Perang Melawan Lapar dan Haus

Media inipun memaparkan bahwa sudah 21 kabupaten di NTT mengalami kekeringan yang berkepanjangan

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/ROBERT ROPO
Daun jagung milik seorang petani di Borong yang layu akibat kekeringan panjang saat diabadikan Minggu (17/1/2016). 

Di mana di NTT ini, Dinas Pekerjaan Umum (PU) dalam kerja samanya dengan kontraktor yang membuka-menggusur jalan memperhatikan pohon, vegetasi lingkungan sekitar jalan dengan menanam kembali pohon lokal setelah jalannya digusur dan diperlebar? Tidak ada! Malah PU dan kontraktor merusak semua pohon kedondong hutan (reo) yang ditanam pada kiri-kanan sepanjang jalan oleh nenek moyang orang Flores, orang Sumba dan orang Timor ketika kerja rodi atas perintah kompeni Belanda.

Kita sama sekali tidak sadar bahwa itu adalah bagian kecil dari cara menjaga dan merawat jalan agar tidak mudah longsor karena tanah sekitar jalan tetap terkonservasi. Kita hanya mengandalkan semen dan gorong-gorong. Hari ini dibangun, besok sudah rusak. Lusa bongkar lagi. Begitulah rotasi perjalanan pembangunan fisik kita. Alam selalu dikorbankan.

Di mana di NTT ini, Dinas Pertanian yang dengan berani mengatakan bahwa kami orang NTT, tidak lagi membutuhkan benih-benih hibrida? Tidak ada! Kita belum berani. Kita selalu menomor-satukan hibrida dan menomor-duakan bibit lokal.

Tingkah laku kita terhadap benih hibrida dan benih lokal persis sama dengan sikap kita terhadap nasi dan makanan lokal lainnya. Kita senantiasa membuat kotak. Dan kita selalu terjebak dalam kotak itu. Yang dibutuhkan adalah membuka kotak tersebut dengan pikiran baru bahwa yang sifatnya lokal, yang bentuknya jelek tak terurus jauh lebih bertahan di musim tak menentu ini dibandingkan dengan yang berbatang besar, berbulir ranum namun tidak bisa disimpan lama dan tak tahan hanya hidup dari embun pagi.

Kita juga harus bisa melihat bagaimana bendungan raksasa yang hendak dibangun oleh Pemerintah pusat di Kabupaten Kupang (Raknamo), Kabupaten TTS (Temef), Kabupaten Belu (Rotiklot), Kabupaten Nagekeo (Lambo), Kabupaten Sikka (Napunggete) dan Kota Kupang (Kolhua) dengan anggaran triliunan itu bisa mengatasi kekurangan air. Bagaimana nasib bendungan-bendungan itu?

Bila mata airnya mengering terus dan atau bila hujan tidak turun atau turun sedikit seperti sekarang ini? Alam akan menunjukkan kepada kita bahwa apakah tepat kita membangun bendungan sebelum membangun hutan dan alam sekitar bendungan itu selaras dengan keberadaannya? Kita bisa belajar dari dua bendungan terdekat: pertama, Bendungan Piusmuti di Kelurahan Tubuhue, Kecamatan Kota Kefamenanu, Kabupaten TTU mulai kering, warga kesulitan membagi air. Banyak petani belum menanam (PK, 16 Januari 2016).

Kedua, irigasi di Oelpuah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Kanal irigasi sepanjang 4.000 meter menjadi mubazir karena 400 ha sawah tidak diolah. Mengapa tidak diolah, karena air irigasi yang diambil dari bendungan semi raksasa Tilong, kering hingga saat ini dengan meninggalkan jaringan irigasi semen yang sudah pecah dan retak di sana-sini sebelum sempat mengalirkan air. Tilong hanya untuk pamer saja, kata warga setempat (PK, 8 Januari 2016).

Apa makna membangun selaras alam? Membangun tanpa merusak alam. Menanam dengan lebih banyak menggunakan benih lokal. Mengambil semua yang ada di alam tanpa harus menjadi rakus. Mengambil dengan tetap memberi porsi lebih bagi generasi berikutnya.

Kalaupun terpaksa merusak, ia harus menanam dan merawat kembali seperti semula atau mendekati semula. Itulah selaras alam. Ambil contoh. Warga Kota Kupang, Kota Larantuka, Kota Borong, Kota Maumere mengeluh air kurang. Debit mata air turun terus. Berapa banyak warga kota yang menanam pohon pemanggil awan yang pada saatnya akan menjadi hujan yang berkontribusi kepada debit air yang dia konsumsi setiap saat. Sedikit sekali.

Orang kota di NTT lebih condong menebang pohon dan menanamnya dengan hutan tembok dan semen. Mereka membangun rumah dan toko dengan mengandalkan AC (air conditioner) dan bukan angin yang bertiup dari banyak jendela. Bagi orang kota, urutan pertama adalah semen dan tembok.

Menanam pepohon adalah urutan kedua. Atau berapa banyak PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang memiliki program menghutankan kembali mata air atau daerah tangkapan air sebagai balas jasa atas air yang dieksploitasi secara ekonomis setiap hari. Tidak ada! Hanya urus pipa saja tidak keruan, bagaimana bisa urus hutan dan DAS (Daerah Aliran Sungai). PDAM hanya berpikir tentang menjual air atas nama pelayanan umum walau di sana sini pipa-pipa lebih banyak terisi udara.

Bagaimanapun hukum memberi dan menerima selaras alam harus diperhitungkan. PDAM yang bijak adalah perusahaan yang mampu berpikir dan bertindak dalam menanam dan merawat pepohonan di daerah resapan air sebagai tabungan air untuk konsumennya. Beberapa persen dari penjualan, harusnya dikembalikan ke daerah resapan air sebagai upaya menabung air yang bisa dilaksanakan dalam bentuk kerjasama dengan desa pemberi air.

Di desa kebijakan menabung air ditangani oleh pemangku adat setempat yang memiliki wibawa sebagai penghubung Uis Neno, Oeleu, Duapola, Lerawulan Tanah Ekan, Mori Kraeng dsb. Mengapa demikian? Karena desa-desa yang memiliki mata air, rata-rata di sana kearifan lokalnya masih bertahan dan terjaga. Hal itu terjadi karena pemangku adatnya masih sangat dihormati. Karena sesungguhnya kehidupan bersumber dari hutan dan kita bisa menciptakan hutan, bukan hanya menghabiskan hutan.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved