Akta Kelahiran Seakan tak Penting
Praktik selama ini menunjukkan demikian. Jangankan masyarakat di kampung-kampung
POS KUPANG.COM - Ibarat sopir mobil atau pengemudi kendaraan roda dua yang wajib memiliki surat izin mengemudi (SIM) atau pembangunan sebuah rumah wajib mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) atau seorang guru wajib bersertifikasi, maka akta kelahiran sebagai "SIM-nya" seseorang, meski kartu tanda penduduk sebagai kewajiban lainnya. Tanpa itu seorang tetap dianggap "liar" dan tak mencerminkan diri sebagai warga negara yang baik.
Praktik selama ini menunjukkan demikian. Jangankan masyarakat di kampung-kampung, masyarakat perkotaan dan berpendidikan saja masih melakukan hal yang sama. Kita dapat memastikan bahwa masyarakat yang memiliki akta kelahiran semata karena desakan administrasi perkantoran. Misalnya, seorang pegawai negeri sipil (PNS) atau seorang pegawai swasta wajib menyetorkan akkta kelahiran ke lembaganya itu. Saat itulah akta diadakan. Yang bersangkutan ramai-ramai mendatangi kantor kependudukan dan catatan sipil.
Dengan kata lain, akta kelahiran hadir semata untuk urusan administrasi dan bukan sebagai cerminan tanggung jawab masyarakat secara kolektif.
Persoalan ini tak hanya ditemukan di Kabupaten Nagekeo di Pulau Flores, namun ada di semua kabupaten/kota di NTT. Di Nagekeo jumlah penduduk sebanyak 164.616 orang. Yang berakta kelahiran baru 33.689 orang atau 19 persen.
Dari "gestur" tubuh ini seakan akta kelahiran tak penting. Tapi, bisa jadi persoalan finansial dan kesulitan menjangkau ibukota kabupaten sebagai kendala utama.
Jika persoalan ada pada biaya, maka pemerintah dan DPRD patut menganggarkannya dalam APBD. Ketika anggaran sudah dialokasikan, maka tak perlu warga sekampung datang ke Mbay untuk mengurusnya. Tapi, kepala desa sebagai wakil pemerintah di tingkat bawah dan perangkatnya dapat memfasilitasinya.
Meski akan berdampak pada kerepotan luar biasa para pegawai di dinas catatan sipil karena keterbatasan tenaga. Mungkin untuk mengadakan akta kelahiran bisa dilakukan per kecamatan.
Dengan pola ini, maka kendala biaya dan jangkauan ke kota dapat diatasi. Bila hal ini belum juga dilakukan, maka cara lain yang ditempuh adalah membangun kesadaran masyarakat terhadap akta kelahiran ini. Bahwa "surat sepotong" dari negara itu wajib dimiliki oleh setiap orang. Sama halnya dengan KTP atau kartu identitas lain sebagai syarat mutlak.
Sesungguhnya ketika seorang anak mendaftar di TK atau SD dan pendidikan selanjutnya, aturan sudah mengisyaratkan untuk melengkapinya dengan akta kelahiran. Kita sepaham menghadapi kondisi seperti ini, maka sekolah patut menjadi ujung tombak dalam mendorong masyarakat menyiapkan akta kelahirannya.
Selain itu, menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dinas kependudukan dan catatan sipil. Dengan demikian, dari waktu ke waktu, persentase kepemilikan akta kelahiran meningkat dan suatu ketika semua warga sudah mengantonginya.*