Beginilah Gerakan Literasi dan Konsekuensinya

Lantas literasi tidak berdiri hanya sebagai tema tunggal, tetapi bertali-hubung dan tidak terpisahkan dengan tema-tema lain

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi

Oleh: Yohanes Berchemans Ebang
Bergiat di Komunitas Diskusi Secangkir Kopi, berdomisili di Kupang

POS KUPANG.COM -- Akhir-akhir ini literasi menjadi tema sentral nan seksi dalam berbagai diskusi, seminar hingga pemberitaan media massa. Harian Pos Kupang misalnya, selain mewarta lewat berita (news), di kolom opini juga acapkali menampilkan pendapat dan diskursus perihal literasi.

Lantas literasi tidak berdiri hanya sebagai tema tunggal, tetapi bertali-hubung dan tidak terpisahkan dengan tema-tema lain seperti pendidikan, politik, sejarah dan kebudayaan hingga tema-tema strategis semisal human intrrest dan berbagai masalah sosial-kemasyarakatan.

Laksana Emile Durkheim memandang masyarakat dan fakta sosial, literasi pun dapat dipandang dan kemudian dipahami dalam kerangka sistem sosial, bercakupan luas dan erat bertali dengan tema dan isu-isu lain.. Artinya, literasi (wacana hingga parktik) berhubungan dan bersinggungan langsung dengan hal-hal atau bagian-bagian lain dalam paradigma dan fungsionalisasi struktural tertentu yang beroperasi sebagai sebuah sistem sosial.

Di atas pondamen yang demikian, penulis berupaya untuk menempatkan tema literasi di antara tema-tema yang lain (khususnya pendidikan dan masalah sosial kemasyarakatan) serta konsekuensi yang (mungkin) terjadi dalam hidup kesosialan para pegiat literasi.

Bahwa literasi tidak hanya soal melek huruf-angka, tidak sebatas baca dan tulis. Tidak hanya soal teks dan membaca sebanyak mungkin buku, tidak juga hanya soal bagiamana menulis secara literer. Tidak hanya hanya soal itu, tetapi bagaimana literasi dilihat sebagai sebuah aktivitas intelektual dan kerja otak serta konsekuensi sosial yang terjadi.

Sebagai tiga tema berbeda namun serentak tak terputus (literasi, pendidikan dan masalah sosial kemasyarakatan), maka tulisan ini tidak mengurai setiap tema secara terpisah-pisah; perihal makna maupun hubungan pertalian di antara ketiganya. Selanjutnya uraian ini bersifat alfabiter.

Sudah sejak lama Rinehart memberikan sebuah awasan demikian: "For years we have lied to young people, telling them they are the future of our country and our society. How can they build the future when we give them nothing with which to build it? All we do is to hand over the responsibility; with it we give them social, political, fiscal, and environmental garbage." Tampubolon (2001:344).

Dalil Rinehart yang bernada awasan di atas adalah semacam sebuah tuntut-jawab dari satu generasi kepada generasi yang lain, generasi dahulu dan generasi kemudian. Bahwa pendidikan bukan sebatas retorika dan penguasaan bahan literer. Tetapi semacam aktivitas pengalihan harta warisan, baik ilmu pengetahuan maupun tanggung jawab sosial.

Pembohongan Tergenerasi
Berbicara tentang literasi dan pendidikan, maka konsekuensi selanjutnya adalah bagaimana nuansa literasi yang dibangun, kondisi otak akibat terpaan badai literasi dan out-come dari padanya. Supaya jangan terjadi yang namanya pembohongan tergenerasi.

Di satu sisi kita mendengungkan literasi, sementara di sisi lain, yang kita wariskan adalah kerusakan tatanan sosial, kemorat-maritan urusan politik dan pengelolahan keuangan yang menyimpang, serta aktivitas perusakan lingkungan hidup.

Jangan sampai kita mengajak siswa dan mahasiswa untuk berbudaya literasi sementara yang dijunjung tinggi dalam lingkungan pendidikan maupun dunia kampus bukan rasionalitas tetapi perasaan (baper).

Sederhananya begini; kala siswa dan atau mahasiwa yang giat membaca, rasionya tertata baik dan logikanya berjalan -mempertanyakan sesuatu yang tidak logis, malah dibalas-sahut oleh guru atau dosen malah atas-berdasar pertimbangan perasaan. Siswa yang kritis dianggap mencobai bahkan melawan guru atau dosen.

Sementara true education (sebagaimana konsep Plato tentang pendidikan), tidak hanya sebatas penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangan kemampuan serta kecakapan intelektual, namun lebih dari itu, pendidikan merupakan proses pendidikan tingkah laku, pembentukan karakter dan pemurnian jiwa. Sehingga (sebagaimana Plato), tujuan final dari pendidikan adalah mengarahkan manusia kepada kehidupan yang beradab.

Berkaitan dengan itu, konsep academic freedom (kebebasan akademik: yang menandai reformasi pendidikan dan sistem pengajaran di Eropa pada tahun 1600-an) perlu diterapkan dalam pendidikan kita. Menurut Arthur Lovejoy , academic freedom merupakan peralihan dari sistem pengajaran verbalism kepada sistem pengajaran realism. Academic freedom memungkinkan kebebasan seorang guru atau pengajar dan kebebasan seorang siswa atau peserta ajar.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved