El Tari Memorial Cup 2017

Tidak Boleh Ada Richo Andrean di Stadion Marilonga Ende

Remaja berusia 21 tahun yang sempat koma selama empat hari ini sebenarnya ingin menyelamatkan suporter lain yang dikeroyok

Editor: Dion DB Putra
pos kupang
Suporter memadati Stadion Marilonga, Ende, Sabtu (22/7/2017). 

Oleh: Ricko W
Pendukung PS Kota Kupang

POS KUPANG.COM -- Beberapa hari terakhir ini, publik pecinta sepakbola Indonesia kembali dikejutkan kematian Richo Andrean, seorang bobotoh (sebutan untuk pendukung Persib Bandung) yang meninggal akibat dikeroyok sesama bobotoh di luar Stadion Gelora Bandung Lautan Api pada laga panas Persib vs Persija pekan lalu.

Remaja berusia 21 tahun yang sempat koma selama empat hari ini sebenarnya ingin menyelamatkan suporter lain yang dikeroyok ratusan orang karena dikenal sebagai The Jackmania (sebutan untuk suporter Persija Jakarta). Namun, naas bagi Richo, karena tidak mengenakan identitas bobotoh yang jelas, ia pun menjadi pelampiasan kebencian suporter garis keras Persib Bandung terhadap The Jackmania.

Ungkapan belasungkawa pun berdatangan dari berbagai pihak termasuk dari manajemen Persija dan The Jackmania. Banyak orang mengutuk peristiwa ini dan menuntut kepolisian segera mengusut dan menangkap para pelaku pengeroyokan.

Semua orang mengharapkan peristiwa ini menjadi cerita terakhir tentang kekerasan suporter dalam kompetisi sepakbola Indonesia. Pasalnya, sejak tahun 1995, suporter sepakbola yang meninggal karena kekerasan antar pendukung sudah menyentuh angka 50 jiwa.

Artinya, setiap tahun paling kurang ada satu penonton yang meregang nyawa akibat perseturuan antar suporter. Hilangnya satu nyawa manusia akibat tindakan anarkis suporter saja, menurut Ridwan Kamil dalam akun twitter-nya menanggapi kematian Richo, telah melenyapkan seluruh kemanusiaan kita.

Rivalitas Persib Bandung dan Persija Jakarta merupakan salah satu rivalitas paling panas dalam sepakbola Indonesia kalau tidak mau dibilang rivalitas paling mematikan. Laga panas itu bukan hanya terjadi di dalam lapangan tetapi juga terjadi di luar lapangan.

Sudah banyak kasus kekerasan yang mengiringi rivalitas kedua tim ini di sepanjang sejarah liga Indonesia bergulir. Salah satu yang paling brutal mungkin, adalah aksi sweeping plat kendaraan dengan nomor polisi B (Jakarta) oleh para bobotoh di Kota Bandung, dan juga terjadi sebaliknya.

Berbagai sanksi pun telah dijatuhkan mulai dari denda sampai dilarangnya suporter dari kedua tim untuk menonton langsung tim kesayangan mereka di stadion. Namun, apa mau dikata, `emosi massa' seringkali menyebabkan `naluri kebinatangan' di dalam diri seorang manusia itu lebih terakomodasi dengan baik sehingga melalaikan segala bentuk nilai kemanusiaan.

`Lawan' dan Bukan `Musuh'
Bahasa Indonesia membuat pembedaan yang jelas antara kata `lawan' dan `musuh'. Dalam konteks sepakbola atau dalam sebuah kompetisi, orang selalu menyebut, "Persija melawan Persib" dan bukan "Persija memusuhi Persib", misalnya, karena ketika kita menyebut, "Persija melawan Persib", yang menjadi mindset di dalam batok kepala kita adalah "Persija dan Persib bermain sepak bola dengan kaidah-kaidah dan aturan sepakbola yang berlaku universal, dan dengan kaidah-kaidah itu, kedua tim berusaha untuk memenangkan permainan atau pertandingan sepakbola."

Iklim yang tercipta adalah iklim kompetisi di dalam lapangan dan bukan iklim perang dimana orang saling membunuh dan memusanahkan `musuh' dengan cara apapun. Atas dasar `lawan' ini maka, "semua yang terjadi di lapangan habis di lapangan" pun menjadi jargon yang sering kita dengar dan kita dengungkan. Segala bentuk tindak kekerasan di dalam lapangan (dan di luar lapangan) sangat tidak dibenarkan.

Nah, masyarakat NTT sendiri sedang ber-euforia dengan El Tari Memorial Cup (ETMC), sebuah kompetisi sepakbola antar kabupaten se-NTT paling bergengsi yang sejak tahun ini sudah berubah format menjadi Liga 3 ETMC 2017. Setiap orang NTT memiliki jagoan kesebelasan masing-masing dan mempunyai cara masing-masing pula dalam mendukung tim.

Kini, sudah hampir dua minggu Liga 3 ETMC 2017 digelar di Kota Ende dan rivalitas serta perseteruan antar tim sudah nampak jelas demi gengsi dan harga diri. Berbagai yel-yel dan nyanyian-nyanyian kreatif dari para pendukung juga turut menghiasi stadion Marilonga Ende. Semua ini tentu saja menjadi hal yang wajar dan patut diapresiasi.

Namun demikian tentu saja ada hal-hal yang kita harapkan tidak terjadi selama gelaran ETMC 2017 ini. Berbagai tindakan anarkis antar pemain dan antar suporter, apalagi hingga memakan korban akan menjadi catatan paling buruk sepanjang sejarah ETMC.

Selain karena keluar dari koridor tujuan turnamen sepak bola ini digelar, tindakan anarkis juga mencederai rasa kemanusiaan orang-orang NTT yang dari dulu terkenal penuh toleransi dan cinta damai. Kita semua, yang menggunakan akal sehat dan punya nurani, tentu ingin menghindari hal-hal buruk semacam ini.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved