Perang Melawan Lapar dan Haus

Media inipun memaparkan bahwa sudah 21 kabupaten di NTT mengalami kekeringan yang berkepanjangan

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/ROBERT ROPO
Daun jagung milik seorang petani di Borong yang layu akibat kekeringan panjang saat diabadikan Minggu (17/1/2016). 

Membaca Kekeringan di Nusa Tenggara Timur

Oleh Willem W. Openg
Tinggal di Kolhua-Kupang

POS KUPANG.COM - Membaca Pos Kupang (PK), sejak Oktober 2015 sampai hari ini di bulan Januari 2016, terdapat satu berita utama yang senantiasa dibahas oleh media yang mengemban motto Spirit Baru Nusa Tenggara Timur ini. Berita utama itu terkadang muncul di headline, terkadang di kolom opini dan atau di rubrik daerah. Puncak perjalanan berita utama ini terdapat pada PK, 9 Januari 2016 dengan headlinenya "Daun Jagung Mirip Gulungan Rokok, Petani Gagal Tanam dan Gagal Panen. Krisis Pangan Berujung Kelaparan."

Media inipun memaparkan bahwa sudah 21 kabupaten di NTT mengalami kekeringan yang berkepanjangan yang berdampak pada petani belum menanam, atau petani telah menanam tapi hujan tidak turun lagi dan banyak tanaman seperti Kelapa, Jambu Mete, Cengkeh, Kakao mulai mengering dari pucuk dan mati (Bdk: PK, 9 Januari, 12 Januari, 16 Januari, 19 Januari 2016). Akibat terjauh dari keadaan ini adalah ketersediaan pangan berkurang. Manusia saling berebutan untuk mendapatkan makanan. Dalam posisi seperti ini, kelompok yang paling rentan menderita adalah ibu dan anak.

Selain itu, PK juga memberitakan satu masalah lain yang muncul sebagai akibat dari kekeringan yang berkepanjangan ini, yakni "banyak mata air menjadi kering" yang berakibat pada ketersediaan air bersih menjadi sangat terbatas, banyak sawah dan saluran irigasi menjadi mubazir. Lihatlah, warga Kota Borong, demikian juga warga Kota Larantuka, apalagi warga Kota Kupang. Semua mereka sudah lama mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka hanya melihat instalasi pipa yang dibongkar-pasang hampir setiap tahun. Tapi air tetap kurang. Demikian juga warga desa terpencil yang selama ini harus berjalan kaki berjam-jam hanya untuk mendapatkan air bersih 20 liter sehari (Bdk: PK, 4 Januari, 8 Januari, 16 Januari, 18 Januari 2016).

Akibat terjauh dari kekurangan air adalah manusia saling merebut air. Air yang semula gratis untuk siapa saja dan bagi apa saja, berubah drastik menjadi ada uang ada air. Dan kembali lagi, kelompok yang paling dirugikan dalam posisi kekurangan air adalah anak dan kaum perempuan.

Tulisan ini hanya menggugah semua lapisan masyarakat di NTT untuk menyadari bahwa "iklim sudah sungguh berubah dan dampaknya telah kita semua rasakan". Karena itu apa yang seharusnya kita perbuat untuk alam NTT tercinta ini? Apa yang kita lakukan untuk lingkungan, tempat di mana kita hidup ini?

Iklim sudah berubah, pola hidup pun harus berubah. Kita mulai dari pola makan manusia NTT. Beras yang pertama dan jagung urutan kedua. Umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan domestik urutan ketiga dan umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan liar yang ada di hutan urutan keempat, bahkan tidak terhitung dalam urutan makan manusia NTT.

Pengurutan dan pemprioritasan jenis makanan yang ditanam dan yang dikonsumsi warga NTT selama ini, sudah saatnya harus ditinggalkan. Pada tingkat tertentu, orang NTT harus mengatakan bahwa semua jenis makanan yang ditanam dan hidup di alam NTT adalah baik adanya. Semua makanan itu bisa saling melengkapi satu terhadap yang lain dalam kaitan dengan kandungan nutrisi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, gula) yang ada di dalamnya.

Perlakuan dan pengakuan terhadap semua jenis makanan baik yang ada di kebun petani maupun yang ada di hutan-hutan di alam NTT ini -pada posisi semua penting dan sama baik, maka pada saat yang sama alam pun akan kembali berbaik dengan manusia pengelola dan perawat jenis makanan itu.

Inilah sebuah model permuliaan baik secara generatif maupun secara vegetatif terhadap semua jenis makanan. Permuliaan agar jenis makanan tersebut dapat bertahan hidup untuk tetap menjadi pemberi hidup sekalipun dalam kondisi intensitas curah hujan yang sangat kecil. Permuliaan harus terjadi agar jenis tersebut tidak menjadi punah.

Konsekuensi logisnya adalah pertama pola berkebun-berladang harus berubah. Semua jenis makanan baik umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, pohon-pohonan, sayur-sayuran sudah saatnya harus ditanam dalam jumlah yang banyak di kebun petani, bahkan semua yang dapat dimakan yang selama ini tersembunyi di hutan sudah selayaknya harus dibawa ke kebun untuk didomestifikasi secara baik untuk memberi corak kehidupan yang lebih beragam dalam mengonsumsi makanan dari tanah NTT ini.

Konsekuensi logis kedua adalah komposisi hidangan di meja makan manusia NTT harus berubah. Kalau dulu hanya nasi, sayur dan lauk. Kini sudah sangat variatif. Singkong rebus dan pisang rebus sudah semeja hidangan dengan sayur labu dan lauk. Kacang hutan, putak, ubi gadung dan sayuran hutanpun tak ketinggalan untuk melayani tuannya di meja makan.

Semua jenis makanan tak pernah mengeluh untuk tidak memberi manfaat bagi tuannya. Hanya tuannyalah yang selalu membedakan ini kelas satu dan ini kelas dua. Bila dua konsekuensi ini kita terima, maka alam NTT baik dari kebun maupun dari hutan tetap memberi makanan kepada warga NTT sampai kapanpun.

Iklim berubah, kebijakan Pemerintah pun harus berubah. Perubahan harus dimulai dari hulu. Semua dinas dan instansi yang terkait langsung dengan tanah, hutan, air dan laut, udara, dalam pengelolaannya harus berperspektif "selaras alam". Kini sudah saatnya harus menyelaraskan kebijakan pembangunan dengan alam. Ambil contoh.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved