Kelor: Dapur, Pasar dan Altar
Sebelumnya pada sesi pemaparan visi dan misi para calon ketua umum, saya ditanya tentang apa yang akan
Oleh: Fary Francis
Ketua Umum DPP Pemuda Tani Indonesia
POS KUPANG.COM - Puji Tuhan. Sebanyak 31 Dewan Pengurus Daerah (DPD) Pemuda Tani se-Indonesia dalam acara MUNAS V Pemuda Tani Indonesia yang dilaksanakan pertengahan Mei 2016, secara aklamasi telah memilih saya sebagai Ketua Umum periode 2016 -2021.
Sebelumnya pada sesi pemaparan visi dan misi para calon ketua umum, saya ditanya tentang apa yang akan dilakukan jika terpilih sebagai ketua umum. Jawaban saya saat itu adalah saya tidak akan melakukan program besar dan rumit. Saya akan mengajak pengurus dan simpatisan pemuda tani di daerah untuk mulai dengan mengembangkan potensi yang ada di masing-masing daerah sebagai potensi unggulan.
Karena itu, dalam sambutan pasca terpilih, saya langsung meminta kepada setiap pengurus di daerah untuk segera mendata potensi-potensi unggulan apa saja yang bisa dikembangkan. Saya sebutkan dalam forum itu, di NTT misalnya, potensi yang bisa dikembangkan oleh pemuda tani adalah tanaman kelor.
Miracle Tree dan Tree of Life
Ada dua ketertarikan saya tentang tanaman kelor (marungga). Pertama, kelor sebagai salah satu jenis sayuran yang banyak tumbuh di daerah tropis, khususnya NTT. Tanaman ini sudah dikenal turun-temurun. Orang NTT pasti mengenal pohon kelor karena memang kelor adalah sayuran yang erat sekali dengan kehidupan masyarakat di kampung-kampung.
Di daerah pesisir, kelor adalah sayur harapan karena bisa beradaptasi dengan cuaca yang sangat panas dan tetap menghijau. Ketika sayuran yang lain tak bertahan, kelor tampil memberikan harapan, mengisi wajan dan mangkuk para warga.
Kedua, tanaman kelor sebagai miracle tree (pohon ajaib) atau tree of life (pohon kehidupan). Para ahli dan WHO telah menetapkan kelor sebagai pohon ajaib setelah melakukan studi dan menemukan bahwa tumbuhan ini berjasa sebagai penambah kandungan gizi berharga dan murah selama 40 tahun di negara- negara termiskin di dunia. Karena itu, di beberapa negara tanaman kelor dibudidayakan sebagai tanaman bernutrisi tinggi yang merupakan antitese terhadap kondisi global saat ini yakni persoalan gizi buruk.
Kelor juga memiliki fungsi ekologi sebagai penyubur tanah, mendatangkan air dan mencegah erosi sekaligus fungsi sosialnya yakni membuka ratusan lapangan pekerjaan.
Dua ketertarikan inilah yang kemudian mempertemukan saya dengan Pater Petrus Salu, SVD beberapa tahun silam. Pater Piet dikenal sebagai seorang pastor pekerja, yang meluangkan waktunya untuk mengolah kebun dan karena itulah ia bisa disebut pastor petani. Berhektar-hektar lahan milik Serikat Sabda Allah (SVD) di Mamsena, Kabupaten TTU, diolah dan ditanami kelor.
Pater Piet sudah berpikir dan bertindak melampaui pikiran dan tindakan masyarakat NTT umumnya, yang melihat kelor sekadar sebagai urusan periuk. Karena itu, cukuplah menanam satu dua pohon kelor saja di pekarangan untuk kebutuhan sayuran rumah tangga.
Gugatan soal kelor terus terpendam. Hingga pada tanggal 13 Mei 2015, dalam kunjungan reses ke Kabupaten TTU, saya berkesempatan mengunjungi kebun kelor milik KUB Pah Meto di daerah Bitefa, yang dikoordinir oleh Pater Piet Salu, SVD. Ratusan anakan kelor yang sudah ditanam memenuhi lereng-lereng yang telah diolah menjadi kebun.
Melihat pemandangan ini, gugatan soal kelor semakin kuat. Di kebun itu, Pater Piet berkisah seputar pemberdayaan ekonomi kelompok melalui kelor. Singkat cerita, bagi kelompok tersebut, kelor adalah harapan. Kelor adalah aset. Kelor adalah uang. Kelor adalah nutrisi. Double impact. Kelor diarahkan ke pasar, dapat uang. Kelor dikelola di dapur dapat nutrisi.
Dapur, Pasar dan Altar
Secara sosio-antropologis, kelor adalah tanaman kita. Ia dekat dan berada di sekitar kita. Pendekatan turun-temurun telah memberi ruang bagi kelor hanya seputar dapur. Kelor adalah sayur. Titik. Tidak lebih. Konsep ini membumi begitu lama di masyarakat bahkan hingga saat ini. Kelor adalah substitusi bagi sayur yang lain. Bahkan di beberapa daerah, kelor bukan sayuran favorit. Kelor hanya tanaman biasa. Yang tumbuh dengan sendirinya, dan mati pun demikian.
Keakraban kelor dan dapur yang begitu lama, membuat paradigma berpikir masyarakat seputar kelor pun hanya urusan dapur.
Setelah penelitian para ahli menunjukkan kadar nutrisi yang luar biasa pada tanaman kelor, banyak orang yang mulai bersimpati pada kelor. Kelor sebagai the miracle tree mulai dibudidayakan. Pada fase ini, paradigma kelor sudah bergeser dari sekadar urusan domestik dapur. Kelor mulai merambah pasar. Karena bicara nutrisi, bicara gizi adalah juga bicara soal industri.