Perang Melawan Lapar dan Haus
Media inipun memaparkan bahwa sudah 21 kabupaten di NTT mengalami kekeringan yang berkepanjangan
Membaca Kekeringan di Nusa Tenggara Timur
Oleh Willem W. Openg
Tinggal di Kolhua-Kupang
POS KUPANG.COM - Membaca Pos Kupang (PK), sejak Oktober 2015 sampai hari ini di bulan Januari 2016, terdapat satu berita utama yang senantiasa dibahas oleh media yang mengemban motto Spirit Baru Nusa Tenggara Timur ini. Berita utama itu terkadang muncul di headline, terkadang di kolom opini dan atau di rubrik daerah. Puncak perjalanan berita utama ini terdapat pada PK, 9 Januari 2016 dengan headlinenya "Daun Jagung Mirip Gulungan Rokok, Petani Gagal Tanam dan Gagal Panen. Krisis Pangan Berujung Kelaparan."
Media inipun memaparkan bahwa sudah 21 kabupaten di NTT mengalami kekeringan yang berkepanjangan yang berdampak pada petani belum menanam, atau petani telah menanam tapi hujan tidak turun lagi dan banyak tanaman seperti Kelapa, Jambu Mete, Cengkeh, Kakao mulai mengering dari pucuk dan mati (Bdk: PK, 9 Januari, 12 Januari, 16 Januari, 19 Januari 2016). Akibat terjauh dari keadaan ini adalah ketersediaan pangan berkurang. Manusia saling berebutan untuk mendapatkan makanan. Dalam posisi seperti ini, kelompok yang paling rentan menderita adalah ibu dan anak.
Selain itu, PK juga memberitakan satu masalah lain yang muncul sebagai akibat dari kekeringan yang berkepanjangan ini, yakni "banyak mata air menjadi kering" yang berakibat pada ketersediaan air bersih menjadi sangat terbatas, banyak sawah dan saluran irigasi menjadi mubazir. Lihatlah, warga Kota Borong, demikian juga warga Kota Larantuka, apalagi warga Kota Kupang. Semua mereka sudah lama mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka hanya melihat instalasi pipa yang dibongkar-pasang hampir setiap tahun. Tapi air tetap kurang. Demikian juga warga desa terpencil yang selama ini harus berjalan kaki berjam-jam hanya untuk mendapatkan air bersih 20 liter sehari (Bdk: PK, 4 Januari, 8 Januari, 16 Januari, 18 Januari 2016).
Akibat terjauh dari kekurangan air adalah manusia saling merebut air. Air yang semula gratis untuk siapa saja dan bagi apa saja, berubah drastik menjadi ada uang ada air. Dan kembali lagi, kelompok yang paling dirugikan dalam posisi kekurangan air adalah anak dan kaum perempuan.
Tulisan ini hanya menggugah semua lapisan masyarakat di NTT untuk menyadari bahwa "iklim sudah sungguh berubah dan dampaknya telah kita semua rasakan". Karena itu apa yang seharusnya kita perbuat untuk alam NTT tercinta ini? Apa yang kita lakukan untuk lingkungan, tempat di mana kita hidup ini?
Iklim sudah berubah, pola hidup pun harus berubah. Kita mulai dari pola makan manusia NTT. Beras yang pertama dan jagung urutan kedua. Umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan domestik urutan ketiga dan umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan liar yang ada di hutan urutan keempat, bahkan tidak terhitung dalam urutan makan manusia NTT.
Pengurutan dan pemprioritasan jenis makanan yang ditanam dan yang dikonsumsi warga NTT selama ini, sudah saatnya harus ditinggalkan. Pada tingkat tertentu, orang NTT harus mengatakan bahwa semua jenis makanan yang ditanam dan hidup di alam NTT adalah baik adanya. Semua makanan itu bisa saling melengkapi satu terhadap yang lain dalam kaitan dengan kandungan nutrisi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, gula) yang ada di dalamnya.
Perlakuan dan pengakuan terhadap semua jenis makanan baik yang ada di kebun petani maupun yang ada di hutan-hutan di alam NTT ini -pada posisi semua penting dan sama baik, maka pada saat yang sama alam pun akan kembali berbaik dengan manusia pengelola dan perawat jenis makanan itu.
Inilah sebuah model permuliaan baik secara generatif maupun secara vegetatif terhadap semua jenis makanan. Permuliaan agar jenis makanan tersebut dapat bertahan hidup untuk tetap menjadi pemberi hidup sekalipun dalam kondisi intensitas curah hujan yang sangat kecil. Permuliaan harus terjadi agar jenis tersebut tidak menjadi punah.
Konsekuensi logisnya adalah pertama pola berkebun-berladang harus berubah. Semua jenis makanan baik umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, pohon-pohonan, sayur-sayuran sudah saatnya harus ditanam dalam jumlah yang banyak di kebun petani, bahkan semua yang dapat dimakan yang selama ini tersembunyi di hutan sudah selayaknya harus dibawa ke kebun untuk didomestifikasi secara baik untuk memberi corak kehidupan yang lebih beragam dalam mengonsumsi makanan dari tanah NTT ini.
Konsekuensi logis kedua adalah komposisi hidangan di meja makan manusia NTT harus berubah. Kalau dulu hanya nasi, sayur dan lauk. Kini sudah sangat variatif. Singkong rebus dan pisang rebus sudah semeja hidangan dengan sayur labu dan lauk. Kacang hutan, putak, ubi gadung dan sayuran hutanpun tak ketinggalan untuk melayani tuannya di meja makan.
Semua jenis makanan tak pernah mengeluh untuk tidak memberi manfaat bagi tuannya. Hanya tuannyalah yang selalu membedakan ini kelas satu dan ini kelas dua. Bila dua konsekuensi ini kita terima, maka alam NTT baik dari kebun maupun dari hutan tetap memberi makanan kepada warga NTT sampai kapanpun.
Iklim berubah, kebijakan Pemerintah pun harus berubah. Perubahan harus dimulai dari hulu. Semua dinas dan instansi yang terkait langsung dengan tanah, hutan, air dan laut, udara, dalam pengelolaannya harus berperspektif "selaras alam". Kini sudah saatnya harus menyelaraskan kebijakan pembangunan dengan alam. Ambil contoh.
Di mana di NTT ini, Dinas Pekerjaan Umum (PU) dalam kerja samanya dengan kontraktor yang membuka-menggusur jalan memperhatikan pohon, vegetasi lingkungan sekitar jalan dengan menanam kembali pohon lokal setelah jalannya digusur dan diperlebar? Tidak ada! Malah PU dan kontraktor merusak semua pohon kedondong hutan (reo) yang ditanam pada kiri-kanan sepanjang jalan oleh nenek moyang orang Flores, orang Sumba dan orang Timor ketika kerja rodi atas perintah kompeni Belanda.
Kita sama sekali tidak sadar bahwa itu adalah bagian kecil dari cara menjaga dan merawat jalan agar tidak mudah longsor karena tanah sekitar jalan tetap terkonservasi. Kita hanya mengandalkan semen dan gorong-gorong. Hari ini dibangun, besok sudah rusak. Lusa bongkar lagi. Begitulah rotasi perjalanan pembangunan fisik kita. Alam selalu dikorbankan.
Di mana di NTT ini, Dinas Pertanian yang dengan berani mengatakan bahwa kami orang NTT, tidak lagi membutuhkan benih-benih hibrida? Tidak ada! Kita belum berani. Kita selalu menomor-satukan hibrida dan menomor-duakan bibit lokal.
Tingkah laku kita terhadap benih hibrida dan benih lokal persis sama dengan sikap kita terhadap nasi dan makanan lokal lainnya. Kita senantiasa membuat kotak. Dan kita selalu terjebak dalam kotak itu. Yang dibutuhkan adalah membuka kotak tersebut dengan pikiran baru bahwa yang sifatnya lokal, yang bentuknya jelek tak terurus jauh lebih bertahan di musim tak menentu ini dibandingkan dengan yang berbatang besar, berbulir ranum namun tidak bisa disimpan lama dan tak tahan hanya hidup dari embun pagi.
