Perkuat Promotif dan Preventif Bangun Kesehatan Masyarakat
Pertama, dalam konas tersebut hadir dua menteri yaitu menteri kesehatan dan menteri keuangan
Catatan KONAS XIII IAKMI di Makassar
Oleh Vinsen Belawa Making SKM, M.Kes
Wakil Ketua Stikes CHMK -Sekretaris Eksekutif IAKMI Provinsi NTT
POS KUPANG.COM - Kongres Nasional Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (KONAS IAKMI) XIII yang diselenggarakan di Makassar, 3-5 November 2016 yang lalu memberikan suatu gambaran yang menarik soal kesehatan masyarakat.
Pertama, dalam konas tersebut hadir dua menteri yaitu menteri kesehatan dan menteri keuangan untuk memotret dan membedah persoalan kesehatan masyarakat. Mereka diperkuat dengan lebih dari 1.500 ahli kesehatan masyarakat dan 860 orang dari mereka telah memaparkan hasil penelitian ilmiah mereka dalam bentuk oral presentasi dan poster. Persoalan kesehatan masyarakat di Indonesia benar-benar terpotret dalam forum ini.
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati memaparkan alokasi dan sinergi anggaran kesehatan dalam Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Selama 6 tahun pengalaman di World Bank, masalah kesehatan menjadi masalah yang utama di setiap negara. Saat ini begitu banyak negara yang telah atau sedang dalam proses mencapai universal health coverage, dan dalam pengalaman Sri mengevaluasi UHC di China, makin banyak dana yang dianggarkan untuk kesehatan, masyarakat semakin tidak puas.
Untuk kesehatan, anggaran kesehatan meningkat rata-rata 21,9% per tahun antara 2009-2017 dan tahun ini kita sudah memenuhi 5% anggaran kita untuk kesehatan yang mencapai 104 triliun. Dana kesehatan tidak hanya dialirkan ke pusat, tetapi juga ke daerah. Ini hal yang perlu diingat bahwa kesehatan adalah urusan yang didesentralisasikan, sehingga kesehatan menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah.
Sri Mulyani menutup pidatonya dengan menekankan bahwa pemerintah telah berkomitmen untuk meningkatkan anggaran untuk kesehatan masyarakat karena ini bukan belanja, melainkan investasi. Hal ini menjadi amanah untuk ahli kesehatan masyarakat untuk dapat berkontribusi memastikan bahwa belanja tersebut dimanfaatkan secara baik.
Menteri Kesehatan menyatakan Human Development Index Indonesia turun ke 11,1% (bahkan di bawah Vietnam) merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Data lainnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) belum turun. Angka stunting yang bervariasi di daerah, pengendalian penyakit menular masih menjadi tantangan.
Persoalan dasar terkait kesehatan masyarakat lainnya adalah fenomena perilaku hidup bersih dan sehat di Indonesia masih terbilang sangat minim. Rumah tangga yang telah mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat baru mencapai 38,7%. Upaya peningkatan perilaku sehat di perumahan penduduk pada tahun 2010 belum menunjukkan hasil yang nyata, yaitu masih 24,9% penduduk yang telah memiliki rumah sehat. Kondisi sanitasi dasar pada rumah penduduk masih jauh menunjukkan harapan (Taufiq M., Nyorong, M., & Riskiyani, S. 2013).
Hasil Riskesdas Tahun 2013 menunjukkan beberapa hal sebagai berikut: 1) rerata batang rokok yang dihisap perhari penduduk umur 10 tahun di Indonesia adalah 12,3 batang (setara satu bungkus). Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30-34 tahun sebesar 33,4 persen, pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perokok perempuan (47,5% banding 1,1%).
Proporsi penduduk umur 15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung meningkat pada Riskesdas 2007 (34,2%), Riskesdas 2010 (34,7%) dan Riskesdas 2013 (36,3%). Proporsi tertinggi pada tahun 2013 adalah Nusa Tenggara Timur (55,6%); 2) proporsi nasional RT dengan PHBS baik adalah 32,3 persen, dengan proporsi tertinggi DKI Jakarta (56,8%) dan proporsi terendah Papua (16,4%). Terdapat 20 provinsi yang masih memiliki RT dengan PHBS baik di bawah nasional termasuk NTT (20%).
Proporsi sebesar 29,67% (Rp 16,9 triliun) di Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah untuk beban penyakit katastropik termasuk jantung, diabetes dan ginjal. Ini adalah penyakit-penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan perubahan perilaku.
Di sisi supply, tantangannya adalah penguatan pelayanan. Tantangan utama dalam hal ini adalah distribusi SDM kesehatan. Peserta JKN telah mencapai hampir 170 juta yang dilayani di 25.828 fasilitas kesehatan (termasuk 20.533 FKTP, 2.001 FKRTL, 2.047 apotek, 936 optik). Namun faktanya, proporsi penyerapannya sekitar 80% masih di FKRTL, hanya 20% di FKTP (di negara maju, proporsinya biasanya terbalik). JKN yang dikelola oleh BPJS sendiri pada tahun 2015 mengalami defisit sebesar 5,85 triliun dan diperkirakan tahun 2016 defisit dapat mencapai 7,4 triliun.
Sampai pada tahap ini sangat diperlukan suatu terobosan luar biasa. Perlu perubahan orientasi ke paradigma kesehatan yang berprioritas pada layanan kesehatan primer dan bersifat lintas sektor. Penguatan promotif-preventif harus terus diupayakan. Perlu dilakukan harmonisasi kebijakan kesehatan pusat dan daerah untuk menyukseskan hal ini. Area yang perlu digalakkan adalah masyarakat kurang aktivitas fisik, deteksi dini hipertensi diabetes dan kanker, masyarakat yang kurang konsumsi buah dan sayur.
Peran ini harus melekat dalam diri seorang Tenaga Kesehatan Masyarakat. Ia harus mampu membina kesehatan wilayah secara holistik dan komprehensif. Perlu kerja sama lintas sektoral dalam menangani hal ini. Mereka juga harus dapat menggerakkan "mesin sosial" dan "mesin birokrasi". Tenaga kesehatan masyarakat juga harus mampu melakukan identifikasi dan intervensi terhadap faktor risiko (determinan kesehatan), melakukan promosi kesehatan terutama PHBS, pelayanan pencegahan, surveylans (diagnosis dini & pengobatan dini) dan penguatan sistem kesehatan (regulasi, SDMK, logistik, sistem pembiayaan, akses dan mutu pelayanan kesehatan).
Apabila semua tenaga kesehatan masyarakat dapat menjalankan semua fungsi di atas, maka hanya perlu komitmen dan kapasitas daerah: baik pemerintah daerah, dinas kesehatan, dan puskesmas sebagai pembina kesehatan masyarakat. Salam sehat!*