ada dugaan, sejumlah kandidat cagub/cawagub, cabub/cawabub juga melakukan hal yang sama. Karena itu pengunduran
Menyeluruh dan seimbang
Berpijak pada penjelasan ini, maka penilaian tentang kapabilitas seorang kandidat entah cagub atau cabub tentu harus dilihat dalam perspektif ini. Kelayakan moral tentu sangat diandalkan.
Tetapi moralitas yang dimaksud tentu tidak sebatas aktivitas `seksual' dan aneka pelanggaran moral. Tindakan menghamili wanita lain secara tak bertanggungjawab apalagi kepada pembantu tentu saja merupakan sebuah pelanggaran dan dikategorikan sebagai pelanggaran moral, hal mana patut dipertanggungjawabkan.
Tetapi cap pelanggaran moral mestinya dilihat dalam bingkai lebih luas. Tindakan kandidat lain yang menari di atas isu pelanggaran asusila tidak membebaskan dirinya dari tanggungjawab moral yang sama dengan bentuk pelanggaran berbeda.
Upaya menakut-nakutkan orang lain dengan ancaman agama (seperti tidak mensolatkan jenasah karena telah mendukung kandidat tertentu), atas intimidasi dalam berbagai bentuk, merupakan pelanggaran moral yang tidak boleh dianggap kecil.
Mereka telah menebar ketakutan yang menggiring pemilih kepada opsi yang sudah didisain dengan baik.
Upaya menebar teror melalui intimidasi atas pendirian rumah ibadah merupakan tindakan yang tidak menciptakan kebaikan umum. Praktik agama dilaksanakan dalam ketakutan. Di sini moralitas yang sama sekali tidak berkaitan dengan `selangkangan', tetapi memiliki dampak luas. Karena itu, tindakan itu disebut sangat tidak bermoral.
Kadar moralitas akan sangat dipertanyakan ketika kekuasaan dicapai lewat cara-cara tak elok, terutama melalui mobilisasi masyarakat sederhana untuk partisipasi dalam demo yang tujuannya nyaris dipahami.
Lebih lagi, upaya memprovokasi dengan memberikan pandangan sesat yang akhirnya diikuti secara membabibuta. Di sini terlihat bahwa baik agama maupun moralitas begitu mudah dibelokkan pada tujuan sesaat (yang juga sesat).
Awasan ini hendak mengingatkan bahwa masa kampanye dan sosialisasi para kandidat menjadi kesempatan bagi masyarakat NTT dalam menilai kandidat secara menyeluruh. Sebuah tindakan menyelutuh tentu dilihat dalam kaitan dan konstelasi politik menyeluruh.
Calon di NTT tidak bisa sekadar di NTT, karena akhirnya ia harus `menyembah' kepada patron yang telah memberikannya `garis-garis besar' yang harus diikuti. Ia bisa sajamenjadi figur yang diandalkan, tetapi pada gilirannya, ia sekadar `petugas partai' yang harus tunduk pada aturan berlaku.
Pada sisi lain, penegasan tentang pandangan menyeluruh, tidak bermaksud menyederhanakan tanggungjawab moral dalam pelanggaran asusila. Pelanggaran yang terjadi harus dinilai sebagai perwujudan diri pribadi secara personal yang bisa meluas ketika diberikan kesempatan memimpin.
Tetapi hal itu diharapkan menjadi salah satu indikator moral. Upaya menjulurkan telunjuk kepada orang lain (kandidat yang melanggar susila), tidak membebaskan seseorang untuk memerhatikan empat jadi yang menunjuk kepada dirinya.
Di sana kita sibak bahwa rangkaian moralitas yang dipraktikkan orang lain juga tidak jauh bedanya. Hanya saja, pelanggaran susila melalui tindakan asusila memiliki `nilai jual' yang jauh lebih besar. Ia cukup mendiskreditkan seseorang dan mengapa tidak dapat menyembunyikan aneka prestasi lainnya.
Singkatnya, dalam proses pilkada NTT, kita mestinya lebih luas dan terbuka memaknai moralitas dalam arti yang lebih luas, multidimensi, dan menerobos kepada kesaksian hidup, bukti nyata kepemimpinan, dan imbas yang diterima masyarakat.