Kita juga harus bisa melihat bagaimana bendungan raksasa yang hendak dibangun oleh Pemerintah pusat di Kabupaten Kupang (Raknamo), Kabupaten TTS (Temef), Kabupaten Belu (Rotiklot), Kabupaten Nagekeo (Lambo), Kabupaten Sikka (Napunggete) dan Kota Kupang (Kolhua) dengan anggaran triliunan itu bisa mengatasi kekurangan air. Bagaimana nasib bendungan-bendungan itu?
Bila mata airnya mengering terus dan atau bila hujan tidak turun atau turun sedikit seperti sekarang ini? Alam akan menunjukkan kepada kita bahwa apakah tepat kita membangun bendungan sebelum membangun hutan dan alam sekitar bendungan itu selaras dengan keberadaannya? Kita bisa belajar dari dua bendungan terdekat: pertama, Bendungan Piusmuti di Kelurahan Tubuhue, Kecamatan Kota Kefamenanu, Kabupaten TTU mulai kering, warga kesulitan membagi air. Banyak petani belum menanam (PK, 16 Januari 2016).
Kedua, irigasi di Oelpuah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Kanal irigasi sepanjang 4.000 meter menjadi mubazir karena 400 ha sawah tidak diolah. Mengapa tidak diolah, karena air irigasi yang diambil dari bendungan semi raksasa Tilong, kering hingga saat ini dengan meninggalkan jaringan irigasi semen yang sudah pecah dan retak di sana-sini sebelum sempat mengalirkan air. Tilong hanya untuk pamer saja, kata warga setempat (PK, 8 Januari 2016).
Apa makna membangun selaras alam? Membangun tanpa merusak alam. Menanam dengan lebih banyak menggunakan benih lokal. Mengambil semua yang ada di alam tanpa harus menjadi rakus. Mengambil dengan tetap memberi porsi lebih bagi generasi berikutnya.
Kalaupun terpaksa merusak, ia harus menanam dan merawat kembali seperti semula atau mendekati semula. Itulah selaras alam. Ambil contoh. Warga Kota Kupang, Kota Larantuka, Kota Borong, Kota Maumere mengeluh air kurang. Debit mata air turun terus. Berapa banyak warga kota yang menanam pohon pemanggil awan yang pada saatnya akan menjadi hujan yang berkontribusi kepada debit air yang dia konsumsi setiap saat. Sedikit sekali.
Orang kota di NTT lebih condong menebang pohon dan menanamnya dengan hutan tembok dan semen. Mereka membangun rumah dan toko dengan mengandalkan AC (air conditioner) dan bukan angin yang bertiup dari banyak jendela. Bagi orang kota, urutan pertama adalah semen dan tembok.
Menanam pepohon adalah urutan kedua. Atau berapa banyak PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang memiliki program menghutankan kembali mata air atau daerah tangkapan air sebagai balas jasa atas air yang dieksploitasi secara ekonomis setiap hari. Tidak ada! Hanya urus pipa saja tidak keruan, bagaimana bisa urus hutan dan DAS (Daerah Aliran Sungai). PDAM hanya berpikir tentang menjual air atas nama pelayanan umum walau di sana sini pipa-pipa lebih banyak terisi udara.
Bagaimanapun hukum memberi dan menerima selaras alam harus diperhitungkan. PDAM yang bijak adalah perusahaan yang mampu berpikir dan bertindak dalam menanam dan merawat pepohonan di daerah resapan air sebagai tabungan air untuk konsumennya. Beberapa persen dari penjualan, harusnya dikembalikan ke daerah resapan air sebagai upaya menabung air yang bisa dilaksanakan dalam bentuk kerjasama dengan desa pemberi air.
Di desa kebijakan menabung air ditangani oleh pemangku adat setempat yang memiliki wibawa sebagai penghubung Uis Neno, Oeleu, Duapola, Lerawulan Tanah Ekan, Mori Kraeng dsb. Mengapa demikian? Karena desa-desa yang memiliki mata air, rata-rata di sana kearifan lokalnya masih bertahan dan terjaga. Hal itu terjadi karena pemangku adatnya masih sangat dihormati. Karena sesungguhnya kehidupan bersumber dari hutan dan kita bisa menciptakan hutan, bukan hanya menghabiskan hutan.*